16. Kita teman?

76 6 0
                                    

Razavi bergeming. Tatapannya tertuju ke depan sana. Suasana mendadak senyap. Aulia sibuk dengan pemikirannya sendiri sembari memegangi pergelangan tangan yang terdapat goresan luka. Baru kali ini ia mengungkapkan kebenaran tentang luka di pergelangan tangan.

Apalagi pada laki-laki yang sempat membuat ia penasaran dulu. Akan tetapi, sekarang tidak lagi. Ia hanya membantu sebagaimana mestinya. Tidak memiliki maksud apa pun selain membantu.

"Kenapa gue bisa bilang kayak gitu ke lo? Sedangkan lo sama gue enggak saling kenal," ujar Aulia terkekeh dibuat-buat.

"Kita teman sekelas?" Alis Razavi terangkat kala mengatakan tiga kata itu.

Aulia malah tertawa mendengar ucapan itu. Membuat Razavi mengerutkan dahi bingung saja. Di kelas dan di luar kelas, sosok gadis yang ada di samping Razavi benar-benar berbeda.

"Kalo lo anggap gue temen sekelas. Enggak masalah, sih," ucap Aulia mengulas senyum kecil. Lalu beranjak dari duduk dan meninggalkan Razavi sendiri tanpa sepatah kata pun.

Razavi hanya menatap punggung gadis itu menjauh dari lorong. Pandangan Razavi tertuju ke arah ruang UKS. Ia beranjak dari duduk dan melanjutkan niat awal untuk diperiksa lebih lanjut mengenai kondisi kesehatannya. Merebahkan diri di brankar sembari memejamkan mata. Membiarkan salah seorang guru penjaga UKS memeriksa sekujur tubuhnya.

"Kamu memiliki riwayat penyakit maag sebelumnya?" Guru yang bernama Evi itu menatap lekat Razavi. Tangannya sibuk mengambil beberapa obat untuk Razavi.

"Tubuhmu lemah, jadi jangan biasakan telat makan. Kamu harus makan tepat waktu. Jangan sampai maag yang dirasakan menjadi radang. Dan ... kamu mengkonsumsi obat anti-depresan?" Evi memicingkan mata ingin tahu.

Razavi menggeleng mengelak pertanyaan itu. Ia tidak mau ada salah satu guru di sekolah yang tahu mengenai kondisi mentalnya. Apalagi diketahui mengkonsumsi obat anti depresan. Takut ditatap dengan kasihan oleh orang-orang kalau seandainya mereka mengetahuinya.

"Ya sudah kamu istirahat dulu. Dan minum obat ini." Evi menarik telapak tangan Razavi. Menaruh dua pil obat; maag serta antibiotik ke telapak tangan anak laki-laki itu.

Selanjutnya, Razavi meminum obat tersebut sekaligus. Lalu kembali merebahkan diri di brankar dengan mata terpejam, meredakan mual di perut. Sementara Evi, memilih keluar dari ruang UKS menuju koperasi.

***

Suasana di ruang tamu dengan interior klasik serba silver begitu kacau. Banyak barang berupa kaca yang berserakan di lantai. Belum lagi banyak penyangga sofa pun acak-acakan tak tentu di mana tempatnya. Rayhan benar-benar murka. Ia kembali mendapatkan kabar dari salah seorang bodyguard-ya. Melaporkan bahwa Razavi kembali membolos dua les demi bermain bola dengan anak-anak kelas.

Bahkan sampai sekarang belum pulang. Hal tersebut membuat Rayhan murka. Tidak hanya Razavi saja yang bermasalah, Elita serta Rezky pun sama. Sejak ia pulang dari kantor di jam dua siang, ia sama sekali tidak menemukan Elita beserta Rezky.

"Ah, sial! Mereka membuatku murka saja." Rayhan mengusap wajah dengan kasar. Tak sabar ingin melampiaskan emosi dalam diri ke tubuh Razavi ataupun samsak.

Suara derap langkah kaki mendekap membuat Rayhan mendongak dengan wajah datar. Senyum miring terbingkai kala sorot matanya melihat Razavi berdiri di depan sana dengan wajah menunduk. Rayhan beranjak dari duduk, berjalan cepat menghampiri anak laki-laki itu.

"Membolos lagi? Kamu lupa, kalau kamu masih memiliki jadwal les," ucap Rayhan terdengar tidak bersahabat.

Ketakutan dalam benak kini kambuh kembali. Tangan mengepal guna meredakan rasa gugup dan ketakutan dalam benak. Razavi ingin menjawab dan menjelaskan sesuatu pada sang papa. Akan tetapi, suara tamparan membuat ia bungkam kembali.

Rayhan kembali menampar pipi Razavi. Luka yang kemarin saja belum sembuh, kini malah bertambah lagi. Ia memegangi pipi yang terasa terbakar dan nyeri, mengulas senyum kecut sebagai balasannya.

"Aku pulang terlambat karena memiliki satu asalan, Pa," ucap Razavi terdengar lirih.

Tidak hanya Razavi saja yang berdiri menghadap pada Rayhan. Sang mama dan kakak yang baru saja sampai turut berbaris sejajar menghadap ke Rayhan langsung. Suasana mendadak mencekam dan pengap.

Berulang kali Razavi menelan ludahnya sendiri melihat betapa marahnya sang papa. Sangat menyeramkan.

"Kamu juga dari mana dengan anak ini?" Rayhan menunjuk ke arah Rezky dengan dagunya.

"Kalian bisa enggak, nurut aja sekali apa kata saya di sini!"

"Padahal tanpa Papa sadari aku dan Kak Rezky sudah lama nurut sama Papa."

"Berani sekali kamu membantah ucapan saya?"

Pukulan mentah melayang ke pipi kiri Razavi hingga anak laki-laki itu tersungkur ke lantai. Dengan buru-buru, Elita membantu Razavi untuk berdiri kembali. Memeluk tubuh anak itu serta merangkulnya. Sementara Rezky hanya diam sembari menyimak.

"Sudah, Mas! Dia anakmu bukan samsakmu!" bentak Elita. Sudah cukup ia diam melihat anak bungsunya diperlakukan kasar oleh suami sendiri.

"Kamu juga sama saja Elita! Mengapa kamu tidak mau menurut? Dia ...." Rayhan menunjuk pada Rezky, menatap nyalang pada laki-laki itu, "sudah tidak berguna. Psikoterapi tidak akan membuahkan hasil apa pun. Kita hanya menunggu dia mati saja."

Hati Elita terasa tertusuk oleh benda tajam saat mendengar kalimat itu. Begitu juga dengan Razavi, laki-laki itu berdiri dengan gagah di hadapan sang papa. Menarik sudut bibir membentuk senyuman tipis.

"Tanpa mencoba, kita enggak akan tau dan bagaimana ke depannya. Siapa tahu percobaan awal, hasilnya sangat memuaskan!"

"Razavi! Kamu benar-benar membuat Papa marah!"

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang