28. Kesadaran

79 4 0
                                    

Entah mengapa, kalimat yang didengar dari Aulia kemarin masih terngiang bagaikan kaset favorit. Hati terasa tercabik, rasa bersalah menyeruak dalam benak. Namun, gengsi dalam diri membuat Rayhan enggan mengakui kesalahannya. Ia tetap bersikeras bahwa yang dilakukannya untuk kedua sang anak merupakan bentuk kasih sayang dan perhatian sebagai sebagai seorang papa.

"Aku tidak bersalah! Aku hanya melakukan yang terbaik untuk mereka," gumam Rayhan menatap kosong ke depan pintu.

Elita yang tidak sengaja mendengar gumaman itu, menatap heran. Sudah dua hari, sang suami selalu melamun. Bahkan bergumam kata-kata yang tidak dimengerti oleh Elita. Bertanya pada dua anaknya, malah dibalas gelengan kecil.

Pintu ruang rawat Rayhan terketuk, membuat lamunan Elita tentang sang suami buyar. Segera ia berjalan ke arah pintu, menarik pintu melihat siapa yang datang menjenguk. Seulas senyum hangat terbingkai melihat Riyan berdiri di ambang pintu sembari membawa berbagai buah.

"Bagaimana keadaan Kak Rayhan?" Riyan bertanya kala sudah berdiri di samping brankar Rayhan, dengan senyum ramah di wajah.

Rayhan mendelik sinis. Merasa tidak suka dijenguk oleh sepupunya sendiri. Rasa dendam masih menyelimuti saat mengingat kalau Riyan sering kali ikut campur dalam urusan keluarganya. Namun, di sisi lainnya sering membantu juga.

"Keadaan Kakakmu baik, Ri. Lukanya pun sudah membaik," sahut Elita memecahkan jeda di antara mereka.

Riyan mengangguk kaku, senyum di wajah memudar. Sorot ketidaksukaan dari mata Rayhan begitu terasa. Ia peka dengan suasana dalam ruangan itu. Menoleh sekilas ke sekitar ruangan itu mencari sosok Rezky.

"Si gila itu tidak ada di sini," kata Rayhan seakan-akan bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Riyan.

"Dia tidak gila. Kenapa Kak Rayhan menganggap dia gila?"

"Karena sikap dia sama seperti orang gila!"

Riyan menghela napas pelan. Percuma saja kalau dulu ia menjelaskan mengenai kondisi Rezky. Jika pada akhirnya Rayhan belum bisa menerima, apalagi menganggap anak sendiri seperti orang gila di luaran sana. Padahal apabila Rayhan mendukung serta merangkul Rezky, peluang agar bisa sembuh untuk anak itu begitu besar. Bahkan kesembuhannya bisa dibilang akan cepat.

Berbeda jikalau anak itu tidak mendapatkan dukungan dan rangkulan. Maka akan sulit baginya untuk sembuh, seolah-olah tengah berputus asa. Membaca gerak tubuh serta bagaimana sikap Rayhan, membuat Riyan hanya mampu menghela napas.

"Seharusnya Kak Rayhan sadar akan kesalahan yang pernah dilakukan kepada anak-anak Kakak. Kasihan mereka harus nanggung beban dan sakit mental karena tidak diberi kesempatan untuk memilih jalan hidup sendiri." Entah mengapa, kalimat itu terlontar dengan mulus dari mulut Riyan.

Elita dan Rayhan sontak saja menatap lekat wajah laki-laki itu dengan kerutan di dahi. Kata terakhir yang dilontarkan meninggalkan rasa penasaran bagi kedua orang tua itu.

"Dulu aku pernah berkata, 'dia diagnosis memiliki gangguan kejiwaan. Mental dia melemah dan dia mengalami depresi berat'. Kalian ingat kata-kata saat Rezky didiagnosis memiliki gangguan kejiwaan? Penyebab utama ialah stres hingga berujung ke depresi. Banyak beban yang dia pikirkan dan dia tidak sanggup menanggung itu sendirian. Apalagi disuruh menjadi nomor satu, juara, dan anak paling dibanggakan oleh keluarga. Bukan karena keinginan sendiri, melainkan keinginan kalian. Sesuatu yang dijalani dengan terpaksa, itu tidak akan berjalan dengan sempurna."

"Maksudmu apa? Intinya saja!" Rayhan membentak, ucapan Riyan benar-benar memutar isi kepalanya.

"Perintah, kuasa, dan menuntut ini-itu kepada dua anakmu. Bisa menyebabkan rasa tertekan dan hilangnya minat untuk hidup," tutur Riyan mengulas senyum tipis.

"Kau menyalahkanku atas penyakit yang diderita oleh Rezky?"

Riyan mengangkat bahu dengan pelan. Seulas senyum tipis masih terbingkai di wajah, "aku tidak menyalahkan siapa pun. Hanya berkata sesuai fakta. Akui saja kesalahanmu, Kak. Jika kau bersikeras pada pendirianmu menginginkan mereka menjadi juara dan dipuji di depan publik. Maka bersiaplah untuk dibenci dan tidak dipedulikan oleh anakmu sendiri. Ada saatnya seorang anak sudah elah dengan semuanya, akan menjadi sosok pembangkang dan pemberontak demi bisa mendapatkan kebebasan," imbuh Riyan.

Mulut Rayhan terbungkam. Dari ucapan Riyan hingga Aulia kemarin, kini menyatu di kepala. Berputar terus-menerus serta bersuara dalam pikiran Rayhan. Bayangan tentang pemberontakan Razavi menyeruak. Sampai rasa takut dalam diri menyelimuti.

***

Jam pelajaran ketiga telah berakhir, tergantikan oleh jam istirahat. Tidak seperti dulu lagi, kini saat jam istirahat tiba ... Niko, Robi, Fadli, dan Aulia menghampiri mejanya. Mengajak istirahat bersama di kantin, Razavi yang awalnya meragu berteman dengan mereka kini mulai terbiasa dan beradaptasi dengan teman SMA-nya. Siapa tahu saja, berawal dari pertemanan awal tersebut bisa terukir kenangan semasa SMA dalam hidup.

"Gila, sih. Enggak nyangka amat. Abis SMANSA Of The Year malah disuguhi oleh tugas bejibun," keluh Fadli menenggelamkan wajah di bantalan tangan atas meja. 

"Wajarlah, 'kan, bentar lagi kita mau PAS. Abis PAS perpisahan dan pelepasan, abis itu nentuin tujuan hidup, deh," timpal Aulia.

Semenjak Razavi mengiakan berteman. Aulia jadi jarang jalan bareng dengan teman sebangkunya. Bukan karena ia menjauh, hanya saja ia akan kembali bergabung apabila bosan berkumpul dengan anak laki-laki sekelasnya.

"Kalian pada mau lanjut kuliah apa kerja?" Niko yang sedari tadi menikmati cilor a.k.a cilok telor kini bersuara.

"Gue, sih, kuliah sambil kerja. Itu juga kalo kuat," sahut Robi sembari mengunyah telor gulung.

"Lo pasti mampu, Bi. Lo, 'kan, cowok strong," kelakar Aulia, yang diikuti oleh tawa yang lainnya.

"Kalo lo, Za?" Fadli menoleh kepada Razavi setelah mengatakan itu, "mau lanjut kuliah di mana?"

Semua atensi teman satu mejanya, kini tertuju ke arah Razavi. Membuat ia mengembuskan napas pelan saja. Sejujurnya, ia sama sekali belum menyusun rencana hidupnya di masa yang akan datang. Terlalu sibuk mencari kebebasan dari tuntutan sang papa. Kalau ditanya soal cita-cita, Razavi memilikinya, ia ingin sekali menjadi seorang dokter psikologi seperti Riyan. Bisa memahami, mengobati, menjadi teman seseorang, dan menangani orang yang membutuhkan.

Balasan Razavi yang mengangkat bahu dengan pelan, membuat keempat teman satu kelasnya menatap heran. Pasalnya Razavi itu merupakan siswa pintar, masa iya tidak memiliki tujuan setelah lulus dari SMA. Jika memang itu jawaban dari Razavi, mereka tidak bisa bertanya lebih. Takut kesannya malah ikut campur.

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang