Entah mengapa ucapan sang papa semalam masih terngiang di kepala. Membuat Razavi sulit berkonsentrasi dengan materi yang dipaparkan oleh guru setiap mata pelajaran yang berbeda. Pikiran Razavi menerawang jauh. Akankah ia bisa mengalahkan sepupunya sendiri atau justru ia yang malah dikalahkan? Memikirkan hal tersebut membuat kepala Razavi pening.
"Lo udah pada denger belum? Olimpiade PPKN se-kabupaten kayaknya bakalan digelar di sekolah kita," ucap salah satu perempuan berkuncir satu memulai gosip yang dibawanya.
Pandangan Razavi tertuju ke depan sisi kiri, melihat anak perempuan kelasnya tengah bergosip ria mengenai pengalihan tempat olimpiade yang dua Minggu mendatang akan dilangsungkan. Entah mengapa mendengar obrolan mereka membuat Razavi muak sekaligus pusing.
Ia mengepalkan tangan menahan gejolak amarah, beranjak dari duduk, dan pergi keluar kelas guna mencari udara segar. Untung saja jam ketiga merupakan jam kosong, hingga memudahkan bagi laki-laki itu untuk membolos satu mata pelajaran. Langkah Razavi terhenti kala melihat seorang laki-laki yang sangat dikenalinya berjalan menuju ruang kepala sekolah. Razavi ingin mengejar, tetapi tiga anak berandal kemarin menghalangi jalannya. Sampai menarik kerah kemeja bagian belakang Razavi dengan kasar.
Ketiga anak berandal itu membawa Razavi ke belakang sekolah, tepat di ruang penyimpanan barang tak terpakai. Mereka mendorong tubuh Razavi hingga tersungkur ke selokan, membuat tangan serta seragam laki-laki itu kotor oleh air selokan.
"Mau lo apaan, sih?!" Razavi geram, ia menatap berani pada ketiga anak berandal itu.
Yadi melangkah mendekat, melayangkan tangannya ke pipi Razavi. Tamparan terdengar begitu keras di tempat sepi seperti belakang sekolah. Ia bertimpuh di tanah, sembari memegangi tengkuk leher Razavi.
"Jangan mentang-mentang bokap lo kaya, lo malah seenaknya di sini. Enggak cuma lo yang bayar di sini, kita juga bayar," desis Yadi penuh dengan penekanan. Tatapan laki-laki itu mendelik tajam dan menyiratkan ketidaksukaan pada Razavi.
"Udahlah, Yad. Abisin aja, bikin perhitungan sama dia. Gara-gara dia nyokap gue hampir jantungan denger gue di skors," sahut Cecep berkacak pinggang menatap Razavi.
Tatapan benci kembali Razavi dapatkan dari ketiga anak berandalan itu. Ia menelan salivanya sendiri, mengerjapkan mata dua kali, dan menajamkan telinga mendengar ucapan dari Cecep. Jujur saja, ia sama sekali tidak tahu mengenai masalah itu. Perasaan, ia sama sekali tidak mengadu pada sang papa, bahkan Rayhan sendiri tidak bertanya mengenai luka yang ada di sudut bibirnya. Begitu juga dengan Elita, kedua orang tuanya tidak ada yang sadar mengenai luka di sudut bibir Razavi.
"M–maksud lo apaan?" tanya Razavi tergagap menatap satu per satu dari mereka.
Frenky si laki-laki berambut cepak itu mengulas senyum sinis. Kemudian berjalan mendekat, menarik kerah kemeja Razavi sampai tubuh laki-laki itu terangkat.
"Jangan pura-pura bego! Gara-gara Lo kita kena skors. Kita juga di sini bayar, men!" Frenky mendorong Razavi dengan kasar.
Razavi menahan pijakannya saat terdorong ke belakang oleh Frenky. Ia membersihkan lengan yang terkena lumpur selokan. Menatap tak mengerti pada ketiga anak berandal itu.
"Maksud lo pada ... karena kejadian kemarin lo malak gue. Lo kena skors sama kepala sekolah?" Razavi menaikkan sebelah alisnya meminta jawaban pada ketiga anak berandalan itu.
"Masih aja nanya lo!" bentak Cecep, merasa tak tahan melihat wajah Razavi sok tidak tahu.
Razavi menghela napas pelan. Ia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Mengadu saja ia tidak berani, seolah-olah pengaduan tersebut tidak ada gunanya. Kemungkinan saja surat skors itu keluar, karena kepala sekolah terlalu takut menghadapi sang papa. Apabila kabar tentang ia dirundung terdengar sampai ke telinga lelaki paruh baya itu. Padahal tanpa Razavi buka mulut atau meminta teman satu kelas untuk tutup mulut, mungkin kabar tersebut tidak akan menyebar.
"Oke! Lo mau apa dari gue? Lo mau gue bilang ke kepala sekolah buat cabut surat skors itu?" Razavi mendelik tajam pada ketiga berandal di hadapannya. Kesabaran yang dipunya sudah hampir habis menghadapi mereka.
"Lo pinter! Tapi kalo seandainya lo enggak bisa cabut surat skors itu, maka jangan harap lo bisa hidup tenang," desis Yadi tepat di depan wajah Razavi.
"Satu lagi, bilang juga ke kepala sekolah kalo lo sama kita itu temenan. Enggak ada kata 'memalak' anggap aja kejadian kemaren itu lagi latihan tinju," lanjut Yadi sembari mengulas senyum miring.
Razavi menepis lengan Yadi yang bertengger di bahu. Mengangguk mengiakan ucapan tersebut.
"Awas lo!" Frenky mengancam sembari melewati Razavi.
Ketiganya berjalan menjauh meninggalkan Razavi sendiri di belakang sekolah. Membuat Razavi kembali mengembuskan napas panjang. Lagi-lagi kejadian tadi mengingatkan ia pada dua tahun yang lalu, di mana dirinya pernah berada di posisi tersebut. Ia memejamkan mata mencoba mengenyahkan berbagai file masa lalu.
Razavi berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Pikirannya benar-benar tidak karuan, file masa lalu kembali memberontak. Membuat Razavi sulit mengendalikan diri dan pikiran. Tangannya mengepal erat, keringat dingin membasahi telapak tangan serta dahinya. Deru napas pun tak beraturan,
"Raza!"
Langkah Razavi terhenti kala mendengar seseorang memanggil namanya di koridor sekolah. Ia menoleh ke belakang, wajah pucat terpatri di wajah. Bukan karena takut pada orang yang datang menghampiri, melainkan sulit mengendalikan diri. Terutama mengendalikan kecemasan yang kini memberontak menyelimuti benak.
Razavi menelan ludahnya sendiri. Tangan masih mengepal erat dibasahi oleh keringat. Sungguh, peristiwa perundungan tadi mengingatkan ia pada masa lalu, sehingga memunculkan penyakit yang berusaha disembuhkan selama ini.
"Lo enggak apa-apa, Za?" Julian mengerutkan dahi menatap heran pada Razavi.
Pasalnya wajah Razavi terlihat pucat. Belum lagi tangan dan seragam laki-laki itu terlihat kotor. Keringat pun membasahi dahi serta sekujur tubuh Razavi. Tak tahan dengan tatapan yang diberikan oleh Julian, Razavi berlari meninggalkan Julian yang mematung di tempat.
"Dia kenapa?" Julian ingin mengejar Razavi, tetapi guru koordinator dari olimpiade yang akan berlangsung dua Minggu lagi, memanggil. Membuat ia antara menemui guru tersebut atau melanjutkan mengejar Razavi.
Razavi berlari ke toilet sekolah. Menutup pintu serta mengunci dari dalam. Ia menyandarkan punggung di pintu dengan kepala mendongak sembari mengatur deru napas yang tak beraturan. Tangan masih mengepal, mata kembali terpejam berusaha mengendalikan diri. Setelah merasa mulai membaik, mata laki-laki itu terbuka perlahan. Rasa lelah mulai terpatri, embusan napas terdengar begitu pelan.
Tubuh Razavi bertimpuh di lantai. Kepala mendongak menatap langit-langit toilet. Pikiran menerawang, tatapan begitu kosong. Tangan yang terkepal, kini mulai mengendur, tetapi keringat masih membasahi telapak tangan laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Teen Fiction"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...