Razavi mengembuskan napas lega saat sampai di depan rumah. Berhasil menolak dan kabur dari Niko yang memaksa ingin mengantarkan. Katanya, takut ia diganggu kembali oleh sekumpulan anak berandal dari kelas IPS. Langkah Razavi memelan melihat sang mama dan asisten rumah tangga hilir-mudik di halaman rumah sembari memanggil nama Rezky.
"Assalamu'alaikum, ada apa ini?"
Elita menoleh menatap Razavi. Berlari kecil menghampiri anak laki-laki keduanya. Tak lupa juga menggenggam lengan hangat laki-laki itu. Mendung di pelupuk mata kini membasahi pipi.
"Re–rezky ...."
"Kakak kenapa?" tanya Razavi tak sabaran. Membuat ia khawatir saja mengenai kondisi sang kakak.
"Kakakmu hilang. Dia enggak ada di kamar ataupun di halaman belakang. Bahkan kami sudah menggeledah di sekitar ruangan, tapi enggak ketemu juga," ucap Elita mengusap wajah dengan kasar.
Razavi terkejut mendengar hal itu. Pasalnya sang kakak tidak akan pernah pergi jauh. Pandangan Razavi mengedar ke sekitar sudut halaman rumah. Takut kalau salah satu pagar tidak terkunci, hingga membuat Rezky bisa keluar dari pintu pagar tersebut.
"Dia keluar, Ma," ucap Razavi melempar tas gendong ke lantai.
Berlari ke arah kiri di mana pintu pagar terlihat tidak terkunci. Razavi berlari keluar dari pintu tersebut, mulai mencari Rezky di sekitar rumah tetangga. Elita pun turut mengikuti Razavi, sebelum itu ia memberi tahu para asisten rumah tangga sekaligus mengerahkan beberapa anak buah sang suami untuk mencari Rezky di sekitar rumah tetangga.
Sementara di tempat lain, Razavi menghentikan langkah. Ia mengatur deru napasnya akibat terlalu lama berlari. Sudah berlari jauh pun, ia sama sekali tidak menemukan Rezky. Tak lupa juga bertanya kepada orang-orang sekitar, siapa tahu saja di antara mereka ada yang melihat kepergian Rezky.
"Kak, lo di mana?"
Tubuh Razavi kembali ditegakkan. Memutari tempat ia berdiri, mencoba menggali ingatannya tentang tempat yang biasa dikunjungi sang kakak. Siapa tahu saja Rezky ada di salah satu tempat tersebut. Kerutan di dahi memudar kala telinga Razavi tidak sengaja mendengar suara berisik dari gang yang menuju kontrakan kecil.
Kepalanya menyembul, rasa penasaran menyeruak. Terlebih lagi salah satu teriakan mereka terdengar seperti perundungan pada seseorang. Langkah Razavi mendekat, mencoba membelah kerumunan warga.
"Anak siapa, sih, ini?! Bukannya dipasung, bikin warga resah aja!"
Mata Razavi membulat terkejut mendengar salah seorang ibu-ibu bertubuh tambun sedang membentak. Mendengar kata 'pasung' membuat Razavi mengingat Rezky. Sang kakak pernah dipasung di ruang bawah tanah oleh Rayhan, katanya malu memiliki salah satu anggota keluarga yang gila.
"Minggir!"
Razavi membelah lautan kerumunan dengan susah payah. Ia mengatur deru napas yang tak beraturan, terkejut bukan main melihat Rezky diperlakukan oleh hewan. Sangat tak manusiawi sekali, tubuh Rezky terikat, bahkan untuk sekadar menyentuh saja mereka enggan.
"Lepaskan," ucap Razavi mendelik tajam pada lelaki paruh baya yang tidak memiliki rambut di kepala.
"Tidak akan kami lepaskan, sebelum orang gila ini dibawa ke rumah sakit jiwa," balas lelaki paruh baya itu menolak permintaan Razavi.
Tangan Razavi mengepal. Emosi dalam benak berkobar, berani sekali mereka mengatakan yang tidak-tidak tentang kakaknya.
"Zaza ... tolong Adik Re," ujar Rezky dengan binar sendu menatap Razavi.
Mata Razavi terpejam mendengar kalimat itu. Lima tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk ia bisa berbicara dengan Rezky. Baru kali ini ia kembali bisa mendengar suara Rezky. Dulu, setiap kali ia bertanya atau bercerita, laki-laki itu malah merespons dengan cekikikan.
"Lepaskan! Dia Kakakku dan dia tidak gila!" bentak Razavi pada lelaki paruh baya itu. Lalu mengambil alih tubuh sang kakak, melepaskan tali yang mengikat tubuh Rezky.
"Kalo punya saudara gila mending dipasung aja, Mas. Kasihan meresahkan warga sini aja. Bikin anak-anak takut," sahut salah seorang ibu yang dandanannya menor.
Razavi tak membalas. Membuang tenaga dan waktu saja apabila membalas satu per satu ucapan yang tak mengenakkan didengar. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa ingin tahu yang sebenarnya. Apakah seorang ODGJ atau orang yang memiliki gangguan jiwa itu selalu buruk di mata masyarakat? Seolah-olah masyarakat merasa bahwa seorang yang memiliki gangguan kejiwaan dapat membahayakan diri dan orang lain. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Razavi tidak habis pikir dengan jalan pemikiran masyarakat zaman sekarang. Selanjutnya, ia merangkul sang kakak membelah kerumunan dan menjauh keluar dari gang tersebut. Bahkan saat keluar dari kerumunan mereka masih sempat-sempatnya berkomentar buruk kembali. Razavi hanya bisa berdoa yang baik-baik untuk mereka yang sering mengomentari kehidupan orang lain.
"Ya Tuhan, Rezky!" Elita langsung memeluk tubuh Rezky tatkala matanya menangkap kedua anak laki-lakinya tak jauh dari tempat ia dan yang lain meneriaki nama Rezky.
"Kamu pergi ke mana? Mama khawatir sama kamu," ucap Elita begitu lembut sembari menangkup wajah Rezky penuh kasih.
Hati Razavi terasa tertusuk, dadanya sesak melihat kedekatan antara sang kakak dan mama. Selama delapan belas tahun, Razavi belum pernah merasakan kelembutan dan perhatian seperti itu dari Elita. Walaupun pernah, mungkin itu sudah sangat lama. Razavi tak ingat kapan dan di mana Elita memperlakukan hal yang serupa pada dirinya.
"Lain kali jangan ceroboh. Kalau papa tahu, dia bakalan marah."
Setelah mengatakan kalimat itu, Razavi berjalan melewati melanjutkan langkah yang tertunda ke arah rumah. Rasa lelah menyelimuti, beban di pundak kian hari kian bertambah. Satu hari saja, ia ingin sekali berisitirahat tanpa harus memikirkan kemarahan sang papa.
"Sudah siap untuk les matematika hari ini, Za?"
Razavi baru saja sampai di ruang tamu, langkah ingin ke kamar tertunda mendengar sambutan hangat dari guru matematikanya. Sambutan yang setiap hari didengar sepulang sekolah. Ia hanya mampu memberikan senyum tipis sebelum pamit ke kamar untuk berganti pakaian.
"Kapan semua ini berakhir?" tanya Razavi pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Teen Fiction"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...