17. Keluh-kesah

74 3 0
                                    

Seketika mulut Razavi terkatup rapat. Lidahnya kelu. Tubuh terasa panas dingin, tatapan tajam dari Rayhan mampu menusuk ke sekujur tubuh. Debaran di jantung semakin tak karuan. Keringat dingin membasahi dahi. Napas mulai tak beraturan diselimuti oleh ketakutan, sungguh Razavi tak mampu menahannya lagi.

"Sekali lagi kamu berani membentak Papa sendiri. Maka, jangan harap ada kesempatan kedua buat kamu!" bentak Rayhan, menarik kerah kemeja Razavi yang sudah lecek.

Tubuh Razavi tertarik. Ia pasrah, memejamkan mata kala tangan kekar Rayhan mengudara dan siap mendarat di pipi. Rasa sakit menjalar di tulang pipi, tubuh tersungkur ke arah sofa akibat pukulan keras itu. Sungguh, wajah Razavi terasa sudah rusak. Selalu dibaluti oleh luka tonjok ataupun babak belur oleh papa kandung sendiri.

Ingin sekali ia melaporkan penganiayaan yang didapat ke pihak berwajib, tetapi mengingat hidup ia bergantung pada Rayhan. Membuat Razavi membungkam. Percuma melapor pada polisi, mengingat kuasa yang dimiliki oleh Rayhan mampu menyuap para polisi itu dengan uang. Terlebih lagi sang papa merupakan lelaki terhormat dan terlibat dalam bidang politik.

"Sudah, Mas! Dia bisa mati bila kamu terus-terusan memukul wajahnya!" Elita berusaha menarik tubuh sang suami menjauh dari Razavi. Namun, tenaga yang dipunya tidak sebanding dengan tenaga seorang lelaki.

Melihat Razavi yang pasrah dipukuli oleh Rayhan, mampu membuat hati Elita sakit. Ini bukan kali pertama ia melihat wajah tampan itu babak belur. Buliran bening menetes dari pelupuk mata, tatapannya tertuju pada Rezky yang memeluk tubuh sendiri di belakang sofa dengan takut. Sementara para pelayan dan bodyguard yang biasa berjaga, tak berani mendekat untuk memisahkan Rayhan yang sedang memukuli Razavi seperti orang kerasukan.

Sungguh, seorang papa berwajah jahat di mata seorang anak. Sorot mata Elita mengedar ke sekitar ruangan. Mencari benda apa saja yang bisa menghentikan aksi Rayhan. Tepat di sisi kiri, ia melihat sebuah gagang kayu yang ia yakini gagang dari sapu. Segera ia berjalan dengan tergesa-gesa mengambil gagang kayu itu. Elita merasa ragu memukul kepala belakang Rayhan dengan gagang itu. Matanya terpejam, tangannya mengerat memegang gagang kayu tersebut.

"Berhenti, Mas!"

Gagang kayu itu mendarat di punggung Rayhan. Pukulan yang pelan, tetapi mampu membuat Rayhan berhenti hingga terjatuh ke lantai. Elita menjatuhkan gagang kayu itu, menutup mulut dengan terkejut. Wajah sudah sembab oleh air mata, ia mendekati Razavi di atas sofa dengan wajah sudah babak belur dan pasti tubuh yang lemas.

"R–ra–raza ...." Elita tergagap, rasa sedih kian menyelimuti. Ia membantu Razavi bangun dari posisi terlentang menjadi duduk.

Mata bengkak, pipi kanan-kiri lebam, hidung berdarah, dan bibir yang robek mampu mendeskripsikan kondisi Razavi saat ini. Elita ingin menyentuh luka yang ada di wajah, tetapi Razavi menepis dengan pelan. Ia tak butuh diobati, percuma diobati. Luka tersebut akan muncul lagi dan lagi. Dengan pelan, Razavi beranjak dari duduk. Berjalan dengan gontai ke arah tangga, menaiki anak tangga dengan langkah pelan.

Elita menyeka basah di pipi. Sorot matanya kini tertuju ke arah Rezky yang terlihat ketakutan. Padahal baru tadi, ia membawa Rezky psikoterapi. Kini ketakutan dalam diri anak itu kembali kambuh. Elita mendekat, merangkul bahu Rezky untuk berdiri. Lalu berjalan menuju kamar laki-laki itu.

***

Tatapan penuh tanya Razavi dapatkan saat sampai di kelas. Bahkan Niko, Robi, dan Fadli mendekat ke arah mejanya. Mereka menatap ingin tahu tentang luka yang ada di wajah Razavi. Seharusnya hari ini ia tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, tetapi kegaduhan yang dibuat oleh Rayhan. Bahkan takut menjadi sasaran kemarahan dari sang papa. Membuat Razavi nekat berangkat ke sekolah tanpa pamit. Ia sedang menghindar.

"Ngapain lo pada di sini?" Razavi memicingkan mata tak suka.

Sudah sipit akibat lebam dan bengkak, kini mata itu seperti tidak terlihat sedang memicing. Hidup Razavi begitu malang, nasibnya selalu tak baik. Setelah dipukuli oleh Rayhan kemarin, ia langsung meminum obat anti-depresan dan Benzodiazepine sekaligus guna menghilangkan kecemasan yang menyiksa dalam diri. Padahal resep yang diberikan oleh Riyan itu tidak diminum sekaligus, tetapi pilih salah satu yang memungkinkan bisa meredakan kecemasan yang kambuh itu.

Akibat meminum dua obat yang memiliki efek samping tak biasa. Membuat Razavi tertidur pulas, bahkan ia tak sempat untuk membersihkan luka ataupun mengobatinya. Ia hampir saja melakukan overdosis obat penenang itu. Ternyata Tuhan masih baik padanya, Dia masih ingin melihat Razavi kembali berjuang. Terlebih lagi meraih suatu impiannya.

"Za, Za, Razavi!"

Tubuh Razavi tersentak merasakan goyangan di bahunya. Ia menoleh menatap Niko si pelaku yang menggoyangkan bahunya. Menatap dengan penuh tanya kepada mereka yang mendekat ke arah bangkunya.

"Mending luka lo diobati dulu, Za. Nanti malah infeksi, gue ngeri ngelihatnya," ucap Niko dengan wajah dibuat meringis melihat luka lebam di wajah Razavi.

Ucapan Niko ada benarnya juga. Ia merasakan nyeri yang luar biasa dan perih di sekitar pipi. Pukulan Rayhan tidak main-main, bahkan lelaki paruh baya seperti hilang kendali. Seperti bukan Rayhan yang dikenal oleh Razavi.

"Niko bener, Za. Lagian itu luka dibiarin mengering sendiri, ya, sama lo? Terus dibasuh pake air?" Robi bertanya sembari menaruh telunjuk di dagu menatap sekitar wajah Razavi.

"Bengkak di pipi lo juga belum mengecil, Za," sahut Fadli tak kalah mengomentari.

"Aul! Anter Razavi dan obatin dia!" teriak Niko di dalam kelas.

Membuat atensi anak-anak lain kini tertuju ke arah bangku Razavi. Membuat Razavi menunduk dalam saja. Wajar bila Niko berteriak, toh, posisi Aulia sedang berada di barisan paling kanan melewati dua barisan bangku.

"Kenapa harus gue?" tanya Aulia kepada dirinya sendiri.

"Ya, karena lo 'kan mantan ketua PMR. Pasti tahu dong cara obatin luka kek gini. Lagian yang PMR di kelas ini cuma lo," kata Niko.

Robi dengan sigap menarik tubuh Razavi dengan pelan. Menuntun tubuh itu keluar dari kelas. Diikuti oleh Aulia, Niko, dan juga Fadli. Mereka pergi bersama-sama menuju ruang UKS, bagi Niko dan Fadli hitung-hitung membolos pelajaran fisika di jam pertama.

"Lo dapet luka ini dari mana, sih? Baru kemarin gue liat luka ini. Sekarang malah tambah parah lukanya," ucap Aulia memecahkan keheningan di ruang UKS itu.

Keduanya sudah sampai di ruang UKS lima menit yang lalu, sedangkan ketiga teman yang lainnya memilih ke ruang lab kesenian untuk membolos dengan dalih latihan alat musik untuk acara tahunan sekolah tiga hari yang akan datang.

Razavi bergeming. Kembali meringis kala luka yang diobati terasa perih, sehingga tanpa sengaja ia memegang tangan gadis itu. Tatapan keduanya saling bertemu, lalu beralih ke genggaman tangan itu. Segera Razavi melepaskannya.

"Pasti sakit, ya? Ya pasti ya sakit," kata Aulia sembari mengoleskan obat merah ke luka Razavi, tak lupa juga meniup dengan pelan agar tak terasa perih.

"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang