“Bang Jarir, mau pulang?”
Aku memberi isyarat ‘talk to my hand’, dzikiranku belum selesai.
Sholat Ashar sudah selesai, yang mengimami adalah salah satu ustadz yang qori sekali bacaannya. Namanya Ustadz Ghofur kalau tidak salah.
Togar duduk di sebelahku. Dia yang bertanya mau pulang apa enggak. Dzikiranku sudah selesai. Aku bangkit berdiri.
“Pulang, Gar,” ajakku.
Dia nurut bangkit berdiri.
Kami bangun keluar masjid. Jalanan sekitar masjid ke asrama basah dengan genangan air hujan. Baru saja selesai hujan besar tadi, menyisakan rinainya.
“Bang Jarir..”
“Apa?”
“Bang Jarir udah mandi?”
Aku mengerutkan kening, meliriknya heran. “Kenapa emang?”
“Punya lebihan sarung gak, Bang?”
Aku mendengus, kirain apa.
“Kamu mau pinjem sarungku?” tanyaku.
Dia mengangguk bersemangat. “Ada,Bang?” tanyanya.
“Ada.”
Kami masuk komplek Madinah, naik tangga.
“Tapi gak usah lama-lama ya?”
“Beres,” dia mengacungkan jempol. Aku sampai di depan kamarku. Masuk. Togar mengikuti dari belakang. Aku duduk, membuka lemariku.
“Togar..adanya yang wa..” kata-kataku terputus. Aku kaget. Lemariku memang tidak berantakan, tapi ada yang hilang dari sini. Aku menelan ludah.
“Ada gak Bang?” tanya Togar.
Aku menarik napas dalam-dalam, memberikan sarung coklat yang sudah kulipat rapi. Aku menggeser kitabku. Mengambilnya beberapa. Aku berdecah keras. Aku mencarinya di setiap sudut lemariku, tapi dia gak ada.
“Kenapa, Bang, ada yang ilang?”
Aku bangkit. Aku sudah uring-uringan. Bagaimana benda itu bisa hilang? Flasdisk itu. Benda itu memang biasa menggantung di leherku, tapi entah kenapa hari ini aku lepas. Ia memang aku lempar sembarangan ke dalam lemariku. Tapi aku ingat dimana tempatnya.
“Jang, Ujang,” panggilku kepada salah satu anak kamarku yang sudah asyik melipat bajunya.
“Ka-kamu liat ada yang ke sini buka lemari ini gak?” tanyaku cemas.
“Gak tau deh aku,” jawabnya.
“Kalo Ustadz? Ada yang kesini gak?” berondongku.
Dia menggeleng.
Aku mendengus. Sendi-sendiku lemas. Aku menelan ludah. Aku berpikir keras, siapa juga pencuri yang lebih memilih flasdisk itu ketimbang dompetku, kecuali ia tahu..tunggu dulu, ia tahu!
Benang merah di kepalaku tersulam. Farel masuk menguluk salam. Aku terlalu sibuk berpikir sampai lupa menjawab salamnya.
“Akhi Farel, tadi dicari..” Ujang memberi tahu.
“Akhi Adam..”
“Adam? Adam yang mana?”
“Yang tindikan itu lho..”
Hatiku mencelos. Aku terkesiap. Adam?
“U-Ujang, tadi Adam ke sini?” tanyaku.
“Iya..nyari akhi Farel.., soalnya..”
Aku berbalik, keluar. Aku naik pitam. Rahangku mengeras. Aku tidak peduli lagi orangorang di depanku. Pikiranku berkelebat dengan sejuta jangan-jangan. Aku menuju tempatnya. Aku menuju aula komplek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...