11. rasa sakit

145 6 0
                                    

Sudut ruangan itu terlihat begitu remang. Tak ada intensitas cahaya yang masuk sedikitpun pada ruangan kecil itu. Suasana pun terasa begitu pengap dan lembab. Barang bekas yang sudah tak terpakai menumpuk di belakang sana yang kini sudah berdebu. Tubuh Razavi meringkuk di atas lantai dingin dengan mata yang sayu.

Wajah terlihat babak belur, penuh dengan luka lebam. Belum lagi sudut bibir robek akibat tamparan keras dari sang papa. Ia kembali menerima kekasaran dari Rayhan, menjadikan tubuh sebagai samsak kemarahan lelaki paruh baya itu. Rasa dingin menyeruak menusuk relung tulang. Rasa perih di perut kian terasa, begitu pun di sekujur tubuh yang terasa remuk.

Semua berawal dari ia membolos mata pelajaran Matematika. Kemudian, pulang terlambat dikarenakan harus mengikuti latihan futsal. Mengingat jadwal turnamen perlombaan akhir tahun sekolahnya dimulai dua Minggu lagi. Tepat pada saat olimpiade PPKN berlangsung. Membuat ia harus pulang sedikit terlambat dan melewatkan dua les wajibnya.

"L-lapar ...," ucap Razavi terdengar lirih.

Keringat dingin membasahi kening serta sekujur tubuh menggigil. Bibir terus bergumam tidak jelas. Ia memeluk tubuh sendiri, meringkuk menahan perih di perut, dan dingin di sekujur tubuh. Sudah hampir tengah malam, Razavi masih terkurung di ruang penyimpanan barang bekas. Ia terkurung dari jam lima sore hingga sampai sekarang, dibasuh air dingin oleh Rayhan tadi. Kemudian, dikunci tanpa diberi makan terlebih dulu.

Malang dan miris, tiga kata yang selalu terpatri dalam benak Razavi. Ia merasa kasihan pada diri sendiri; merasa seperti orang bodoh dan lemah tak bisa melawan. Berbagai memori masa lalu memberontak, membuat kepala Razavi terasa pening. Seolah-olah sedang dihantam oleh benda berat. Ketakutan kini mulai mendominasi benak, ia takut, ia sendirian, dan ia lelah.

Suara pintu terbuka membuat tubuh Razavi terhentak. Ia mencoba mundur dengan lemah. Berjaga-jaga, takut yang datang berkunjung ialah sang papa. Mata sayu dan sembab itu mencoba terbuka, tetapi rasanya sulit untuk membuka mata. Pusing di kepala semakin menjadi, berputar-putar tak karuan.

"Raza ...."

Suara lembut Elita mampu membuat Razavi mengembuskan napas lega. Ia merasakan kehangatan tangan Elita membingkai wajah. Menaruh kepalanya dipangkuan wanita paruh baya itu. Sudut bibir yang pucat dan berdarah mencoba ditarik ke atas membentuk senyum tipis. Merasa senang, setidaknya sang mama masih memiliki rasa kasihan pada anak sendiri.

"Badanmu panas, Za. Mukamu juga pucat, Ya Tuhan!"

Elita histeris merasakan suhu tubuh Razavi yang begitu panas. Tubuh pun terlihat menggigil, membuat dada Elita sesak melihat kondisi Razavi seperti ini. Ia merasa gagal menjadi seorang ibu yang tidak bisa melindungi anak sendiri, bahkan ia hanya memedulikan satu anak saja itu pun kejadian yang terdahulu.

Tak ingin membuat kondisi Razavi tambah parah. Elita mencoba menarik tubuh atletis sang anak agar berdiri. Melingkarkan tangan anak laki-laki itu di lehernya. Menopang tubuh lemah Razavi, hingga berjalan pelan-pelan keluar dari ruang penyimpanan tersebut. Elita tidak akan membiarkan sang anak sakit, ia tidak tega melihat wajah pucat itu.

Elita menaruh tubuh Razavi di atas ranjang, keduanya sudah sampai di kamar lantai bawah. Tidak memungkinkan bagi Elita membawa Razavi ke dalam kamar anak laki-laki itu yang berada di lantai atas. Hanya kamar tamu yang jaraknya lumayan dekat dengan ruang penyimpanan itu. Elita menaruh punggung tangan ke dahi Razavi, mencoba memeriksa suhu tubuh anak laki-laki itu.

Selanjutnya, berlari kecil keluar kamar mencari kotak obat yang entah di mana ia taruh. Elita mengacak dan mengobrak-abrik laci di sekitar ruang keluarga, biasanya ia menaruh kotak obat tersebut di laci salah satu almari yang terletak di sana. Ia tidak pernah menaruh kotak P3K di kamar. Elita mengigit jari saat tidak menemukan kotak P3K tersebut.

Sorot matanya kini tertuju ke lemari terakhir yang ada di ruang keluarga itu. Menarik laci itu dengan harapan kecil, berharap kotak tersebut ada di sana. Matanya berbinar kala menemukan kotak P3K, segera ia berlari kecil menuju dapur untuk mengambil air hangat guna sebagai kompres-an menurunkan demam di tubuh Razavi. Setelah merasa semuanya sudah siap, ia segera berjalan tergesa-gesa ke kamar tamu.

Elita menaruh handuk kecil ke dahi Razavi setelah memerasnya. Mengelus pelan setiap inci wajah anak itu yang babak belur. Elita mengobati luka lebam di wajah Razavi, membuat anak itu meringis merasakan perih dan nyeri di sekitar wajahnya. Seulas senyum tipis terbingkai di wajah Elita melihat kondisi Razavi. Banyak sekaliApalagi mengingat bagaimana kasarnya Rayhan memberi pelajaran pada anak sendiri.

"Za, minum obat dulu, ya. Biar demamnya turun," ucap Elita begitu lembut.

Mata yang sedari tadi terpejam, kini sedikit terbuka. Menelan ludahnya sendiri meredakan rasa sakit di sekitar wajah dan tubuhnya. Elita membantu Razavi bangun, memasukkan obat Paracetamol, lalu memberikan segelas air yang sudah disediakan tadi pada Razavi. Setelahnya, kembali menidurkan tubuh Razavi di atas ranjang.

"Kamu mau makan sesuatu tidak?" tanya Elita setelah menyelimuti tubuh Razavi.

Razavi menggeleng, ia ingin tidur. Rasa sakit di wajah semakin terasa, begitu juga di punggung serta sekujur tubuh yang lain. Tidak hanya jambakan di kepala, pukulan di wajah, Rayhan juga menendang punggungnya. Jika mengingat kejadian itu membuat Razavi merasa kesal.

"Ya udah, kamu tidur aja. Istirahat, pasti lukamu sangat sakit," papar Elita sembari mencondongkan tubuh ke depan, lalu mencium sekitar pipi yang bengkak.

"Luka yang ada pada diri Raza memang sakit, Ma. Apa lagi luka masa lalu, yang ditelantarkan oleh Mama dulu. Bahkan, luka ini belum seberapa sama luka yang ada di hati Raza, Ma." Razavi hanya mampu mengatakan kalimat itu di dalam hati.

Ia mendengarkan apa yang diucapkan oleh Elita sebelum dirinya benar-benar tertidur. Merehatkan tubuh yang terasa lemas. Ia berharap bahwa esok merupakan hari yang baik untuknya. Hatinya menghangat merasakan genggaman tangan Elita serta ciuman lembut di kening. Setelah itu, hanya ada kesunyian menyelimuti ruang kamar itu.

"Mama enggak tega ngelihat kamu kayak gini, Za. Maafkan Mama yang enggak bisa berbuat apa-apa buat kamu," ucap Elita begitu pelan.

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang