"Nahnu naqussu dan kami menceritakan, 'alaika kepada engkau ahsanal qosos, sebaik-baiknya cerita, lima auhaina engkau dari perkara yang kami wahyukan."
Suara Gus Faiz terdengar merdu lagi yakin melafadz maknakan surat Yusuf. Aku menyimak kitabku, mendengar Gus Faiz baik-baik.
"Kenapa surat Yusuf dikatakan ahsanal qosos? Sebaik-baiknya cerita?" Gus Faiz memandangi wajah santrinya satu per satu persatu. Wajahnya teduh. Tampan. Berwibawa.
Suasana kelas lengang. Tidak ada yang bisa menjawab.
"Karena dalam cerita ini, Nabi Yusuf, di balik seluruh sepak terjangnya beliau, dimasukkan sumur, digoda, difitnah, dimasukkan penjara, menolong tapi dilupakan, akhirnya jadi petinggi Mesir, akhir cerita Nabi Yusuf adalah baik," jawab Gus Faiz.
"Bahkan seluruh tokoh di dalam cerita Nabi Yusuf, saudara-saudaranya Nabi Yusuf, Nabi Ya'kub ayahnya Nabi Yusuf, semuanya sampai finish tidak ada yang game over."
Beberapa santri terkekeh mendengar Gus Faiz berkata 'finish' dan 'game over."
"Kuncinya, Nabi Ya'kub mencintai Nabi Yusuf karena Alloh."
"Cinta karena Alloh menjadikan sebuah cerita menjadi sebaik-baiknya cerita."
Semua menarik napas. Hatiku seperti disiram air es. Meskipun aku tidak paham penjelasan Gus Faiz malam ini. Ngaji Gus Faiz malam ini menyentuh hatiku, tapi aku tidak mengerti.
"Dan seseorang tidak bisa mencintai karena Alloh sebelum dia cinta kepada Alloh. Tidak mungkin bisa cinta kepada Alloh sebelum dia cinta kepada Alloh."
Lalu pelajaran dilanjutkan dengan penyebab cinta, aku bisa mendengar dan mencatatnya dengan baik. Pelajaran terakhir.
"Bang Jarir!" aku menoleh. Togar.
"Abang kemana aja sih?" tanyanya, keningnya berkerut.
"Kapan?"
"Pagi-pagi, tadi sebelum Jumatan."
"Oh...mulutku membulat. Kami berjalan keluar aula.
"Kok, oh doang?"
"Perpus," jawabku asal.
"Sejak kapan Abang jadi anak perpus?" dia menatapku curiga.
"Hari ini," kataku pendek. Togar berdecak karena aku tidak asyik diajak bercanda. Kami masuk Madinah. Naik tangga.
"Udah ngerjain PR fiqihnya Pak Mukhtar?" tanyaku bertanya hal lain.
"Masih bolong-bolong. Memang Bang Jarir udah?"
"Dikit lagi," kataku.
"Padahal aku mau minta Bang Jarir ngelanjutin ceritanya," gumamnya.
"Eh...di sekitar pondok sini ada perempuan yang tinggal di sini gak sih?"
"Perempuan? Mana ada? Paling istrinya Gus Faiz."
"Istrinya? Tapi muda banget, gak ada yang gak mungkin siih."
"Namanya siapa?"
"Mana saya tahu? Kenapa nanya?"
"Ya, gak apa-apa, nanya aja," kataku pasang ekspresi yang tidak mencurigakan.
"Paling siapa ya, gak tahu, kayaknya namanya dari huruf A, Aisyah apa Afifah apa Aminah gitu.."
"Bukan dari F?" pancingku.
"Gak banget, dari A kok, tapi lupa namanya siapa. Memangnya kenapa?"
"Nanya aja."
Kami berhenti di depan Kamar maing-masing. Aku masuk kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...