10 Gadis yang Tidak Suka Cahaya

10 4 9
                                    

Aku berjalan menatap sekeliling. Lalu dengan yakin masuk ke dalam hutan. Aku kembali ke hutan terlarang. Pagi ini, hari Jumat. Aku menengadah, melihat ujung-ujungnya pohon sekelilingku. Aku masuk lagi.

Aku sudah agak hapal jalan hutan ini. Pohon-pohonnya, undakan-undakannya. Aku tidak sengaja menghapal ketika terakhir aku ke sini, saat aku bertemu dengan rumah aneh itu.

Hari ini membawa sesuatu, handuk. Ya, aku mau ke rumah aneh itu lagi. Aku masih penasaran. Dalam 10 menit aku menemukannya, tidak begitu sulit. Aku mengetuk pintunya.

"Assalamualaikum..." ulukku agak keras. Tidak dijawab, tapi aku tahu ada orang di dalam. Ada kertas yang di dekatkan ke jendela: Kamu mau apa?

"Aku mau balikin ini," kataku menunjukkan handuk ke dekat jendela. Lenggang tidak terjadi apapun. 5 menit, 10 menit. Aku berdecak. Mengetuk-ngetuk jendela. Aku menunggu lagi. Dia, entah siapa itu, membuka pintu. Bukan, sedikit membuka pintu, sedikit sekali. Aku mendekati pintu. Menjulurkan tanganku, memberikan handuk itu. Menunggu tangan itu untuk mengambilnya. Lama sekali, sampai pegal tanganku.

"Cepat, ini handukmu," kataku. Tangannya keluar. Ragu-ragu sebelum ia sempat meraih handuknya, aku mendorong pintu. Dia tidak menyangka akan diserang, terjatuh, terjerembab. Handuknya terlempar entah kemana. Aku berhasil masuk ke ruangan gelap itu.

Ruangan itu memang gelap sekali, tidak terlihat apapun. Hanya sedikit cahaya matahari yang mengintip dari celah-celah jendela.

"Gelap banget,"komentarku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, tetap tidak bisa melihat apapun.

"Ke-kenapa kamu masuk?Kamu gak boleh ada di sini!"

Darahku berdesir, bukan aku mendengar suara orang yang di dalam ruangan ini, tapi suara itu..."

"Kamu harus keluar sebelum..."

"Ssst..." isyaratku. Dia tercekat. Suaranya mencicit ketakutan. Bingung. Panik. Aku masih berdiri di depan pintu, tertegun. Itu bukan suara seram lagi berat yang biasa aku temui dulu, bukan suara narapidana yang dikurung. Suaranya lembut, suara perempuan yang merdu, perempuan muda. Aku menelan ludah. Aku menggigit bibir. Tidak menyangka. Dia diam, tidak bicara lagi hanya terdengar napasnya tidak teratur.

"Saya gak pengen menyakiti kamu," kataku. Suaraku sampai berkumpul ke dalam lagi.

"Tapi kamu gak boleh di sini!"

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Harusnya aku yang bertanya kamu siapa?" kata perempuan itu. Suaranya tercekat ketakutan.

"Aku yang kehujanan kemarin,"kataku tenang.

"Aku tahu, tapi..." suara dia tiba-tiba hilang, dan tiba-tiba tanganku ditarik.

"Kamu harus pergi dari sini." Dorongan dan tarikan dia sama sekali tidak berefek, tubuhku sama sekali tidak tergeser sedikit pun. Aku mengangkat tanganku dan menjatuhkannya. Untungnya tepat di bahunya.

"Aku bakal pergi, tenang aja," kataku mencoba meredam paniknya. Tapi justru itu dia malah meronta. Dengan cepat dia melepaskan diri. Sekarang aku tidak tahu dia kemana.

"Oh, oke, maaf, maaf," kataku bingung. Aku berjongkok. Aku tidak tahu dia dimana. Aku bingung, tapi urusan ini jadi tambah menarik.

"Kamu dimana? Aku janji, aku gak akan nyakitin kamu. Aku cuma mau balikin handuk ini, penasaran kenapa kamu gak membuka pintu. Oke kalau kamu gak mau jawab, aku bisa pulang sekarang."

Aku bangkit berdiri, menekan knop pintu.

"Aku memang gak boleh buka pintu itu, Pak, kak, Mas. Emang pintu itu harusnya gak pernah dibuka."

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang