Hujan, suaranya beradu dengan suara mesin kereta yang terus melaju. Aku melihat keluar jendela, yang bisa kulihat hanya rintik hujan yang berebutan menetes di jendela. Hanya itu, selainnya hanya gelap malam.
Suasana kereta ini sepi karena memang bukan musim liburan. Aku pun sampai bisa meluruskan kaki karena sebelahku kosong, begitu juga depanku.
Kereta Indonesia sekarang sudah lebih teratur, tiket dipesan atas nama dan bisa masuk dengan menunjukkan tiket dan tanda pengenal. Tidak seperti dulu, di kereta ekonomi ada saja penumpang yang bisa masuk tanpa membeli tiket, penjual- penjual naik turun dan berjualan bebas. Sekarang kereta ekonomi saja ber AC, bukan dulu yang udara segar saja dicari dengan membuka jendela .
Aku melirik arlojiku, pukul 10 malam. Sudah 6 jam aku disini. Aku menelan ludah, perutku berbunyi. aku lapar. Tiba- tiba ada laki- laki separuh baya duduk di depanku. Ia tersenyum ramah dan menyapa."Mas, boleh numpang tidur disini?"
"Ooh... silahkan aja Pak, kayaknya emang kosong, " kataku mempersilahkan.
" Mas sendirian tho?" tanyanya.
" Iya pak, saya sendirian."
"Saya Imron. Saya berangkat sama istri dan kedua anak. Saya duduk di sana. Biar anak saya tidur di atas, istri saya nggak mau tidur, mau ngipasi anak saya dulu." Laki-laki paruh baya itu menunjuk sebuah kursi yang aku lihat memang ada dua anak balita tidur di atasnya, kemudian ia menyalamiku.
"Mas tujuannya mana?"
Aku menyebutkan kota yang akan aku tuju.
"Ooh... jauh sekali. Saya mau ke kota sebelahnya, jenguk ibu saya yang sakit. Nama Mas siapa?"
"Saya Jarir, Pak." Aku sampai lupa memperkenalkan diri.
"Kota yang mau Mas tuju itu kota kecil. Dari dulu jarang ada yang ke sana. Enggak tau sih kalo' sekarang. Apalagi kayaknya saya lihat Mas Jarir orang kota. Mas pernah ke situ sebelumnya?"
Aku tersenyum kecil. Aku memang sudah tahu kalau kota yang aku tuju adalah kota kecil. Aku juga tahu kalau kota itu memang jarang dituju orang. Aku tahu bapak di depanku hanya berbasa-basi. Tujuannya hanya menanyakan untuk apa aku ke sana.
"Saya..."
Aku tercekat, lidahku kelu. Seluruh ingatan berkelebat di depanku, bagai monster yang siap menyerangku. Tapi aku buru-buru merubah ekspresi, takut bapak ini membaca keanehanku yang tiba-tiba berubah ekspresi.
Aku menunduk, kemudian kembali tersenyum.
"Saya, saya mau mondok Pak,"
Bapak ini manggut-manggut, mulutnya membulat.
"Zaman modern kayak gini masih mau mondok,Mas?"
Aku hanya merespon dengan tersenyum.
"Pak, saya boleh tanya?" ujarku tiba-tiba.
"Di sini makanan ada yang jual gak ya?"
"Ada tho Mas. Di gerbong restorasi. Mas gak pernah naik kereta ya?" Bapak itu malah menggodaku. Aku nyengir. Kan bisa gawat kalau tidak ada yang jual, perutku sudah berbunyi sedang perjalanku masih jauh.
"Gerbong restorasi itu dimana ya, Pak?" tanyaku lagi.
"Biasanya sih adanya di sebelahnya gerbong kepala, Mas. Biasanya juga ada petugas kereta yang nawarin makan, Mas nggak lihat?"
Aku menggeleng.
"Pak, saya kesana dulu ya, cari makan," kataku, mohon diri.
"Iya Mas, perjalanan Mas kan masih jauh."
Aku tersenyum dan bangkit berdiri. Sudah lama aku tidak beramah-tamah dengan orang lain, kecuali untuk kepentingan pribadiku. Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sesak. Pembicaraan dengan bapak tadi membuat aku kembali terpukul, terluka oleh kenangan, tersiksa oleh takdir.
Yah, aku juga tidak pernah menyangka, setelah semua terjadi padaku, yang terbungkus sebagai sengatan luka, aku malah menghampiri darimana luka itu berasal. Pondok itu adalah pondok pesantren tempat kakakku, Bilal, dulu berangkat, meninggalkan rumah. Meninggalkan aku dan Ummi. Untuk belajar, menimba ilmu, memperdalam agama. Tentu aku pernah naik kereta, tapi itu dulu sekali, kalau boleh kuhitung itu dua puluh tahun yang lalu.☘️☘️☘️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...