Bel tidur terdengar, memekakan telinga. Togar melenguh, kecewa mendengar bagian awal dari cerita. Aku meneguk susu hangatku hingga habis, bangkit berdiri. Menyeret kakiku untuk masuk ke kamarku. Togar seperti perempuan saja, merengek minta diceritakan cerita cinta.
Aku duduk meringsek di atas tempat tidurku. Ruang data santri? Sepertinya sulit. Tapi aku ingin cepat memastikannya. Aku berbaring memikirkan rencana, jantungku berdegup kencang mengatur napasku.
Lampu dimatikan. Satu per satu penghuni kamar masuk, jatuh ke tempat tidurnya, mengamalkan adab-adab dan doa hendak tidur, lalu jatuh terlelap. Waktu berjalan lambat. Dengan ini mungkin aku bisa mengerti kenapa semua terjadi begini. Semua akan selesai di sini. Aku akan mendapatkan satu puzzle yang hilang. Aku tahu dimana harus letakkan bidak caturku.
Mungkin sudah 20 menit. Sudah ada suara mendengkur. Aku masih menunggu malam larut.
Aku memutar badanku jadi menghadap kanan. Gelisah. Aku menelan ludah. Aku membalikkan tubuhku lagi. Telentang. Mataku tidak bisa terpejam, tidak mengantuk sedikit pun. Waktu berjalan terus, mungkin sudah 40 menit.
Aku bangkit dari tempat tidurku, terduduk sebisa mungkin aku tidak membuat suara. Aku bangkit, berdiri, berjingkat menuju pintu. Membuka pintu perlahan, menyisakan deritnya, tanda kayu yang mungkin saja sudah memuai.
Aku keluar berjalan cepat, dengan tidak lupa tidak menunjukkan bunyi. Aula tinggal lampu seterang tadi. Aku berjingkat turun, melewati anak tangga, keluar komplek Madinah. Aku berjalan terus, hingga sampai di depan gedung sekolah. Tinggal selangkah lagi aku. Aku naik tangga.
Ruangan paling ujung, batinku. Tinggal 3 ruangan lagi. Oh, sekarang dua. Dalam waktu kurang dari 5 menit, aku sudah berada di ujung koridor tepat di depan pintu itu.
Jantungku berdegup makin keras. Aku mendekati pintu itu. Dikunci. Digembok, malah. Lima gembok sekaligus dari atas hingga bawah, dari paling besar sampai paling kecil. Aku mengelus salah satu gemboknya. Pikiranku sudah berkelebat tentang berbagai macam hal. Aku berjalan sedikit. Mengintip lewat jendela.
Di dalam memang gudang. Dalam diriku berkobar. Ternyata memang tidak mudah. Aku tersenyum kecut, memutuskan untuk pulang. Aku berjalan, masih berjingkat menuruni tangga keluar dari gedung sekolah.
"Heh, kamu!" Tiba-tiba ada seseorang memanggil, sepertinya memanggilku. Aku punya firasat buruk. Aku pura-pura tidak mendengar. Tapi aku diam saja, tidak menoleh dan tidak melanjutkan perjalanan.
"Heh, kamu!" tegurnya sekali lagi. Aku menoleh. Pada akhirnya ia mendatangiku.
"Kamu Jarir, kan?" aku melihat wajahnya. Ustadz Fiqhan.
"Iya," jawabku pendek.
"Ngapain kamu keluyuran malam-malam begini?!" interogasinya. Suaranya tegas dan agak keras bergema diantara gedung Darussalam.
"Sa..saya..saya berjalan sambil tidur, Tadz," jawabku meracau.
"Apa? Apa kamu bilang?!" Bentaknya. Mati aku.
"Aa..i..iya..saya gak, gak tahu kenapa tiba-tiba bisa sampai sini," kataku beralasan, melanjutkan kebohongan.
"Kamu gak usah bohong!"
"Itu kebiasan dari kecil, Tadz." kataku cepat memotong. Ustadz Fiqhan berdecak.
"Bener?!"
"I-Iya, Tadz," kataku sok gugup.
"Ya, sudah. Cepat kembali ke tempat tidurmu sana!"
Aku berbalik, mengambil langkah cepat. Menghempaskan napas lega, bersorak dalam hati. Hampir saja...
☘☘☘
Dengan mudah aku menguasai motor matic putih metalic punya Biru. Walaupun aku sudah bisa naik motor, Biru selalu menjemputku di sekolah, memboncengku (yang sempat aku protes) dan melawanku ke padang rumput itu. Selalu menghabiskan waktu bersama, sedikit berbincang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...