Aku kembali ke Aula setalah jamaah Isya dengan membawa susu coklat hangat dari dapur. Aku duduk di pojok ruangan dekat jendela, sedangkan di luar hujan deras.Malam ini malam Jumat, besok libur. Aku menyeruput sedikit demi sedikit susu coklatku menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku memandang ke luar jendela. Di luar gelap, hanya bisa melihat ribuan tetesan hujan yang jatuh begitu saja ke bumi.
Jendela di aula Madinah adalah jendela besar yang kusennya bisa diduduki. Tepat untukku yang meringkuk bersandar menatap jendela.
"Bang Jarir," panggil Togar yang tanpa ba bi bu langsung duduk di sebelahku.
"Abang dari mana saja?!" Tanyanya dengan penuh selidik.
"UKS," jawabku singkat, kemudian menyeruput lagi susu hangatku. Togar menepuk dahi.
"Oh iya...tangan Abang kan luka ya. Gimana lukanya, Bang?" Aku mengangguk.
"Gak apa-apa, gak serius. Kan aku udah bilang," kataku.
"Mau gak?" Aku menyodorkan susu yang kubawa, tapi dia menggeleng.
"Gak ah, sudah cukup aku makan minum. Tak perlu lagi. Lagi pula nafsu makanku hilang begitu aku ingat lagi wajah Ulfa."
"Ulfa?" Aku mengerutkan kening.
"Dia yang menyebabkan aku ketemu Ustadz Naufal tadi pagi."
"Iya, Bang. Bang, kau tak tahu betapa imutnya wajah dia. Kalau kau tahu, mungkin kau berani masuk ke ruang dokumen santri untuk cari tahu tentang dia."
"Eh, tunggu, tunggu," aku menyela.
"Ruang dokumen santri? Apa itu?"
"Aduh...Abang pasti tidak tahu. Aku sendiri tidak tahu itu ruangan sebenarnya ada atau tidak. Itu ruangan berisi data seluruh santri dari A sampai Z, dari pertama kali dibangun sampai sekarang, lengkap dan konkret dari awal masuk sampai jadi alumni," jelasnya.
"Kamu tahu itu dimana?" tanyaku.
"Itu ada di atas Bang, lantai 3 gedung sekolah, tempatnya paling pojok."
"Lho, bukannya itu gudang?"
"Makanya, Bang, itu cuma isu, desas-desus, gosip, atau apalah. Awalnya emang ruangannya dipake gitu, tapi karena ada yang bobol ruangan itu, tiba-tiba hilang."
"Hilang?"
"Gak tahulah. Ini ada yang bilang pernah nyari dokumen di situ, malah berubah jadi gudang atau yang masuk situ tiba-tiba berubah jadi ruang dokumentasi, entah ada apanya. Ruangan itu selalu dikunci pintunya."
Aku diam, mencerna samar-samar perkataan Togar soal ruangan dokumen santri. Aku menoleh lagi, menatap hujan yang belum kunjung berhenti.
"Bang, apa ini cinta ya?"
Aku tersenyum tipis.
"Gar, Gar, umurmu belum genap 15 tahun, udah cinta-cintaan aja. Cinta itu gak sesederhana itu Gar," kataku.
"Tapi Bang, dia itu..."
"Dia itu?" Pancingku.
"Kamu pernah lihat Ulfa?"
"Pernah, waktu kecelakaan."
"Kecelakaan?"
"Aku pernah ditugasi ustadz megantarkan sesuatu ke putri, lalu tidak sengaja aku lihat dia."
"Kok kamu tahu namanya Ulfa?"
"Itu terjadi berhari-hari selanjutnya, Bang. Aku suka keluar pondok. Diam-diam datang ke pondok putri, cari tahu. Kadang pura-pura berurusan kayak kemarin waktu disuruh itu. Lantas saya cari tahu nama dia dan kelasnya. Begitulah." Togar tersipu ketika menceritakan si Ulfa ini, padahal alamak, biasanya juga dia kasar sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...