Sepulang dari sekolah, Razavi mengunjungi rumah sakit Permata Saraswati. Salah satu tempat yang biasa dikunjungi dulu kala gangguan kecemasan dan kegelisahan dalam benak mulai membuat ia tak nyaman. Razavi memilih berkonsultasi dengan dokter Riyan salah satu dokter spesialis penyakit mental yang juga pernah menangani Rezky. Pandangan Razavi kosong mendengar ucapan dokter Riyan.
"Apa yang kamu rasakan saat kambuh? Apakah rasanya tetap sama seperti dulu?" Riyan mulai bertanya pada Razavi.
Tatapan Razavi kini tertuju pada Riyan. Ia menghela napas pelan mendapatkan pertanyaan itu kembali. Rasanya tetap sama, tidak ada semangat, merasa tersudutkan, ketakutan, dan lelah. Sulit untuk dijabarkan dalam bentuk kata-kata.
"Masih sama, Dok. Saya merasa mudah lelah, tidak berkonsentrasi, tidak bersemangat, dan setiap malam saya selalu ketakutan hingga jam tidur saya terganggu," ucap Razavi dengan binar mata sendu.
"Lalu apa yang menyebabkan gangguan kecemasanmu kambuh? Apakah ada seseorang yang membuatmu merasa takut? Atau justru kamu kembali depresi dan tertekan dengan perbuatan papamu?"
Razavi mengembuskan napas panjang. Sejujurnya, gangguan kecemasan tersebut kambuh karena trauma masa lalu yang ia miliki. Perundungan yang dilakukan oleh Yadi mengingatkan Razavi pada masa-masa dulu. Ditambah dengan wajah marah sang papa sering kali muncul saat ia sedang dirundung.
Melihat raut wajah Razavi yang berubah menjadi masam serta meringis, membuat Riyan menyodorkan segelas air putih ke hadapan laki-laki itu. Ia memahami dan tahu bagaimana perasaan anak laki-laki itu.
"Kamu sedang lelah, Za. Kamu depresi dan tertekan setiap harinya. Aku sarankan, untuk healing ke mana pun yang kamu mau. Jangan terpaku pada tugas atau sesuatu yang bikin kamu tertekan. Ditambah lagi saat kamu dirundung oleh anak-anak lain, waktunya tepat sekali saat kamu sedang depresi. Dari sanalah trauma yang kamu punya serta kecemasan yang perlahan menghilang, kini kambuh kembali."
Mata Razavi membulat terkejut mendengar kata 'rundung' dalam kalimat itu. Padahal, ia sama sekali belum mengatakan apa penyebab dari kecemasan itu muncul. Ia hanya mengatakan bagaimana perasaannya kala kecemasan itu kambuh. Melihat seulas senyum manis dari Riyan membuat hati Razavi sedikit menghangat. Pancaran binar seorang ayah terpatri di manik mata Riyan. Andaikan saja Rayhan memiliki binar tersebut, mungkin ia akan membangga-banggakan sang papa pada teman-teman lain.
"Aku sudah menuliskan resep obatnya di sini. Obat anti-depresan dan Benzodiazepine atau obat penenang yang di mana bisa kamu minum saat kecemasanmu parah." Riyan memberikan secarik kertas dan dua kantung plastik obat pada Razavi.
"Terima kasih." Razavi menerima dua bungkus obat serta secarik kertas, yang Razavi tebak isinya merupakan jadwal rutin minum obat dan jadwal rutin Razavi melakukan meditasi secara mandiri.
"Bagaimana kabar Rezky? Sudah lama dia tidak berkonsultasi lagi, Za."
Sejujurnya, Razavi mengenal Riyan. Laki-laki memakai jas dokter yang berumur kisaran 29 tahun itu merupakan anak dari kakak sang mama. Sesekali laki-laki itu pernah main ke rumah hanya untuk menjenguk Rezky dan melihat bagaimana kondisi perubahan dari sang kakak.
"Dia masih sama kayak dulu, tapi dia baik-baik saja," balas Razavi sembari mengangguk kaku.
"Papamu masih melarang Rezky pengobatan?"
"Walaupun Papa melarang, mama sama saya tetap akan membawa Rezky berobat melakukan psikoterapi."
"Mama dan papamu tahu kalau kamu memiliki gangguan kecemasan?"
Riyan memang sudah tahu sejak lama mengenai penyakit yang diderita oleh Razavi. Ia juga mengiakan permintaan dari anak laki-laki itu untuk merahasiakannya pada pihak keluarga. Melihat Razavi yang mengatupkan bibir dan wajah yang babak belur. Membuat Riyan dapat menyimpulkan bahwa Razavi masih merahasiakan penyakit yang diderita. Bisa jadi, anak laki-laki itu mendapatkan kekasaran dari seorang papa sendiri.
"Udah sore, saya pamit Dok. Terima kasih sudah mau menunggu hampir setengah jam untuk mendengarkan saya bercerita," ujar Razavi mengalihkan topik pembicaraan.
Riyan mengangguk, tak bisa memaksa Razavi bercerita lebih mengenai urusan keluarga orang lain. Ia hanya membantu menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan mentalnya.
"Hati-hati, Za."
***
Razavi sampai di rumah tepat pada pukul tiga sore. Sangat pas sekali dengan jam pulangnya, karena sekolah bubar di jam dua siang tadi. Tatapannya tertuju ke arah dua bungkus obat berwarna biru dalam genggamannya. Menelan ludah sendiri kembali merasakan pahitnya obat, sama seperti hidup yang sedang dijalaninya.
Ia menarik lemari kecil di samping ranjang. Menaruh dua bungkus obat tersebut ke dalam sana. Kembali menutup dengan pelan, lalu beranjak ke toilet untuk berganti pakaian. Setelah itu, mulai les kembali.
Setelah selesai mandi serta berpakaian. Razavi memilih duduk di bibir ranjang sambil menunggu guru les MTK datang ke rumah.
Ketukan di pintu menyita atensi Razavi. Ia bangun dari ranjang, membuka pintu yang terketuk itu. Elita berdiri di ambang pintu dengan membawa nampan berupa nasi serta ayam goreng dan sayur kangkung. Tak lupa juga dengan segelas air putih.
"Makan dulu, nanti kamu sakit lagi." Elita memberikan alih nampan tersebut kepada Razavi.
Setelah Razavi menerima, Elita pamit untuk ke dapur menyiapkan camilan untuk guru les yang akan datang. Sepeninggalan Elita, Razavi masih terpaku di ambang pintu sembari memegang nampan. Kemudian, kembali memasuki kamar dan menutup pintu.
"Bahkan tidak ada yang menyadari bagaimana perasaan seorang Razavi di sini," batin Razavi.
![](https://img.wattpad.com/cover/288333720-288-k663922.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Novela Juvenil"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...