Razavi sampai di rumah pada jam empat sore. Ia menunggu hujan reda terlebih dulu, membuatnya menjadi pulang terlambat. Pandangan Razavi mengedar ke setiap sudut rumah. Dua orang wanita paruh baya tengah duduk di sofa sambil mengobrol satu sama lain. Razavi berjalan menghampiri sembari menyugar rambut basahnya akibat terkena oleh guyuran gerimis di luar.
"Baru pulang, Za?"
Sorot mata Razavi tertuju ke arah dapur, melihat Elita berjalan mendekati sofa sembari membawa nampan berisi minuman hangat serta kue kecil untuk dua orang guru les Razavi. Setelah bersalaman kepada tiga wanita paruh baya, Razavi ikut duduk di samping sang mama.
"Maaf, Ma. Razavi pulang terlambat karena menunggu hujan reda," ucap Razavi menatap penuh arti pada Elita.
Berharap kalau sang papa belum pulang dari kantor. Jika lelaki paruh baya itu pulang terlebih dulu daripada dirinya, maka luka di wajah malah bertambah parah. Razavi tidak ingin menanggung luka di wajahnya lagi. Luka yang sekarang saja sudah membuat ia kesusahan makan dan minum, apalagi diperparah. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya.
"Wajahmu kenapa, Za? Habis bertengkar?"
Razavi menoleh, sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan itu. Dikarenakan sedari tadi salah satu dari mereka menatap begitu lekat mengenai luka di wajahnya. Membuat ia mengembuskan napas kasar, menunduk dalam. Berat rasanya bila harus memberitahukan yang sebenarnya. Ditambah lagi jika harus berbohong, makin membuat Razavi merasa berat sebelah saja.
Elita mengusap lembut kepala Razavi sembari mengulas senyum tipis. Menatap pada guru les Razavi dengan tatapan penuh arti. Tak mungkin ia memberitahukan bagaimana luka tersebut didapat, bisa-bisa keduanya memandang rendah Rayhan nantinya.
"Kamu mandi dulu sana. Nanti sakit, lalu habis itu les," ucap Elita dengan lembut.
Razavi mengangguk dan hendak berlalu dari ruang tamu. Namun, suara berat Rayhan menggema di ruang tamu. Mampu membuat tubuh Razavi menegang. Padahal ia sudah berdoa dalam hati, berharap sang papa belum pulang. Akan tetapi, nyatanya lelaki paruh baya itu berdiri tak jauh dari ruang tamu.
"Yang bukan merupakan keluarga saya silakan pergi dari sini!"
Suara itu terdengar tegas dan tak ingin dibantah. Membuat kedua guru les Razavi segera angkat kaki dari rumah tersebut. Sementara Elita beranjak dari duduk, menggenggam erat pergelangan tangan anak laki-lakinya. Dari cara menatap dan nada bicara pun, Elita menebak bahwa Rayhan sedang dalam suasana hati yang buruk.
Rayhan berjalan mendekat, menatap lekat wajah Razavi. Begitu juga dengan Elita, tatapan lelaki paruh baya itu mendelik tajam pada Elita. Tangan kanan mengudara, mendarat di pipi Elita dengan keras. Bahkan tamparan itu terdengar menggema dalam ruang tamu. Tubuh wanita paruh baya itupun hampir saja tersungkur ke lantai, jika Razavi tidak sigap menahan tubuh itu.
"Papa kenapa nampar Mama?!"
Emosi Razavi menggebu, terlebih melihat darah mengucur di sudut bibir wanita paruh baya itu. Sebenci-bencinya ia kepada Elita dulu, rasa sayang dan kasihan untuk wanita paruh baya lebih besar dibandingkan dengan rasa bencinya. Mungkin, rasa benci itu telah beralih untuk Rayhan.
"Mamamu pantas mendapatkannya! Karena dia, di kantor Papa dipermalukan!" bentak Rayhan menunjuk pada Elita.
Razavi menarik tubuh sang mama yang bergemetar menahan tangis ke belakang punggung. Mencoba menjadi tameng untuk wanita paruh baya itu. Berdiri berhadapan dengan sang papa dengan wajah berani. Tatapannya menyiratkan tanda tanya, tak paham dengan maksud sang papa.
"Tapi, apa yang udah Mama lakuin sampai Papa nampar gini?!" Razavi benar-benar kehabisan kesabaran. Merasa lelah melihat sikap Rayhan yang semakin hari makin kasar. Ia lupa bagaimana awal mula sang papa berubah menjadi seperti orang asing yang kasar seperti itu.
"Kamu lupa dengan kejadian kemarin? Karena dia membawa Rezky ke rumah sakit bertemu Riyan. Semua staf eksekutif dan klien memandang rendah Papa. Bahkan berita miring tentang keluarga kita kini tengah memanas di media sosial!"
Amarah terpatri di balik manik hitam keabu-abuan milik Rayhan. Lelaki paruh baya itu mengusap wajah dengan frustrasi. Mendambakan kehormatan dan tak sudi ditatap rendah membuat ia seperti kehilangan setengah hidupnya. Razavi hampir lupa, selain memimpin perusahaan milik keluarga. Rayhan juga terjun dalam dunia politik.
Pasti sekalinya ia keluar rumah ataupun salah satu keluarganya kuat rumah. Maka paparazi akan menguntit hingga menghasilkan berita yang menguntungkan. Terutama berita tentang anak pertama dari Rayhan dan Elita yang dikabarkan menghilang di dunia bisnis. Padahal sewaktu dulu, Rezky pernah terjun ke dunia bisnis. Sukses membawa nama perusahaan Rayhan, tetapi dua bulan kemudian malah menghilang tanpa jejak.
Kini paparazi kembali menemukan jejak Rezky. Pasti mereka sudah mewawancarai beberapa perawat yang sempat mengurusi Rezky kala sakit. Tak lupa juga mewawancarai dokter yang sudah mengobati dan menangani emosi Rezky di kala kambuh.
"Gara-gara saya?"
Sorot mata Razavi tertuju ke arah kamar Rezky, melihat sang kakak berdiri di sana dengan tatapan datar. Langkahnya mendekat penuh keberanian. Seulas senyum kecut terbingkai. Razavi dan Elita hampir tak berkedip melihat raut wajah serta perubahan dari laki-laki itu. Pakaian yang dikenakan pun terlihat rapi. Rambut yang dibiarkan berantakan, kini terlihat sehabis disisir.
"Malu karena memiliki seorang anak yang mengidap gangguan kejiwaan? Padahal orang yang memiliki gangguan kejiwaan itu tidak berbahaya, seharusnya dirangkul. Bukan malah dijauhi, bahkan tidak dianggap sama sekali."
Razavi terkejut mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Rezky. Benarkah, yang dilihat oleh Razavi sekarang ialah sang kakak? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala. Terlebih lagi gaya sang kakak yang sekarang sangat persis seperti Rezky lima tahun silam.
Genggaman di siku Razavi kian mengerat. Ia menoleh ke samping menatap sang mama penuh arti. Sementara, Rezky dan Rayhan saling menatap penuh permusuhan. Semua derita yang dirasakan oleh Rezky akibat keegoisan dan rasa gengsi dari Rayhan.
"Kaget ngelihat anak yang dulunya gila, sekarang normal lagi?" Rezky mendekat, mengulas senyum miring pada Rayhan. Mengitari tubuh lelaki paruh baya itu dengan aura mengintimidasi.
Suasana di ruang tamu terasa pengap dan mencekam. Razavi menelan ludah sendiri melihat tatapan Rezky sangat persis seperti Rayhan kala marah. Sebelas, dua belas dengan lelaki paruh baya itu, dari cara menatap juga berujar saat marah. Benar-benar mirip satu sama lain, yang membedakan hanya dari sikap.
"Lima tahun ... bukan waktu yang sebentar buat sembuh dari ODGJ! Rasa takut, stres berkepanjangan, bipolar, kegelisahan, dan kecemasan selalu melanda setiap saat. Anda tahu bagaimana rasanya?" Rezky menatap penuh dendam pada Rayhan. Rasa sakit di hati masih terasa, tetapi ia merutuki diri yang tak mengingat bagaimana awal mula ia menderita ODGJ tersebut.
"Menyesakkan dan tidak enak sama sekali. Ke mana perginya seorang papa di kala anak pertamanya diagnosis kejiwaan? Bukannya mendampingi sampai sembuh, malah makin membuat menderita," lanjut Rezky.
Sungguh, sudut bibir Razavi mengulas senyum penuh arti mendengar kalimat itu. Ia menepuk pipi dengan keras, berharap yang dilihatnya sekarang bukanlah mimpi. Suatu keajaiban dan kejutan yang luar biasa. Setidaknya sang kakak sudah kembali normal dan berbicara dengan baik.
"Miris! Anda tidak pantas disebut sebagai seorang ayah ataupun kepala keluarga!"
Tamparan keras mendarat di pipi Rezky, hingga pipi laki-laki itu terayun ke kiri. Senyum kecut terbingkai di wajah, sudah biasa mendapatkan tamparan di wajah sedari dulu. Ia tak terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Rayhan.
Mata Razavi sempat membulat terkejut saat melihat Rayhan menampar wajah Rezky. Jika tamparan itu terdengar menggema, itu artinya yang dilihat sekarang bukanlah mimpi. Rasa bahagia menyelimuti, padahal baru kemarin ia sengaja mempertemukan kembali Rezky dengan Riyan. Melakukan psikoterapi lagi.
"Kejutan yang luar biasa," gumam Razavi mengulas senyum tipis di wajah.
![](https://img.wattpad.com/cover/288333720-288-k663922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Ficção Adolescente"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...