Hasil pengumuman dari olimpiade PPkn sudah keluar. Sesuai dengan harapan Razavi, yang menjadi juara di olimpiade itu ialah Julian. Sementara ia berada di posisi ketiga. Bagi Razavi, tidak masalah berada di posisi ketiga, terpenting ia sudah berusaha semaksimal mungkin dalam olimpiade tersebut. Setidaknya usaha yang dilakukan membuahkan hasil.
"Lo enggak kecewa, Za?" Pertanyaan dari Rezky membuyarkan lamunan Razavi. Membuat atensi yang tadinya tertuju pada Julian di podium sana, kini tertuju pada sang kakak.
"Apa yang harus gue kecewain? Gue 'kan udah bilang, kalah-menang itu hal biasa. Gue seneng kok sama hasilnya, hasil gue sendiri bukan campur tangan dari orang lain." Senyum tipis terbingkai setelah mengatakan kalimat itu.
Ada rasa sesak di hati kala mengingat bagaimana ia memperjuangkan berbagai lomba atau olimpiade, pasti sang papa akan turun tangan. Agar ia bisa mendapatkan gelar juara. Namun, kali ini ... rasanya begitu berbeda.
"Hei, Za. Selamat ya atas juaranya."
Suara Aulia memecahkan jeda di antara Rezky juga Razavi. Kedua kakak-beradik itu sontak saja menoleh ke samping kiri, di mana Aulia tengah berdiri bersama Niko, Robi, dan Fadli. Ketiga temannya pun ikut mengucapkan selamat atas pencapaian Razavi.
"Ini siapa, Za?" Robi yang penasaran pun melontarkan satu pertanyaan.
Razavi menoleh sekilas pada Rezky, "dia Kakak gue," imbuh Razavi memperkenalkan Rezky pada teman-temannya.
Rezky mengulas senyum ramah memperkenalkan diri sembari menjabat tangan ketiga teman laki-laki Razavi.
"Gue baru tau kalo lo punya Kakak," ujar Fadli dengan seulas senyum kikuk.
"Kakak lo ganteng juga, ya. Mukanya kayak enggak asing," timpal Niko.
Razavi hanya mengulas senyum tipis menanggapi ucapan itu. Ia memilih pamit pulang kepada teman-temannya. Kembali menjenguk sang papa di rumah sakit.
"Kok, cepet banget pulang? Soal pemain cadangan futsal kita, lo masih bersedia, 'kan?" Sebelum Razavi benar-benar pergi, Niko bertanya perihal kesedian laki-laki itu bergabung menjadi pemain cadangan di futsal mereka.
"Kenapa emang? Futsalnya udahan, 'kan?" tanya Razavi menaikkan sebelah alis menunggu jawaban dari Niko.
"Belum, Za. Besok futsalnya dimulai. Acara ini berlangsung selama dua hari," sahut Aulia.
Razavi hanya mengangguk mengerti. Menoleh sekilas pada sang kakak yang diam-diam mengulum senyum, "oke. Ntar gue kabarin."
Setelah mengatakan itu, langkah Razavi menjauh diikuti oleh Rezky. Berjalan beriringan menuju parkiran sekolah. Tanpa disadari, Aulia mengejar secara diam-diam. Gadis itu masih menyimpan rasa penasaran seputar Razavi.
"Cewek yang tadi itu pacar lo?" Pertanyaan dari Rezky membuat Razavi menghentikan langkahnya.
Ia menoleh ke arah sang kakak, mengerutkan dahi tak paham. Mengapa sang papa menuduh ia memiliki hubungan dengan Aulia. Bahkan saat didekat dengan gadis itu pun, Razavi tidak merasakan hal apa pun. Ia hanya murni membantu dan menginginkan seorang teman.
"Dia ngikutin lo," kata Rezky sembari berbalik badan melihat tubuh mungil Aulia yang bersembunyi di pohon beringin.
Tatapan Razavi pun ikut tertuju pada objek yang ditatap oleh sang kakak. Mengembuskan napas kasar melihat Aulia bersembunyi di sana.
"Aul! Ngapain lo di situ?" Razavi berteriak memanggil, membuat tubuh Aulia menegang dan keluar dari persembunyiannya.
"Ngapain ngikutin?" Razavi bertanya kala gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
"A–anu ...." Aulia gugup, rasa penasaran dalam diri benar-benar membunuhnya.
Tadi saat olimpiade sedang berlangsung, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan kepala sekolah dengan staf kesiswaan. Mereka membicarakan papa dari Razavi yang masuk rumah sakit akibat kecelakaan. Tak lupa juga ia mencari tahu melalui media sosial, sangat terkejut melihat berita tersebut. Terlebih lagi dengan kemunculan anak pertama dari Pak Rayhan, membuat rasa penasaran kian menguat saja.
"Cepet ngomong! Lo kenapa ngikutin?" Razavi sedikit membentak, tak sabar dengan maksud Aulia yang mengikuti dirinya.
"Gue pengen jenguk bokap lo!" Merasa dipojokkan, akhirnya kalimat itu terlontar juga.
Razavi dan Rezky kompak saling pandang mendengar kalimat itu. Razavi meragu mengajak Aulia ke rumah sakit bersama. Ia belum terlalu mengenal gadis itu.
"Boleh enggak?" Aulia menatap penuh harap pada dua kakak-beradik itu. Berharap mereka mau mengajaknya ikut serta.
Keinginan Aulia untuk menjenguk bukan semata-mata rasa penasaran. Hanya saja ia ingin mengetahui kondisi dari lelaki paruh baya yang katanya merupakan lelaki baik dan dermawan di depan publik. Tidak hanya itu saja, ia ingin menjenguk karena Rayhan merupakan orang yang pernah membantu Aulia masuk ke SMANSA kala itu. Lebih terkejutnya lagi ketika ia mengetahui bahwa Rayhan merupakan papa dari Razavi.
"Boleh," pungkas Rezky memecahkan jeda yang cukup lama di antara mereka. Laki-laki itu tak memedulikan tatapan tajam dari Razavi dan langsung memasuki mobil Avanza berwarna hitam.
Begitu juga dengan Razavi yang mengikuti sang kakak dengan wajah yang ditekuk. Tak lupa juga Aulia yang turut ikut di kursi belakang. Baru kali ini Razavi merasa kesal pada sang kakak. Padahal ia tidak ingin kehidupan yang lainnya terungkap oleh gadis itu.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak ada yang banyak berbicara. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sampai tak terasa waktu perjalanan begitu singkat, ketiganya turun dari mobil. Berjalan beriringan melangkah masuk ke rumah sakit.
Hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai di ruangan Rayhan. Saling berdiam satu sama lain menatap lelaki paruh baya yang berbaring di atas brankar dengan perban di dahi dan plester di sekitar wajah.
"Papa sudah siuman," ucap Elita mengulas senyum tipis menatap dua anak laki-lakinya, "mama tinggalin kalian berdua di sini enggak apa-apa? Mau beli makan siang dulu buat kalian dan temanmu, Za," imbuh Elita sembari menatap Aulia penuh arti.
"Enggak usah repot-repot, Tante. Aku ke sini cuma mau jenguk Om Rayhan aja, karena beliau udah bantu aku masuk ke sekolah SMANSA dan maaf banget aku enggak bisa bawa apa-apa," kata Aulia menyela. Merasa sungkan pada Elita. Ia pikir setelah sampai di sini, salah satu keluarga Razavi tidak akan ada suka dengan gadis sederhana seperti dirinya.
"Enggak apa-apa. Tante seneng ada yang jenguk Papa Raza di sini." Elita menepuk pelan bahu Razavi dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Pandangan Razavi tertuju pada sang papa. Menatap lekat wajah itu, hingga pada akhirnya mata sang papa terbuka secara perlahan. Razavi mendekat, begitu juga dengan Rezky.
"Bagaimana dengan olimpiadenya?" tanya Rayhan dengan terbata-bata. Suara yang biasanya tegas kini terdengar memelan.
Razavi mengembuskan napas kasar. Bisa-bisanya sang papa mengingat tentang olimpiade itu di saat kondisi lelaki paruh baya itu sedang tak sehat. Ingin jujur, tetapi takut membuat tubuh yang penuh luka malah menjadi drop kembali. Kalau tak jujur, rasanya tak enak di hati Razavi.
"Raza dapet juara tiga, Pa. Julian yang dapat juara pertama," ujar Razavi begitu pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Novela Juvenil"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...