6.1 Idhul Adha Itu (bag. 1)

14 3 1
                                    

Aku duduk. Di depanku sudah ada makan siangku. Nasi, dengan lauk tempe dan sambal, juga sayur sop. Lauk kesukaanku selama dua minggu terakhir ini. Ya, sudah dua minggu aku mondok, di pondok pesantren ini dengan semua aktivitasnya.

Sekolah pagi, kitab salaf. Siang yang aku ambil pelajaran tambahan yang kadang menghapal Al-Qur’an juga. Malam ngaji Gus Faiz atau sekedar mengerjakan PR atau kadang aku langsung tidur setelah sholat Isya.

Hari-hari terlewati. Terasa ringan. Dengan mudah aku mendapatkan teman. Senyuman, sapaan ramah, pembicaraan ringan, yang benar-benar tulus dari hati. Aku mendapatkan kehidupan baru disini, kalau ini bisa disebut kehidupan.

Aku sudah lama berpikir kalau kehidupan justru musuh besarku, takdir adalah yang paling membenciku. Dengan satu pertanyaan besar yang selalu muncul dikepalaku setiap aku menarik napas. Aku tidak pernah bicara tentang diriku, sekalipun aku ditanya. Tapi mereka mengerti saja, kadang memang pondok pesantren adalah tempat bagi seorang ishlah diri, taubat dan membuang jauh-jauh masa lalunya. Andaikan masa laluku bisa ku buang jauh-jauh. Andaikan saja bisa.

Aku menyeruput sopku, sebelum setelahnya kucampurkan dengan nasi.

“Bang! Sudah sampai sini saja kau!” tegur Togar, dengan suara lantangnya.

Inilah sejauh waktuku kuhabiskan di sini, orang inilah yang paling sering bersamaku. Bukan karena aku nyaman bersamanya, tapi menurutku dialah yang tidak mau pergi. Tapi tak apalah, Togar orang baik. Aku senang di dekatnya. Dia punya rasa humor yang tinggi. Wajahnya terlihat sekali orang batak, begitu juga logat bicaranya.

“Laper. Kamu kemana aja sih?” tanyaku dengan menatapnya sebal. Aku memang mencarinya tadi.

“Aku tadi habis di sidang Ustadz Naufal, macam main gladiator aku.”

Aku menahan tawa. Sopan sekali anak ini menyamakan ustadznya dengan singa. Dia menyeka wajahnya, duduk di depanku.

“Ngapain di sidang? Kamu cari masalah aja,” kataku. Mengingat hari pertama aku mondok di sini. Dalam waktu dua minggu, aku ataupun yang lain sudah cukup untuk mengerti siapa Ustadz Naufal.

“Anak putri Bang, biasa,” jawabnya santai seperti ketegangannya sudah ia tinggalkan semua di dalam kantor. Sebentar ya Bang, aku cari es dulu,” dia bangkit berdiri.

Dia pergi ke tempat pembagian nasi, menempel dengan dapur. Di sini dapurnya pun menyediakan dispenser untuk air hangat dan lemari es untuk air dingin beserta seduhan-seduhannya. Bersama yang bisa diletakkan di lemari es yang boleh diambil santri secara bebas. Gratis.

Dia kembali beberapa menit kemudian bersama gelas es dan nampan nasi miliknya. Dia meneguk air esnya sampai habis di depan ku, saat aku menggigit tempe. Kemudian aku memotong tempeku kecil-kecikl lalu memasukkannya ke kuah sop.

“Eh Togar! Kamu jangan cari masalah aja sama Ustadz Naufal,” kataku menatapnya serius. Menurutku, Togar bukan tipe orang yang suka cari masalah.

“Ahh, Abang macam ibuku saja! Abang belum lihat santri-santri putri itu! Bak bidadari turun dari khayangan!” kata dia sambil berisyarat dengan tangannya.

“Aahh, itu sih kamu yang berlebihan! Semua perempuan itu sama aja! Relatif!”

“Itu kan Abang saja yang belum tahu.Coba nanti Idhul Adha, Abang lihat sendiri.”

“Hah? Idhul Adha? Gar, kok bisa??”

“Kan nanti kita sholat idhul Adha di masjid yang sama seperti orang desa itu, yang tempat kita Jumatan.”

“Oh ya ya ya,” aku manggut- manggut mengerti masjid yang di maksud Togar.

“Nah anak putri juga nanti keluar, sholat Idhul Adha juga disana.”

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang