14. Rezky yang ceria

102 5 0
                                    

"Pemahaman kamu sejauh ini sudah cukup bagus, Za. Lalu mengapa kamu masih saja les? Padahal sebentar lagi kamu akan mengikuti ujian kelulusan sekolah, seharusnya kamu sudah mulai fokus belajar."

Desi selaku guru les matematika yang mengajari Razavi sedari SMP, mulai berkomentar mengenai materi yang ia pahami sudah cukup jauh. Bahkan cara pengerjaan soal dalam waktu singkat pun Razavi mampu.

Razavi mengembuskan napas panjang. Sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyuman tipis. Ia juga tidak tahu, sampai kapan sang papa memakai jasa Desi. Ia hanya tahu dan dituntut belajar, belajar, dan belajar. Agar pintar dan menjadi juara di mata sang papa.

"Dulu, Ibu juga ngajar Rezky. Cuma sekarang ganti kamu, sebenarnya kalo boleh jujur kalian berdua itu tipe anak yang cepat tanggap. Sekali dijelaskan pasti bakalan masuk otak. Bahkan pemahaman materi yang dipaparkan sama Ibu kalian mudah mengerti. Tapi yang bikin Ibu bingung itu ... kenapa Rezky menjadi seperti itu? Dan setiap Ibu ngajar di sini, Ibu enggak pernah ngelihat dia lagi."

Ada raut kesedihan dari kalimat yang terlontar dari Desi. Menjadi seperti 'itu', entah mengapa membuat dada Razavi sesak mendengarnya. Ia ingat betul, awal mula sang kakak bersikap aneh dan lama-kelamaan diagnosis memiliki gangguan kejiwaan. Sempat diasingkan oleh sang papa, yakni dikurung di ruang bawah tanah. Bahkan dijauhi dan dipandang sebelah mata oleh kerabat lain, hingga membuat Rayhan menaruh rasa benci pada Rezky.

"Rezky itu anak yang ceria, lho. Ah, Ibu jadi kangen sama dia." Desi mengulas senyum kecil saat mengingat bagaimana tingkah usil dan cerianya Rezky dulu.

Razavi bergeming, menatap Bu Desi yang tengah melamun menatap ke arah depan. Siluet senyum hangat dari wajah Rezky terlintas di kepala, itu dulu. Ia ingat sekali bagaimana usilnya Rezky saat ingin membolos les, bahkan mengerjai beberapa asisten rumah tangga guna menghilangkan rasa bosan saat menghafal berbagai materi yang ditugaskan oleh salah satu guru les mereka.

"Ya sudah, Ibu pulang dulu. Nanti akan Ibu laporkan ke papamu mengenai perkembangan dan sejauh mana kamu memahami yang Ibu paparkan. Semoga ilmu yang kamu dapat bisa bermanfaat dan semangat untuk belajarmu meningkat."

Razavi hanya mengangguk mengiakan. Mencium punggung tangan Desi dengan takzim, menatap punggung wanita paruh baya itu yang menjauh dari ruang keluarga. Razavi menyandarkan punggung di sofa, mendongak menatap langit-langit ruangan tersebut.

"Pa ... Pa ... Pa ... Hihihi."

Mendengar suara Rezky, membuat Razavi menoleh dengan cepat melihat sang kakak yang kini menghampiri dirinya di sofa. Ia menatap lekat wajah sang kakak yang tengah cengengesan tidak jelas. Jika dilihat-lihat wajah Rezky nyaris dikatakan sempurna; tampan. Rambut pirang dengan gaya cepak, hidung mancung, bola mata cokelat jernih, dan bibir tipis merah alami.

Pasti orang lain akan mengira bahwa Rezky memiliki fisik yang begitu sempurna. Kecerdasan yang dimiliki pun bisa dibilang di atas rata-rata. Namun, semua yang dimiliki oleh sang kakak perlahan hancur hanya karena rasa lelah dan depresi yang sempat dialaminya. Tidak sanggup menahan semua beban anak pertama sendirian, hingga membuatnya diagnosis seperti itu.

"Laki-laki gampang banget nyerah, ya, Kak. Sejujurnya Raza pun sama kayak Kakak dulu; capek. Setiap malam Raza enggak bisa tidur, takut kalau papa marah karena Raza enggak belajar."

Razavi mengungkapkan isi hatinya. Walaupun yang diajak bicara tidak mengerti, ia tetap berbagi keluh-kesahnya pada sang kakak. Dari dulu sampai sekarang pun, keduanya sering berbagi cerita satu sama lain. Bercanda sambil saling mengejar, setelah itu latihan taekwondo demi melampiaskan rasa kesal satu sama lain. Mengingat semua kenangan itu, membuat dada Razavi sesak saja.

"Raza pengen Kakak cepet sembuh. Supaya kita bisa sama-sama berbagi cerita lagi, bercanda lagi, dan berantem beneran lagi," ucap Razavi sembari tertawa kecil tatkala membayangkan kejadian lucu lainnya apabila sang kakak tidak ODGJ.

Razavi menarik tangan kekar sang kakak, menggenggam dengan lembut. Tatapannya tertuju ke dalam manik cokelat milik Rezky. Melampiaskan rasa rindu yang membelenggu pada sosok Rezky yang dulu.

"Ra–ra ... Za ...."

Razavi mengulas senyum lebar mendengar sang kakak mengucapkan namanya meski dengan nada terbata-bata dengan ragu. Jemari yang sering terkepal antara ibu jari dan jari tengah milik Rezky, menyelusuri setiap inci wajah Razavi. Mendung yang berada di balik pelupuk mata, kini mulai berjatuhan menjadi gerimis membasahi pipi.

Mulut Rezky ingin tertarik ke atas, tetapi langsung memudar begitu saja. Ia tertawa kecil saat sudah menyelusuri wajah Razavi. Menepuk tangan dengan wajah girang.

"Ra–raza ... adikku," ujar Rezky masih bertepuk tangan pelan.

Sontak saja, Razavi menghambur ke dalam pelukan sang kakak. Memeluk erat melampiaskan rindu di hati pada sosok kakak tercinta. Ia sangat merindukan Rezky yang ceria, bahkan bijak pada waktu tertentu. Juga bisa membimbing Razavi kembali kala ia sedang berputus asa.

Dalam pelukan tersebut, Rezky menepuk pelan punggung Razavi. Tak lupa juga dengan gumaman, "jangan nangis. Nanti si tua bangka marah, laki-laki enggak boleh lemah. Si tua itu sangat menyeramkan saat sedang marah". Mendengar gumaman itu membuat Razavi tertawa kecil.

Tentu saja Razavi tahu siapa 'si tua bangka' yang dimaksud oleh Rezky. Semenjak sang kakak kehilangan separuh ingatan dan kewarasannya, laki-laki itu sering menyebut Rayhan dengan sebutan 'si tua' bahkan tak segan membentak Rayhan. Razavi melerai pelukan tersebut, membingkai wajah sang kakak penuh sayang.

Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membawa Razavi kembali berobat, melakukan Psikoterapi demi bisa menangani emosional atau masalah psikologis yang sedang sang kakak rasakan. Terpaku pada obat saja rasanya tidak cukup. Perubahan emosional, kecemasan, dan traumatik yang dialami membuat keadaan kejiwaan sang kakak menjadi terganggu.

"Besok. Iya besok, Raza bakalan bawa Kakak ketemu sama dokter Riyan lagi."

"Dokter Riyan?" Alis Rezky berkerut mendengar nama yang tak asing dalam ingatannya.

Razavi mengangguk semangat, senyum kecil di wajah masih terbingkai. Mata Rezky mengerjap dua kali, memiringkan wajah menatap Razavi penuh dengan arti. Sudut bibirnya pun ikut tertarik ke atas membentuk senyuman kecil membalas senyuman dari Razavi.

"Kakak ingat 'kan sama dokter Riyan? Maksud Raza om Riyan. Orang baik yang mau dengerin isi hati Kakak."

Rezky mengangguk kencang, lalu tertawa tidak jelas. Razavi tak mempermasalahkan hal itu. Setidaknya ia merasa bahagia karena sang kakak mau berbicara kembali, meskipun masih terbilang teebata-bata dan sedikit tidak nyambung.

"Kamu di sini, Re? Mama nyariin kamu tau."

Elita berjalan menghampiri ke arah sofa. Duduk di samping Rezky, tatapan wanita paruh baya itu kini tertuju pada Razavi.

"Gimana keadaan kamu, Za. Udah mendingan? Dan lukamu juga bagaimana? Bu Desi tidak bertanya lebih 'kan mengenai lukamu?" Elita melontarkan berbagai pertanyaan secara beruntun.

"Bu Desi enggak mau memusingkan luka Raza, Ma. Dia ngiranya kalo luka ini itu luka Raza abis berantem."

Toh, memang benar begitu. Saat materi mulai dipaparkan serta latihan soal, guru lesnya itu tidak menanyakan mengenai luka di wajah. Wanita paruh baya itu hanya bertanya mengenai kondisi serta keberadaan Rezky saja. Tidak lebih dari itu.

"Ma ... Raza bakalan bawa Rezky psikoterapi lagi ke dokter Riyan."

BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang