Razavi merenggangkan otot-otot tubuhnya. Rasa lelah begitu terasa di sekujur tubuh. Ia baru saja selesai daring dengan salah satu guru les yang tidak bisa datang hari ini. Bahkan waktu yang dihabiskan melebihi satu jam, karena ia tidak fokus dengan materi yang dipaparkan.
Ia beranjak dari duduk menuju kamar mandi, membersihkan tubuh. Setelah itu kembali berkutat dengan berbagai buku. Tumpukan kertas yang diberikan oleh Rayhan kemarin, belum selesai dibaca. Jadwal Razavi kerap kali padat. Tak ada waktu istirahat, walaupun ada itu cuma tidur dan istirahat di sekolah. Selebihnya full belajar dan belajar.
Tangan Razavi terhenti kala sedang mengeringkan rambut oleh handuk. Tatapannya kosong tertuju ke arah jendela. Suara gaduh di luar kamar menyita aktivitas Razavi. Sudah tak asing lagi mendengar berbagai kegaduhan dalam rumah.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Jam yang seharusnya dipakai untuk makan. Kini malah tergantikan oleh pertengkaran kedua orang tuanya. Entah apa yang mereka perdebatkan sampai berteriak seperti itu. Selain berteriak, barang disekitar pun habis dilempar ke sembarang arah.
Razavi mengembuskan napas berat kala kegaduhan yang di luar, tak lagi didengar. Ia melempar handuk ke atas ranjang, berjalan ke arah pintu, dan keluar dari kamar. Langkahnya menuruni anak tangga menuju ruang makan.
Menatap ke sudut ruang makan, ia sama sekali tidak menemukan sang mama. Kemungkinan saja pertengkaran keduanya dipicu oleh kaburnya Rezky keluar rumah. Razavi tak ingin ikut campur, ia lebih memilih duduk diam. Membiarkan salah satu asisten rumah tangga menyajikan nasi serta lauk-pauk makan malam.
Selanjutnya, ia makan makanan tersebut dalam diam. Bahkan ia tak memedulikan Rayhan yang tengah menatap dengan lekat. Rasa di dalam mulut terasa hambar, entah karena takada sang mama atau suasana dalam ruang makan terasa dingin.
Walaupun Razavi bersikap menghindari sang mama, jauh dari dasar hatinya. Ia begitu sayang dan peduli, tetapi apabila keduanya bertengkar. Razavi lebih memilih menghindar, tak ingin ikut campur.
"Minggu depan persiapkan dirimu. Pak Tatang sudah mendaftarkan dalam lomba olimpiade PPKN," ucap Rayhan setelah selesai menyantap makan malam dalam diam.
Air yang diteguk terasa pahit dalam mulut. Razavi melirik sekilas pada sang papa, mengangguk pelan menyetujui ucapan itu. Tidak ada gunanya juga kalau menolak, toh, sang papa tetap akan memaksa.
"Razavi ke kamar dulu." Razavi beranjak dari duduk dan hendak pergi meninggalkan ruang makan. Namun, ucapan Rayhan kembali menghentikan langkahnya.
"Papa harap di olimpiade ini kamu bisa mendapatkan juara pertama. Walaupun tidak memungkinkan, karena kamu akan bersaing dengan Julian," ucap Rayhan menatap punggung tegap Razavi.
Razavi menghela napas pelan. Kembali melanjutkan langkah menaiki anak tangga ke arah kamar. Peringatan pertama yang diucapkan oleh Rayhan. Ia tahu betul apa konsekuensi yang akan didapat apabila kalah dalam olimpiade itu. Ah, tetapi tidak mungkin ia akan kalah. Sang papa pasti akan melakukan apa pun agar namanya tetap di atas. Bahkan meraih kemenangan.
"Re, makan dulu, yuk."
Langkah Razavi terhenti mendengar suara sang mama dari kamar depan dekat tangga. Kamar yang dahulu ditempati oleh Rezky. Langkah Razavi mendekat ke arah kamar tersebut, mendorong pintu sedikit melihat apa yang sedang dilakukan oleh sang mama di dalam sana.
Wajah lelah terpatri, sang mama kewalahan menyuapi sang kakak. Wajah cantik itu pun sembab oleh air mata, pasti karena pertengkaran dengan sang papa membuat mama menangis. Tatapan mata Elita kini tertuju ke arah pintu, bergeming melihat keberadaan Razavi di depan pintu.
Dilihat oleh Elita membuat tubuh Razavi menegang. Padahal ia berniat mengintip tanpa ketahuan. Elita sudah berdiri di depan Razavi. Membingkai wajah tampan anak laki-laki itu dengan sayang.
Mendung di mata kini berubah menjadi gerimis membasahi pipi. Elita menangis, rasa sesak selalu menyelimuti kala membingkai wajah Razavi. Rasa bersalah terus menggerogoti benak setiap kali melihat wajah anak itu yang selalu terlihat datar dan dingin padanya.
"Kamu sudah makan?" Pertanyaan lembut yang mampu dilontarkan oleh Elita.
Razavi mengangguk mengiakan. Ia menggenggam tangan Elita yang bertengger di wajahnya. Kemudian melirik ke belakang Elita melihat Rezky yang masih senang bermain dengan robot-robotan masa kecilnya.
Razavi berjalan masuk saat Elita beringsut menyingkir dari depan pintu. Membiarkan anak laki-laki itu menghampiri kakaknya. Elita hanya berdiri mematung di samping ranjang, melihat Razavi yang tengah mencoba membujuk Rezky untuk makan.
"Kak, makan dulu, yuk. Makanannya enak, lho, bukannya sayur kangkung itu makanan kesukaan Kakak?"
Rezky menoleh pada Razavi, mengulas senyum lebar mendengar suara itu. Ia mengangguk pelan sembari terkekeh, lalu menyantap makanan yang berada di sendok depan wajahnya. Mengunyah dengan pelan sembari mengangguk-angguk. Sementara Razavi, mengulas senyum melihatnya.
"Sekarang gantian, Mama yang akan suapi Rezky. Biarkan Razavi ke kamarnya, ya," ucap Elita mengambil alih piring dalam genggaman Razavi.
Rezky hanya mengangguk-angguk. Menatap penuh arti pada Razavi, membiarkan laki-laki itu pergi meninggalkan kamarnya. Elita mengacak rambut Razavi pelan, sebelum anak laki-laki itu benar-benar pergi meninggalkan kamar tersebut.
"Jaga diri Mama dan jangan lupa makan," ujar Razavi sembari menutup pintu kamar. Membuat Elita mengulas senyum penuh arti mendengar kalimat itu.
"Maafkan Mama, Za," gumam Elita menatap pintu yang sudah tertutup itu dengan sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Fiksi Remaja"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...