Suasana di ruang tamu kian memanas dan mencekam. Takada yang mau memisahkan antara anak dan ayah di depan sana. Keduanya menatap saling menyiratkan amarah satu sama lain. Pelayan yang biasanya bersih-bersih di sekitar mendadak tidak terlihat satu pun. Hanya menyisakan keempat keluarga itu.
"Kamu!" Rayhan menarik kerah kaos milik Rezky. Mendelik tajam pada anak laki-laki itu, napasnya memburu menyiratkan emosi menggebu dalam diri.
Ekspresi Rezky tetap sama; datar. Ia tak merasa takut sama sekali, tatapan mata laki-laki itu malah terlihat kosong. Membuat berbagai pertanyaan kian berputar di kepala Razavi. Entah mimpi atau tidak, nyatanya hati Razavi merasa bahagia melihat sang kakak sudah kembali seperti dulu.
"Apa kamu berpura-pura gila agar bisa mempermalukan keluarga sendiri, iya?!" Rayhan menatap curiga, masih mencengkeram kerah kaos milik Rezky.
Rezky mengulas senyum miring. Ia tidak mungkin bertindak serendah itu untuk mempermalukan keluarga sendiri. Bahkan ia merasa bersyukur bisa lahir di keluarga yang berkecukupan, tetapi sayangnya ... tentang kasih sayang serta perhatian dari kedua orang tua sangatlah minim.
"Tanpa Papa sadari, yang mempermalukan keluarga ini itu Papa sendiri," sahut Razavi, yang tidak tinggal diam.
Elita mengeratkan genggaman tangan. Menyuruh agar Razavi menutup mulut. Wanita paruh baya itu terlalu takut apabila nantinya, Razavi kembali menerima luka di sekitar wajah ataupun di sekujur tubuh.
"Papa terlalu mementingkan ego dan gengsi Papa. Dan Papa juga terlalu memaksakan diri meraih kehormatan," lanjut Razavi mengulas senyum miris.
Genggaman tangan di siku Razavi mengendur. Elita mundur satu langkah, hingga terjatuh duduk di atas sofa. Kepala mendadak pening, kedua anaknya sama-sama sedang melawan Rayhan. Ia menutup wajah dengan perasaan campur aduk. Berharap, setelah kejadian ini hidupnya dan kedua anaknya akan tetap baik-baik saja.
"Berani sekali kalian melawan saya di sini? Kalian lupa, siapa yang selama ini merawat, mendidik, serta memberi kalian kehidupan? Kalian lupa tentang hal itu?"
Cengkeraman di kerah kaos terlepas. Rayhan berteriak seperti orang kerasukan. Mata lelaki paruh baya itu memerah, menyiratkan amarah yang masih tertahan dalam diri. Tidak seperti biasanya lelaki paruh baya itu, tidak langsung melampiaskan ke orang-orang sekitar.
"Kenapa Papa jadi perhitungan? Papa enggak ikhlas menghidupi kita? Atau Papa cuma sengaja jadiin kita itu sebagai robot yang seenaknya Papa kendalikan?" Kalimat yang selama ini sudah terangkai dalam hati, terlontar juga.
Amarah dalam diri Rayhan kini terlampiaskan melalui pukulan yang mendarat di pipi Razavi. Pukulan itu terdengar keras menggema di ruang tamu. Bahkan tubuh Razavi pun ikut terjungkal hampir mengenai besi ujung meja kaca. Kegaduhan yang terjadi membuat Elita menutup mulut. Buliran bening tak henti menetes dari pelupuk mata wanita paruh baya itu.
Elita merasa gagal menjadi seorang ibu dan istri, yang tak bisa memendam amarah sang suami. Ataupun melindungi salah satu anaknya. Andaikan saja dulu ia tidak terlena dengan kekayaan yang dipunya dan pekerjaan di butik. Mungkin saja, ia bisa melindungi Rezky dari serangan stres dan menjaga kedekatan antara kedua anaknya. Bukan dengan salah satu dari mereka.
Nyeri di pipi bagian kanan hingga ujung bibir, tak seberapa dengan rasa nyeri di dasar hati. Sungguh, Razavi lelah dan muak dengan hidup yang tengah dijalaninya. Ia ingin menangis melampiaskan semua rasa sakit yang selama ini dipendam. Kalau bisa, ia juga ingin sekali berteriak. Meminta tolong kepada semesta agar semua masalah yang datang menyapa perlahan menghilang. Razavi ingin ketenangan, ia ingin sembuh dari rasa sakit dalam hatinya.
"Anda tidak pantas disebut sebagai seorang Papa. Tidak ada seorang Papa yang menyakiti anak kandung sendiri. Mungkin saja, di sini tidak hanya saya yang memiliki gangguan kejiwaan. Mungkin saja ... Anda pun memilikinya," ujar Rezky dengan nada mengejek.
Rayhan tak terima. Tangan kekar lelaki paruh baya itu mengepal erat. Rahangnya mengeras memperlihatkan urat-urat di leher. Dengan sekali ayunan tangan, pukulan itu mendarat di pipi kiri Rezky. Meninggalkan bekas luka lebam di bawah mata Rezky.
Rayhan di mata Razavi seperti monster. Seorang papa yang dikenal penuh hangat dan perhatian telah lama menghilang dari hidup Razavi. Ia memandang sendu ke arah Rayhan, berharap semua duka yang dirasa segera berakhir.
Tidak sampai di situ saja, Rayhan menarik lengan Razavi dengan kasar. Sampai tubuh atletis anak laki-laki itu tertarik dengan sekali tarikan. Tenaga sang papa benar-benar kuat. Razavi berusaha memberontak, melepaskan cengkeraman tangan kekar Rayhan dari pergelangan tangannya.
Elita terkejut melihat apa yang dilakukan oleh Rayhan. Menarik tangan kekar itu dari pergelangan tangan Razavi agar terlepas. Namun, bukannya terlepas, justru ia yang malah tersungkur ke atas sofa akibat dorongan dari Rayhan.
"Lepas, Pa!" bentak Razavi. Tak peduli lagi jikalau nanti Rayhan kembali marah.
Lelaki paruh baya itu tak menggubris, bahkan ia terus menyeret Razavi hingga keluar dari rumah bernuansa klasik khas Eropa dengan cat warna putih kebiruan. Meminta pada bodyguard yang berjaga di luar, untuk mengunci Elita serta Rezky yang berada di dalam. Sementara dirinya, memaksa tubuh Razavi memasuki mobil.
"Masuk! Jangan membuat Papa marah lagi! Hidupmu sekarang bergantung pada Papa!"
Tamparan kembali dirasa oleh Razavi setelah Rayhan mengatakan kalimat itu. Dengan terpaksa, Razavi memasuki mobil Pajero hitam milik sang papa. Duduk diam sembari memikirkan cara agar bisa terlepas dari genggaman lelaki paruh baya itu. Serta mencoba menebak-nebak ke mana sang papa akan membawanya.
Razavi sering kali bertanya kepada diri sendiri, mengapa sang papa bisa bersikap kasar pada anak kandung sendiri? Apakah lelaki paruh baya itu tidak suka dengannya? Pertanyaan yang masih disimpan sampai sekarang, berharap ia bisa menemukan jawabannya.
"Jika kamu terus-terusan berada di rumah itu, maka otakmu akan dipengaruhi dengan hal jelek oleh mereka," papar Rayhan dengan perasaan campur aduk.
Dari cara berucap hingga gerak tubuh yang mencurigakan, membuat Razavi sama sekali tidak mengenali sosok hangat dari sang papa dulu. Tubuh lelaki paruh baya itu sedikit bergemetar, peluh memenuhi dahi, mulutnya pun terlihat sedikit gemetar.
"Mereka masih memiliki ikatan darah sama kita, Pa. Mereka itu istri dan anak Papa juga," kata Razavi dengan nada rendah.
Rayhan mendelik tajam ke samping sekilas. Lalu kembali fokus ke arah jalanan yang begitu lenggang.
"Jika dia istri dan anakku, seharusnya salah satu dari dia tidak ada yang mempermalukan di depan publik!"
Razavi memejamkan mata dengan erat. Sang papa terlalu mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain. Enggan menerima diri sendiri atau mendengarkan kata hatinya sendiri.
"Pa! Bisa enggak, sih, Papa jangan terlalu mikirin komentar orang? Dan bisa enggak, Papa terima keadaan dan diri Papa sendiri. Jangan selalu membandingkan ataupun berlomba-lomba ingin seperti mereka!"
Rayhan tak terima mendengar kata-kata dari Razavi yang seakan terdengar membentak. Bahkan anak laki-laki itu sudah berani menatap dengan tajam. Membuat Rayhan merasa tak suka, hingga tangan kanannya siap untuk menjambak rambut anak laki-laki itu.
Sebelum jambakan itu terjadi, mobil yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi tersebut oleng. Sampai Rayhan berusaha membanting stir menghindari mobil lain di sekitar. Tepat di saat perapatan lampu merah, sebuah truk kontainer melaju dari arah yang berlawanan. Seharusnya mobil yang ditumpangi oleh Razavi berhenti mengikuti arahan lampu lalu lintas, tetapi mobil tersebut malah melaju dengan cepat hingga truk kontainer yang akan menyebrang menabrak mobil yang ditumpangi oleh Razavi.
Suara decitan ban mobil beradu dengan aspal terdengar memekakkan. Mobil Pajero yang ditumpangi oleh Razavi berguling hingga menabrak pembatas jalan. Sementara truk kontainer dari arah kiri sudah berusaha menginjak rem. Namun, kecelakaan tersebut tidak bisa dihindari hingga tabrakan itu terjadi.
![](https://img.wattpad.com/cover/288333720-288-k663922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Teen Fiction"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...