Perasaan Elita campur aduk, rasa cemas mulai mendominasi dalam benak. Ia berjalan tergesa-gesa melewati beberapa orang di rumah sakit. Buliran bening mulai berjatuhan membasahi pipi. Napasnya memburu kala sampai di depan resepsionis, bertanya mengenai korban kecelakaan yang baru saja terjadi.
Sang resepsionis menjawab sembari menunjukkan ruang UGD di mana suami dan anaknya berada. Setelah mengucapkan terima kasih, Elita berjalan terburu-buru menuju ruang UGD yang ditunjukkan tadi. Berharap bahwa keadaan sang suami serta anak baik-baik saja.
Pandangan Rezky terlihat kosong tertuju ke arah ruang UGD yang tertutup rapat. Ia menahan napas kala pintu ruangan tersebut terbuka, seorang dokter beserta empat suster mendorong brankar seseorang yang ditutupi oleh kain putih. Tangan Rezky bergemetar, sedangkan Elita menutup mulut terkejut.
"Tunggu, Dok. Apakah ini korban kecelakaan yang baru saja terjadi di perapatan lampu merah di jalan Jend Ahmad Yani?" Riyan menghentikan laju dorong brankar sang dokter serta empat suster yang turut membantu.
Dokter setengah baya itu mengangguk, menatap kepada Riyan dengan sendu. "Benar, Pak. Korban mengalami pendarahan di kepala yang menyebabkan geger otak serta setengah wajahnya rusak, sehingga korban dinyatakan meninggal pada pukul 17.55 WIB, karena kekurangan darah," imbuh sang dokter.
Tubuh Elita hampir saja merosot ke lantai mendengar kalimat yang terlontar. Untung saja, Rezky dengan sigap menahan tubuh wanita itu. Mata mulai mengabur, buliran bening berjatuhan tanpa diperintah. Dada Elita bergemuruh hebat melihat tubuh seseorang yang terbaring di brankar ditutupi kain putih.
"Apakah korbannya seorang remaja atau lelaki berkepala empat?" tanya Riyan kembali memastikan.
"Remaja, berumur kisaran tujuh belas tahun," ujar sang dokter.
Ketakutan kian menyelimuti, suasana mendadak mencekam bagi Rezky. Mendung di pelupuk mata Rezky, kini mulai berjatuhan menjadi gerimis. Berbagai memori masa kecil memberontak di kepala.
Tangan Elita perlahan terulur untuk menyingkap penutup kain itu. Tangisan yang memelan, kini terdengar memilukan. Apalagi yang dikatakan oleh sang dokter ialah seorang remaja, bisa saja itu Razavi. Entah mengapa, penyesalan menyelimuti benak kala mendengar nama anak itu.
Bayangan memori masa silam memberontak tanpa bisa dihalau. Elita tak tahu harus melakukan apa jika anak yang belum sempat ia bahagiakan, malah pergi meninggalkan rasa kesakitan serta penyesalan dalam benak Elita.
"Mama! Kak Rezky!"
Tangan Elita tertunda di udara, ia menajamkan telinga mendengar suara berat yang tak asing. Sontak saja Elita dan Rezky menoleh ke arah kanan, melihat orang yang dikhawatirkan berdiri dengan banyak luka di wajah serta tangan yang diperban.
Elita langsung berlari menghambur ke dalam pelukan anak laki-laki itu. Sementara, Riyan membiarkan sang dokter untuk melanjutkan perkejaan mengurusi jenazah korban dan mengatakan bahwa tadi terjadi sedikit kesalahpahaman. Ia menatap lekat ketiga keluarga di depan mata yang saling berpelukan sambil menumpahkan tangis.
Wajah tampan Razavi kini dipenuhi oleh luka. Luka tonjok dari Rayhan saja belum sembuh, sekarang malah ditambah oleh luka dari kecelakaan. Bawah mata terlihat bengkak di keduanya. Kening dibaluti oleh perban, serta tangan pun ikut diperban karena mengalami patah tulang.
Sebelum kecelakaan itu benar-benar terjadi Razavi sempat melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil sedikit. Tepat saat matanya melihat truk yang melaju dari arah berlawanan. Sontak saja ia langsung melompat keluar dari mobil menghindari maut itu, meskipun dengan mengorbankan tubuhnya. Sampai wajah di bawah mata terluka akibat terkena pecahan kaca mobil. Tangan pun ikut mengalami patah tulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Novela Juvenil"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...