Aulia bergeming mendengar kalimat itu. Mencerna setiap makna yang terucap. Baru kali ini ia mendengar sebuah kalimat yang tak asing baginya. Dulu, ia pernah mengucapkan beberapa yang tertera di kalimat itu. Entah mengapa rasa penasaran kian menyeruak tentang sosok Razavi si kutu buku di kelasnya.
"Ma–maksud lo?" Aulia memicingkan mata dengan curiga.
Sementara Razavi hanya mengulas senyum tipis. Ia beranjak dari duduk menatap pergelangan tangan kanan gadis itu, luka gores masih membingkai di pergelangan tangan itu. Segera ia mengobati luka gores tersebut dengan obat merah, lalu dibaluti oleh hansaplast.
Aulia tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Razavi. Ia sama sekali tak berkedip saat laki-laki itu tengah mengobati lukanya. Apalagi sembari seulas senyum hangat yang terbingkai di wajah. Begitu meneduhkan dipandang mata.
"Seharusnya lo juga bisa ngobatin luka lo sendiri," ujar Razavi menatap penuh arti, "dan makasih udah ngobatin luka gue."
Setelah mengatakan kalimat itu, Razavi berlalu pergi keluar dari ruang UKS, sedangkan Aulia masih mematung di tempat. Melihat perubahan dari Razavi membuat ia tak berkedip sama sekali. Bahkan tercengang apa yang dilakukan oleh laki-laki kutu buku yang dulunya tidak peduli dengan keadaan sekitar.
Perhatian kecil yang didapat dari Razavi, mampu meninggalkan kesan hangat di hati Aulia. Baru kali ini ada seseorang yang sadar akan luka di pergelangan tangannya. Walaupun ada, tetapi hanya Razavi orang pertama yang menatap luka tersebut begitu lama. Seakan-akan tahu dari mana ia mendapatkan luka itu.
Sorot mata Aulia tertuju pada pergelangan tangan, sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyum tipis. Bersyukur karena masih ada orang baik yang mau mengobati luka lama dan baru dipergelangan tangannya.
Sementara di tempat lain, Razavi meringis merasakan nyeri di pipi. Membuat ia kesusahan untuk minum karena luka robek di bibir, apalagi untuk makan. Membuka mulut sedikit saja, nyeri dan perih luar biasa menyerang.
"Muka lo kenapa, Za?"
Langkah Razavi terhenti mendengar suara Julian dari arah yang berlawanan. Ia mengangkat kepala menatap Julian yang berdiri di hadapannya dengan wajah ingin tahu.
"Kenapa emang? Lo mau nyoba bikin tato kayak gue?" Razavi menaikkan sebelah alisnya, menatap sinis pada Julian.
Entah mengapa saat melihat laki-laki itu membuat Razavi seketika emosi saja. Ia mengingat bagaimana sang papa selalu memuji dan membanggakan seorang Julian. Bahkan tak segan membandingkan bagaimana sosok Julian dan dirinya. Rasanya begitu muak kala ingatan itu terlintas.
"Tato?" Julian mengerutkan dahi dengan bingung. Padahal sudah jelas, yang ada di wajah Razavi itu bukan tato. Melainkan sebuah luka tonjok, "b–bukannya itu luka, ya? Lo berantem di luar sekolah?"
Lagi dan lagi, Razavi mendapatkan kalimat yang sama seperti dulu. Waktu pertama kali luka bekas tonjok dari sang papa membekas di wajah. Membosankan bila mendapatkan pertanyaan itu kembali. Ia tidak ingin membahas, apalagi mengingat bagaimana tak berdayanya saat tubuh dan wajah menjadi sasaran pukulan sang papa.
"Mau gue berantem di luar sekolah kek atau enggak, itu bukan urusan lo." Razavi melangkah melewati Julian, tetapi Julian malah mencegah langkah itu dengan pegangan di bahu.
"Lo kenapa, sih, Za? Setiap kali gue pengen ngomong sama lo, lo selalu ngehindar. Kemarin gue tanya kenapa muka lo pucat, lo malah lari menghindar. Sekarang, gue tanya muka lo yang babak belur, lo malah bersikap seolah-olah enggak suka sama gue. Kita masih saudara sedarah, Za," ujar Julian merasa tak nyaman dengan sikap Razavi padanya.
Razavi menurunkan tangan Julian yang bertengger di bahu. Berhadap menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam.
"Ko enggak usah pedulikan gue, Li. Lo fokus aja sama olimpiade kita di Minggu yang akan datang. Gue harap, gue bisa kalahin lo. Supaya bokap gue enggak selalu bandingin lo sama gue," ucap Razavi mengulas senyum kecut. Lalu berbalik dan pergi meninggalkan Julian sendiri.
Padahal tanpa Razavi tahu, ia memiliki niat baik untuk menjenguk dan sharing tentang olimpiade yang akan berlangsung nanti. Namun, melihat respons tak baik dari Razavi membuat Julian menyimpulkan bahwa laki-laki itu tidak suka pada dirinya.
***
Langkah Razavi memelan, ia berdiri di halte bus dengan pandangan kosong. Rasanya berat untuk kembali ke rumah. Tempat yang seharusnya menjadi tempat berpulang dan paling menenangkan, justru malah berubah menjadi neraka. Semua itu berawal dari rasa depresi Rezky hingga diagnosis memiliki gangguan kejiwaan.
Semua tugas dan tanggung jawab sebagai anak pertama kini berganti pada Razavi. Berat, menjalani semuanya sendirian. Terlebih tanpa dukungan dari orang terdekat. Dulu, ia sama sekali tidak akrab dengan sang mama. Wanita paruh baya itu selalu berpihak pada Rezky. Hanya keterpaksaan yang didapat selama menggantikan Rezky; sebagai anak pintar, cerdas, dan si juara pertama.
"Kamu harus bisa melakukannya sendiri Raza! Sekarang kamu pengganti kakakmu, karena dia sudah gila sekarang. Papa pengen kamu menggantikan dia sebagai anak kebanggaan dan pintar dari keluarga ini."
Razavi mengembuskan napas panjang mengingat kembali kalimat apa yang pernah terucap dari mulut Rayhan. Razavi remaja dan masih polos-polosnya hanya mengangguk mengiakan serta menuruti semua apa kata Rayhan. Tanpa sadar, hidup Razavi kini sudah dikendalikan oleh sang papa.
Jika dibandingkan dengan luka yang didapat dari tangan Rayhan, tidak seberapa dengan luka di hati. Lima tahun, ia hidup di bawah tekanan dan kendalikan oleh papa sendiri. Tidak hanya otak yang dikendalikan, tubuh pun sama. Siap sedia menjadi sasaran empuk di kala lelaki paruh baya itu marah.
"Kenapa belum pulang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Teen Fiction"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...