Malam kian larut, tetapi Razavi masih belum memejamkan mata. Ia mengiakan perintah dari sang papa. Membaca dan berusaha memahami berbagai kalimat yang tertera di tumpukan kertas itu. Tak lupa juga dengan layar monitor laptopnya yang menyala. Jemarinya pun sibuk membuat catatan penting di buku tulis. Hukuman untuk dirinya yang pulang terlambat. Belajar dan belajar menjadi prioritas utama bagi Razavi agar bisa dianggap 'ada' oleh sang papa.
Razavi mengembuskan napas panjang. Rasa lelah menggelayuti benak, mata mulai terasa berat. Ia menoleh ke samping kanan, tepatnya di sebuah jendela besar. Menengadah langit melihat bulan purnama. Sosok sahabat yang selalu menemani setiap kali ia terjaga.
Berbagai file masa lalu terlintas tanpa bisa dihalau. Sontak saja, ia langsung membuang wajah ke arah laptopnya. Memijat pelipis yang terasa pening. Sesak kembali menyelimuti, Razavi memejamkan mata sekilas guna mengenyahkan memori masa lalu tersebut.
Pandangan Razavi kini tertuju pada secarik kertas di samping buku bahasa Indonesia. Mengambil kertas tersebut sekaligus membaca ulang kalimat yang tertera di sana. Formulir pendaftaran lomba karya tulis yang Bu Harisa berikan padanya tadi siang. Razavi mengusap dagu dengan pelan. Masih menimang antara mendaftarkan diri atau tidak.
"Ikut enggak, ya?" tanya Razavi pada dirinya sendiri.
Tangannya mulai mengutak-atik keyboard laptop. Berselancar di google, mencari tahu mengenai tema yang diangkat dalam karya tulis ilmiah tersebut. Ia mengangguk mengerti dengan tema yang diangkat, yakni menyikapi masalah kesehatan dalam masyarakat. Sepertinya tidak terlalu sulit bagi Razavi untuk mencari riset tentang tema tersebut. Namun, ia merasa pesimis dengan lomba itu. Merasa tidak berbakat dalam membuat karya tulis, takut kalau tidak bisa memenangkannya.
Lagi pula ia ingin sekali merasakan pengalaman baru di berbagai bidang perlombaan. Bosan bila terus-menerus menetap mengikuti olimpiade atau lomba secara lisan. Walaupun ia mengikutinya dengan terpaksa.
Razavi menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara ketukan. Sorot matanya tertuju pada jam dinding dekat meja belajar. Alisnya berkerut dengan heran, tidak biasanya seseorang mengetuk pintu malam-malam. Kerutan di dahi memudar mendengar suara cekikikan yang Razavi kenali.
Segera ia beranjak dari duduk, langsung menekan knop pintu untuk memastikan. Dugaannya benar saja, seorang laki-laki berambut hitam cepak tengah berdiri sembari cekikikan. Tangan laki-laki itu pun tak bisa diam, selalu menjentikkan jari, kadang kala mengusap wajah dengan kasar.
"Kakak ngapain di sini?"
Pertanyaan Razavi hanya angin lalu di pendengaran Rezky. Laki-laki itu berjalan masuk ke kamar sembari mendorong tubuh Razavi. Memilih merebahkan diri di atas ranjang.
Razavi mendekat, ia mengiba melihat kondisi mental saudaranya sendiri. Melepaskan sandal yang dipakai oleh Rezky, lalu menaikkan kaki laki-laki itu ke atas ranjang. Sorot mata terlihat mendung mendengar berbagai gumaman yang terlontar dari mulut Rezky.
"Kak ...." Razavi memanggil dengan pelan. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah sang kakak.
Rasa sedih kian menyelimuti. Dulu, Rezky tidak seperti ini. Laki-laki itu sering merespons setiap panggilan dari Razavi. Bahkan sering mengacak-acak rambutnya sambil berkata, "Kalo mau manggil, jangan setengah-tengah. Bilang aja apa yang pengen lo omongin sama gue". Kalimat yang masih diingat oleh Razavi sampai sekarang.
"Lima tahun yang lalu," ucap pelan Razavi sembari menarik sudut bibir dengan tipis.
Tangannya mengusap rambut Rezky dengan lembut. Laki-laki itu sudah tertidur di atas ranjang milik Razavi. Wajah yang begitu polos dan lugu ketika sedang terpejam. Pasti rasanya begitu berat menjadi sosok sang kakak. Hidup diatur dan dikendalikan oleh sang papa.
"Berat, ya, Kak." Pandangan Razavi menerawang. Mengingat-ingat kembali bagaimana kehidupannya di masa dulu.
Takada kehangatan yang diberikan oleh sang papa. Terakhir kali yang pernah dirasa oleh Razavi itu terjadi sebelum ia menginjakkan kaki di bangku kelas enam. Lelaki paruh baya itu begitu hangat, bahkan memeluk mama, ia dan Rezky tepat di hari ulang tahunnya.
Semua kenangan manis itu berlalu dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, sang papa mulai berubah sedikit demi sedikit. Sampai Razavi sendiri tidak mengenali sosok Rayhan yang sekarang. Mungkin papa orang lain akan memberikan pelukan hangat ketika pulang dari kantor, tetapi berbeda dengan Rayhan ... bukan pelukan yang diberikan, melainkan pukulan di wajah Razavi. Apabila lelaki paruh baya itu, melihat Razavi bersantai dengan Rezky.
Mengira bahwa ia telah melalaikan tugas belajarnya. Padahal Razavi sudah selesai mengikuti berbagai les yang dijadwalkan oleh Rayhan. Ia hanya ingin menemani sang kakak sekaligus membantu sang kakak sembuh.
"Kak, Zavi kangen banget sama papa yang dulu. Apa mungkin karena terlena oleh uang, papa sampai kayak gini?" tanya Razavi.
Razavi menggeleng pelan, merasa tak yakin akan hal itu. Mengingat sang papa merupakan anak tunggal sekaligus pewaris dari AZF Group. Mana mungkin, karena uang sampai segitunya pada anak sendiri. Memikirkan hal tersebut membuat kepala Razavi mendadak pusing.
Beban pikiran bukannya mengurang, malah semakin hari makin bertambah. Belum lagi ia harus menyelesaikan bacaan dari tumpukan kertas yang Rayhan berikan mengenai perusahaan. Jika sang kakak tidak diagnosis memiliki gangguan kejiwaaan, kemungkinan saja semua tugas yang dikerjakan oleh Razavi sekarang dialihkan pada Rezky.
"Ini yang Kakak rasain dulu, 'kan? Pasti stres dan depresi berulang kali ngadepin sikap papa. Sekarang Zavi juga ngerasain apa yang Kakak rasain dulu. Berat, ya, Kak. Capek, sakit juga karena sering dipukul," ucap Razavi, yang entah dengan siapa ia berbicara.
Sudut bibir tertarik ke atas membentuk senyuman miris. Meratapi garis takdirnya yang begitu menyedihkan. Keinginan ingin memberontak selalu tertutupi oleh rasa takut yang begitu besar pada sang papa.
"Pasti Tuhan bosen dengerin keluhan dari mulut Zavi, ya, Kak. Padahal sejauh ini kehidupan kita selalu enak dan tercukupi, meskipun enggak pernah ngerasain kehangatan papa lagi."
Tanpa Razavi sadari, seorang wanita paruh baya mendengar semua apa yang dibicarakan oleh Razavi. Pintu kamar itu belum tertutup dengan rapat, hatinya sesak mendengar curahan hati anak laki-lakinya. Ia menarik pintu dengan pelan, merapatkan kembali. Mengusap basah di pipi dengan pelan. Ia ingin merangkul sembari mendengarkan apa yang terpendam di hati Razavi.
Menjadi sosok pendengar sekaligus tiang penguat. Namun, ia tidak bisa melakukan hal tersebut. Semakin ia mencoba mendekati Razavi, justru jarak antara keduanya malah kian menjauh.
"Maafkan Mama, Za." Lagi-lagi hanya tiga kata itu yang bisa diucapkan oleh Elita. Ia marah pada dirinya sendiri, bahkan menyesali semua perbuatannya di masa lalu.
***
OPEN WAITING LIST, BISA DIPESAN MELALUI DM WATTPAD SAYA.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORAX (Bored Of Real Anxiety)✓
Dla nastolatków"Luka yang ada di sekujur tubuh gue, enggak seberapa sama luka yang ada di hati gue."-Razavi Al-Zeyino. *** Razavi kehilangan tujuan hidupnya. Ia hidup sebagai boneka sang papa; selalu menurut dan tidak berani melawan. Bahkan, ia rela menjadikan t...