Aku berjalan dengan membawa tas ransel. Tidak ada yang aku bawa selain tas ransel ini. Aku memang tidak terlalu banyak membawa pakaian. Sekarang, aku juga diantar menuju kamarku oleh orang yang tadi, pemuda yang mengantarkanku ke kantor.
"Akhi namanya siapa?"
"Jarir," jawabku singkat.
"Kalau kamu?" tanyaku balik.
"Lutfi, Akhi."
Aku mengikuti arah berjalannya. Ia naik tangga, aku mengikutinya dari belakang.
"Lutfi, kamar saya di lantai dua?" tanyaku.
"Iya Akhi, kamar Madinah 5 itu emang ada di lantai dua." katanya.
"Emang disini ada berapa kamar, sekarang?"
"Sekarang? Emang Akhi pernah dengar tentang pondok pesantren ini sebelumnya?"
Aku menelan ludah. Aku lupa. Tidak ada yang pernah tahu aku tahu pondok ini sebelumnya, tidak ada yang pernah tahu, kecuali orang-orang yang sudah pergi.
"Akhi?" teguran ramah Lutfi membuyarkan lamunanku, sekarang aku meliriknya yang tengah kebingungan atau salah tingkah menatapku.
"Ooh.. kemarin saya nemuin tentang pesantren ini di internet, tapi adanya yang di unggah beberapa tahun lalu." jawabku berbohong. Itulah alasan yang pertama kali muncul di kepalaku.
"Ooh...Emang pondok pesantren ini sempat terkenal beberapa tahun yang lalu karena suatu kejadian, tapi itu juga udah lama banget, kayaknya sebelum saya mondok di sini. Kamar di Madinah ada 7. Semua kamar di sini, di pondok ini maksudnya ada 15, ditambah kamar dari komplek Makkah ama Arafah."
Aku bersyukur ia tidak mencurigai apa-apa, bahkan tentang kejadian yang membuat pondok pesantren ini terkenal, aku tahu persis.
"Hmm... emangnya ada berapa santrinya?"
"Kalau putra aja kayaknya ada tiga ratusan," jawab Lutfi.
Sudah sampai di atas.
"Kamarnya Akhi nomor dua dari sana," tunjuknya, memberi tahu posisi kamarku.
"Ana anterin aja sekalian sampai sana."
Dia benar-benar mengantarkan aku sampai kamarku. Kamar itu cukup luas, cukup di tempati tujuh sampai lima belas orang. Lemari tersusun permanen di salah satu sisi kamar, seperti loker di klub-klub olahraga, hanya saja kapasitasnya lebih besar dan lemari ini terbuat dari kayu. Satu lagi, seperti ceritanya Bang Bilal, yang tidak berubah, tidur disini tidak memakai ranjang tingkat seperti pondok pesantren biasanya. Seperti yang aku lihat ada tiga atau empat kasur lantai berbahan busa berukuran besar diberdirikan di sisi kamar yang lain yang akan dirubuhkan kalau waktu tidur sudah tiba.
Lutfi menguluk salam.
"Wa'alaikum salam, ada apa Lut?" tanya yang di dalam.
"Ini Akhi, nganter santri baru."
"Kamarnya di sini?"
Lutfi mengangguk.
Aku masuk. Masih menggendong tas ranselku.
"Akhi, barangnya taruh di depan lemari-lemari itu aja," saran Lutfi.
Aku menurutinya. Aku menaruh tas ranselku di dekat lemari-lemari itu. Sekarang aku bisa melihat jelas kamar ini, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya. Ada beberapa orang di depan lemari itu, mencari-cari kitab, membereskan barang-barang. Atau beberapa yang hendak berangkat mandi, atau beberapa yang hanya duduk sambil bercakap-cakap ringan.Seseorang yang tadi berbicara pada Lutfi mendekatiku. Ia sudah memakai baju rapi, dengan wajah segar.
"Akhi namanya siapa?" tanyanya.
"Jarir," jawabku singkat. Aku duduk di lantai dua yang terbuat dari papan, menarik napas sebanyak mungkin.
"Masya Allah, shahabat nabi yang tampan, cocok sama namanya," serunya pelan.
Aku hanya tersenyum. Aku tidak pernah tahu tujuan Abiku menamaiku Jarir. Shahabat Rasulullah yang tampan, hingga malaikat Jibril pun kadang datang kepada manusia dengan wujud wajah beliau. Yusuf hadzihilummat, Nabi Yusuf umat ini katanya.
"Akhi, di sini masuk kelasnya jam setengah tujuh pulang setengah sepuluh. Kalau mau ikut pelajaran umum, masuk lagi jam satu, pulang jam empat. Tapi kalau nggak mau ikut pelajaran umum di sini ada pelajaran diniyyah atau agama tambahan, kelas tahfidzul Qur'annya juga ada," jelas Lutfi.
"Iya, Akhi, jadi 20 menit lagi masuk kelas terus seragamnya kayak yang ana pakai," orang yang kamarnya di sini seperti aku mengiyakan sembari memberi informasi yang lain.
Aku memperhatikan apa yang disebutnya sebagai seragam. Baju terusan sebetis berwarna putih dengan kerah yang tinggi, menurutku kesannya seperti pakaian ala-ala orang Arab yang biasanya di padukan dengan sorban, hanya saja ini di padukan dengan peci yang lebih sederhana. Kukira yang memakai baju seperti itu hanya teroris-teroris kaum jihadis saja, tapi aku sudah tahu, memang dari dulu seragam pondok ini seperti itu.
"Akhi punya?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Adanya cuma koko ama sarung."
"Ooh...kalo' gitu gimana kalo' saya pinjemin dulu, nanti Akhi beli." tawarnya.
Aku mengangguk menyetujui."Terus Akhi ini kelasnya dimana?" tanya orang itu, kepada Lutfi.
"Enggak tau," ia mengerutkan kening bingung.
Pemuda penghuni kamar ini yang sepertinya lebih muda umurnya dariku itu ganti memandangku.
"Akhi udah tau kelasnya dimana?"
"Belum," jawabku. Aku baru ingat, aku memang belum diberitahu kelasku dimana, setelah mereka menertawaiku soal 'kelas terbang'.
"Ya udah, buat hari ini, Akhi ikut saya aja dulu. Sekarang masih ada waktu buat Akhi mandi. Ayo biar saya antarkan ke kamar mandinya," katanya menawarkan diri.
"Enggak usah," tolakku, " Saya tanya aja sama kantor kelas saya dimana."
Aku menoleh kepada Lutfi.
"Lut, bisa tolong antarkan saya lagi ke kantor?"
"Bisa Akhi..."
☘☘☘
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spirituelles📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...