29. Luka dan Perpisahan

128 4 0
                                    

Satu Minggu Razavi disibukkan oleh berbagai tugas sekolah. Dari mulai materi, hingga praktik. Sampai tiba waktunya, hari di mana ia melaksanakan Penilaian Akhir Semester. Berkutat dengan berbagai soal yang tertera di kertas. Serta memperjuangkan diri agar bisa mendapatkan label 'lulus' dari SMA.

"Lo udah nentuin mau ke mana setelah lulus nanti?"

Razavi yang tengah sibuk bermain ponsel, mengangkat kepala dari layar monitor ponsel menatap kepada Rezky. Lagi dan lagi, ia mendapatkan pertanyaan yang sama. Tidak ada satu ide yang terlintas di kepala saat memikirkan akan ke mana setelah lulus nanti. Pikiran Razavi seolah-olah buntu, batin terasa lelah, dan ia ingin berhenti.

"Razavi akan saya sekolahkan di Singapura," sahut Rayhan dari arah tangga, berjalan menghampiri dua anak laki-laki sedang duduk bersantai di ruang tamu.

Sontak saja keduanya terkejut mendengar keputusan itu. Terutama Razavi, akankah ia kembali diperbudak dan dituntut menjadi ini-itu oleh sang papa? Jika iya, maka hanya ada satu cara agar Rayhan mau berhenti memaksa dan mengendalikan hidupnya, yakni dengan kematian. Ah, tetapi Razavi tidak akan mengakhiri dengan cara bunuh diri. Malah akan terasa sia-sia saja perjuangannya selama ini.

"Papa tidak memaksa, Za. Papa hanya ingin melihatmu sukses di sana." Rayhan memperjelas, menjawab raut kebingungan dari wajah Rezky serta Razavi.

Razavi bergeming. Menimbang tawaran itu, menoleh menatap Rezky meminta saran. Apakah ia harus menerima atau memberontak?

"Raza akan menimbang dulu, Pa. Nanti kalo Raza berubah pikiran, Raza akan kasih tau Papa," ujar Razavi mengulas senyum tipis.

Rayhan mengangguk mengerti. Melanjutkan langkah kembali ke arah pintu keluar. Dalam waktu satu Minggu kondisi lelaki paruh baya itu telah membaik. Luka yang dialaminya juga tidak terlalu parah, sehingga mampu membuat Rayhan cepat beraktivitas.

"Lo bakalan nge-iyain saran Papa?"

Setelah punggung tegap sang papa menghilang dari ambang pintu. Rezky bertanya, menatap penuh arti pada sang adik. Padahal keduanya baru bisa bersama, setelah berjarak karena penyakit yang diderita oleh Rezky. Kini Rayhan menyarankan yang seolah-olah membuat mereka akan berpisah.

"Gue belum kepikiran." Seulas senyum tipis terbingkai, ia kembali menunduk menatap layar monitor ponsel.

"Saran gue, sih. Lo nge-iyain, di sana lo pasti bakalan hidup bebas. Bebas dalam artian enggak dikekang lagi sama papa," ujar Rezky.

Razavi bergeming. Berbagai kalimat pemberontakan dari orang-orang terdekat terngiang bagaikan kaset favorit dan susah dihalau. Tatapan mata keduanya saling bertemu. Mengulas senyum penuh arti satu sama lain.

"Kenapa gue harus nge-iyain, Kak? Lo punya alasannya?"

"Karena gue enggak mau ngelihat lo semakin menderita cuma mengiakan perintah sang papa. Dan dituntut ini-itu. Gue pengen liat lo bebas, Za, murah senyum, dan tukang jail kayak dulu. Liat lo yang sekarang, gue ngerasa lo beda."

"Beda gimana?"

"Lo lebih dewasa dan pendiam."

Razavi terkekeh. Mungkin kepribadian yang sekarang, didapat dari keluarganya sendiri. Menepi dan menutup diri secara perlahan. Bahkan enggan menaruh rasa percaya kepada orang lain, kecuali sang kakak.

"Definisinya gini kali, ya ... 'ketika seseorang didewasakan oleh keadaan dan ditarik paksa agar terlihat kuat'. Gue lebih nyaman menyendiri dan diam tanpa harus melawan, Kak. Percuma melawan kalo ujungnya enggak didenger sama sekali."

Rezky mengulas senyum penuh arti. Merasa bangga punya adik sekuat Razavi. Berbanding dengan dirinya, yang begitu lemah dan tak sanggup menanggung beban sendirian. Pola pikir sang adik pun jauh berbeda dengan pola pikirnya apabila tengah menghadapi suatu masalah.

"Gue bangga punya lo, Za. Dan maaf kalo selama ini gue ngerepotin lo."

"Santai aja, Kak. Kita, 'kan, sodara sedarah. Udah tugas gue sebagai seorang adik, Kak."

***

Razavi memandang pantulan diri di cermin tanpa pakaian atas. Sorot mata terlihat datar, tubuh bergemetar mengeluarkan keringat dingin. Berbagai file masa lalu berputar berulang kali bagaikan virus flashdisk a.k.a sangat susah dienyahkan. Mendung di balik pelupuk mata berubah menjadi gerimis kecil-kecil.

Seharusnya di momen ini ia merasa bahagia karena mendapatkan gelar juara umum se-kabupaten. Justru yang dirasakan oleh Razavi malah sebaliknya. Menjadi bahan perbincangan dan atensi orang lain membuat dirinya cepat merasa lelah. Dipuji sana-sani oleh sang papa kepada kerabat serta teman bisnis dengan label 'aku yang mendidiknya dengan baik'. Sungguh, Razavi ingin sekali memperjelas kalimat itu menjadi ....

"Aku yang mendidiknya dengan cara kasar padanya. Pernah mematahkan semangatnya dan memaksa agar dia tetap menjadi nomor satu di depan publik," gumam Razavi mengulas senyum kecut.

Hari ini merupakan hari keberangkatan Razavi ke Singapura, sehingga membuat rumahnya begitu ramai didatangi oleh rekan bisnis sang papa serta kerabat. Merayakan atas pencapaian, pesta tahunan perusahaan, serta pelepasan anak laki-laki itu dari keluarganya.

"Ah, menjengkelkan," keluh Razavi sembari menyugar rambut ke belakang.

Luka di wajah akibat pukulan serta kecelakaan yang pernah dialami kini sudah mengering. Meninggalkan bekas luka yang membuat Razavi selalu mengingat sikap Rayhan. Walaupun ia berusaha mengenyahkan, bayangan peristiwa itu selalu terlintas tanpa diminta.

Tangannya meraba luka horizontal yang memanjang dari tulang hidung ke sisi pelipis, tepat di bawah mata. Luka yang baru didapat Minggu lalu, saat ia berusaha menyelamatkan sang mama dari pertengkaran rumah tangga. Rayhan memang sudah menerima kesalahannya dan membiarkan ia memilih jalan kehidupan sendiri.

Namun, untuk soal keharmonisan sepertinya sangat kurang. Kedua orang tua sering cekcok, memaki, dan tak lupa juga melemparkan barang di sekitar melampiaskan rasa marah. Walaupun mereka tidak bertengkar di hadapannya dan Rezky, tetap saja suara-suara gaduh itu sampai terdengar ke telinganya.

"Za!"

Tubuh Razavi tersentak. Bayangan masa lalu itu buyar begitu saja. Tatapan masih tertuju ke arah kaca, melihat pantulan tubuh sang kakak yang begitu gagah memakai tuxedo hitam. Langkahnya mendekat, menepuk pelan bahu tegap yang terbuka tersebut.

"Kenapa belum bersiap? Satu jam lagi lo mau berangkat, 'kan?"

"Lo tau kalo mama sama papa sering berantem?" Razavi mengalihkan topik pembicaraan, masih penasaran dengan titik masalah yang sering membuat kedua orang tuanya sampai bertengkar.

Rezky bungkam. Menunduk dalam sembari menghela napas pelan. Ia juga hampir lupa sejak kapan pertengkaran itu dimulai. Tak ada yang terlalu diingat oleh Rezky, selain perintah dari sang papa.

"Dari mulai lo duduk di bangku kelas 7. Gue pernah liat mereka bertengkar, mereka cekcok karena butik mama, kedua karena gue yang punya nilai minus di sekolah, dan ketiga mama nuduh papa selingkuh. Selebihnya gue enggak tau dan emang enggak mau tau," ujar Rezky memberitahu apa yang diingatnya dulu.

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang