8.1 Seorang di Balik Jendela

9 3 0
                                    

“Bang, kita mau kemana?”

“Sssst.” Aku memberi isyarat Togar untuk diam. Aku sedang mencari ide. Kita sedang dicari, gak tahu juga sih, tapi kami yang sedang nguping, kayaknya yang lagi dikuping tersadar.

“Ustadz, Ustadz, dengar sesuatu gak?”tanya Ustadz Hizhil.

“Apa?”

“Kok, kayak ada orang di belakang tembok ini?!”

Alhasil dua santri yang tadi berdiri di situ, menunggu ustadznya pergi, malah ngacir, terpaksa mencari jalan lain.

“Togar,” bisikku. Togar sudah beberapa langkah di depanku. Aku memegangi pagar kawat di belakangku. Togar menoleh.

“Masuk sini,” kataku memberi isyarat di bawahku. Dia memicingkan mata gak paham.

“Sini lho, sini,” aku menunjukkan sesuatu. Dia mendekat. Ada lubang besar di pagar  kawat itu. Dia terkejut.

“Ah..Abang itu, yang bener saja!  Sama saja Bang, kita lari dari serigala masuk kandang singa!”

“Mau gak?”

“Makanya tunggu di dalam dulu sampai ustadz-ustadz itu selesai keliling, baru kita pulang,” kataku.

“Ah, Abang ini ada-ada saja. Lewat jalan sini saja, Bang! Masih ada jalan lain.”

“Nggak Togar, jalan ini yang paling selamat.”

“Gak, ah, Bang.”

“Aaahh..Kau pecundang sekali, cemen!” kataku berdecak. Aku berlutut. Lubangnya besar, badanku masuk. Aku berdiri. Togar masih berdiri memperhatikanku dari tadi.

“Mau ikut gak?” tawarku sekali lagi. Togar menggeleng.

“Ustadz, bener. Saya tadi dengar suara,” suara itu membuyarkan mereka. Togar lari tunggang langggang entah kemana dan aku lari masuk ke dalam hutan sejauh-jauhnya, jauh sekali.

Aku terengah-engah jatuh terduduk. Lelah sekali berlari seperti itu. Aku berhasil masuk hutan ini. Aku tidak menyangka, aku selamat. Hutan ini indah, udaranya segar, tidak ada sama sekali seramnya. Aku menjatuhkan tubuhku, tidur di atas rumput-rumput, memandang birunya langit, menghirup napas dalam-dalam.

☘☘☘

Aku terbangun, tersentak. Sudah berapa lama tidur?! Aku terduduk, mengacak-acak rambutku, membetulkan letak peciku, cepat-cepat bangkit berdiri. Aku harus pulang, aku harus kembali, bisa gawat kalau sampai ustadz-ustadz itu menemukan aku tidak ada di kamar untuk tidur siang. Atau ketika ada yang sadar aku tidak ada. Aku harus kembali.

Aku berbalik, memandang sekeliling. Terkesiap, menepuk dahiku. Rindang pepohonan di depanku. Aku telah jauh masuk ke hutan. Aku menarik napas dalam-dalam. Semoga aku tidak lupa jalan pulang.

Aku mendesis, memegangi lenganku. Aku lupa, aku masih terluka. Aku berjalan melewati pepohonan. Sepertinya lapangan hijau itu masih jauh. Aku harus cepat sampai. Aku tidak tahu jam berapa sekarang. Aku tidak boleh sampai terlambat sholat Dzuhur apalagi sekolah.

Aku mempercepat langkahku, tapi angin berhembus kencang. Aku menengadah. Terlihat awan yang tadi putih berubah menjadi hitam, mungkin sebentar lagi hujan. Aku mempercepat langkahku, tapi aku terlambat menghindari.

Hujan datang mengguyur tubuhku. Aku menyeka wajahku sambil terus berjalan, namun lapangan hijau itu tidak juga nampak. Apa aku salah jalan? Aku menelan ludah, kelu. Tangan kiriku bersandaran pada pohon. Hujan mulai deras.

Aku menyeka lagi wajahku dan terus berjalan. Berkali-kali aku menyeka wajahku. Usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil sampai lapangan. Aku makin berlari ke ujung lapangan itu, berharap menemukan pagar kawat itu lagi, tapi aku terperangah. Tidak ada pagar  kawat. Ada maksudku, tapi pagar ini aneh. Ada satu bagan yang tidak dipagar kawat. Aku rasa itu bukan bagian pondok.

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang