Aku tercekat. Ada seseorang yang menepuk pundakku, bukan mencengkram pundakku lalu memaksaku untuk berbalik."Kamu santri Darussalam?" tanyanya. Laki-laki, usianya mungkin tiga puluhan dan sekarang menatapku tajam penuh selidik. Pakaiannya sama jenisnya denganku.Aku hanya bisa terpaku menatapnya tanpa mampu menjawab pertanyaannya.
"Kamu tahu kan kalau hutan ini dilarang untuk semua santri Darussalam?" interogasinya seperti tidak membutuhkan jawabanku dengan hanya melihat penampilanku. Otakku mencari alasan.
"Sa-saya,saya kesasar, Pak," jawabku terbata, hanya itu yang terlintas dikepala. Aku tidak tahu harus memanggilnya apa.
"Apa??!! Kesasar??!!" nada suaranya meninggi, bukan dia membentak. Otakku mendeteksi aku tidak akan suka manusia ini. Dia mencengkram lengan bajuku, menariknya.
"Ikut saya ke kantor."
☘☘☘
"Ulang sekali lagi kenapa kamu bisa ada dalam hutan?!" bentaknya. Aku menarik napas dalam-dalam. Suaraku mencicit.
"Sa-saya kesasar, Tadz," oke, aku sudah tahu harus memanggilnya apa.
Aku sudah berada di kantor sekitar dua puluh menitan. Mengulang jawabanku entah berapa kali. Aku tidak takut dengan orang ini, tapi menurutku, bukan saatnya untuk melawan. Orang seperti ini kadang harus dituruti apa maunya.
"Maksud saya, kenapa, bagaimana kamu bisa sampai di dalam hutan?!"
Aku mengerti apa maksudnya. Bagaimana caranya aku masuk. Tapi lebih baik aku memilih sok polos dan pura-pura tidak mengerti.
"Jawab!!"
Ia menggebrak meja, matanya menatapku geram. Aku sampai memundurkan kepalaku beberapa senti. Aku duduk di depan meja itu juga, persis seperti tersangka yang sedang diinterogasi polisi. Akhirnya, yang menurutku paling aman aku mengulang jawabanku.
"Saya kesasar, Tadz."
"Kesasar katamu??!!" wajahnya sampai merah karena marah. Aku buru-buru menambahi.
"Saya santri baru, Tadz."
"Memangnya kamu tidak lihat papan tulisan 'Dilarang masuk' di pintunya?! kamu tidak tahu peraturan disini??!!"
Dadanya kembang kempis, dengan telunjuk yang menuding-nuding lima sentimeter di depan wajahku. Dia berbalik, memunggungiku. Aku menelan ludah."Atau, atau, atau, kamu lompat dari pagar kawat?!"
Dia berbalik lagi. Tudingannya membuat aku kembali menelan ludah. Ia menatapku seperti elang yang sudah menemukan mangsanya.
"Ustadz Naufal, mungkin aja anak ini emang kesasar," salah satu Ustadz yang berada di dalam situ, maju. Maksudnya mungkin meredam keadaan.
"Enggak mungkin dia kesasar, Fiqhan," ucapnya, memandang ustadz yang mengajaknya bicara itu. Nadanya masih tinggi, walaupun tidak setinggi ketika dia menghardikku dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Harusnya pelanggaran yang dia lakukan perlu dihadapkan ke Gus Faiz!" kata ustadz yang di panggil Naufal itu, masih kepada ustadz yang dipanggil Fiqhan.
Gus Faiz? Ayolah, ini sedikit tidak masuk akal. Apa masalahnya? Apa alasannya? Itu cuma hutan yang tidak ada apa-apanya. Lagipula aku baru saja masuk, ayolah, aku belum apa-apa. Aku mengeluh dalam hati.
"Ustadz, nggak usah berlebihan. Dia santri baru, berilah dia dispensasi."
Betul. Dalam hati aku bersorak. Aku kan santri baru."Oke, oke," akhirnya Ustadz Naufal mengiyakan setelah menarik napas dalam-dalam. Marah-marah tidak jelasnya ini ternyata membutuhkan tenaga banyak juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...