12 Cahaya itu Indah

9 4 10
                                    

Bel berdering. Aku membereskan bukuku. Pelajaran Nahwu yang menjenuhkan. Aku baru tahu ada pelajaran yang lebih nge-jelimet dibandingkan fisika. Aku bangkit berdiri, keluar kelas.

"Bang Jarir?" panggilnya.

Hegh, pasti Togar. Dia menyusul langkahku.

"Bang ngapain sih jalannya cepet-cepet?" protesnya.

"Kamu sih kegedean badan," candaku. Dia merengut, walaupun akhirnya dia nyengir kuda.

Tiba-tiba langkah kami berhenti. Gus Faiz lewat. Semua orang berdiri dan menunggu beliau lewat untuk menghormati beliau. Di belakangnya, sebelah Gus Faiz ada ustadz Naufal dan Ustadz Fiqhan.

"Ustadz Naufal ama Ustadz Fiqhan deket ya ama Gus Faiz?" bisikku pada Togar.

"Lho, Bang. Mereka itu emang temen dari waktu Ustadz Naufal ama Ustadz Fiqhan jadi santri. Bahkan kayaknya temennya sekelas.

"Sekelas? berarti..." kata-kataku terhenti.

"Berarti apa Bang?"

Aku diam. Gus Faiz sudah lewat masuk ke kantor bersama temannya.

"Berarti apa,Bang?" berondongnya.

"Gak, gak jadi," kataku cepat sambil menggeleng. Berarti mungkin mereka sekelas sama...aku menarik napas panjang.

"Ayo jalan, Gar," ajakku.

Kami berjalan, masuk komplek, naik tangga melewati aula. Masuk kamar masing-masing. Bel makan terdengar. Aku berjalan keluar kamar.

"Bang!" panggil Togar lagi.

Kami jalan bersama-sama, bercakap-cakap tentang pelajaran Nahwu sampai hendak ke kantin.

"Aduh, Gar!" aku menepuk dahi.

"Aku lupa sesuatu. Duluan aja, duluan,"suruhku. Dia pergi. Aku berbalik. Berjalan ke bagian belakang dapur dan kantin tempat makan. Berjalan melewati pagar-pagar kawat itu. Sampai kepada lubang besar di bawah pagar kawat.

Aku melihat sekeliling. Saat kurasa aman, aku melangkah masuk ke lubang itu. Aku berlari di rerumputan. Masuk ke hutan. Sudah bersahabat aku dengan hutan ini. Melompati akar-akar pohon, menghindari ranting-ranting yang menjuntai. Suara-suara burung-burung dan binatang-binatang, entah apa bergaung ke seluruh penjuru. Aku sampai ke bangunan itu, tidak sampai 10 menit. Mengetuk pintu.

"Fahita...Fahita..,"Panggilku. Tidak ada jawaban.

Aku menarik napas dalam-dalam. Menguluk salam. Memanggil namanya. Pintu tidak dibuka. Tapi aku melihat sedikit geseran jendela. Aku mengetuk pintu lagi. Gantinya ia mengetuk jendela. Aku memiringkan kepalaku, memicingkan mata.

"Kamu lagi? Mau ngapain?"

"Fahita...buka pintunya," suruhku mengetuk pintu lagi.

"Gak bisa, aku gak mau!"

"Kenapa?!" Aku kesal. Aku meninju pintu, menggigit bibir.

"Oh, oh, kalau kamu gak mau buka pintu...aku bakal...aku bakal.." aku berpikir.

"Aku bakal...pulang..."

Aku berbalik lagi. Kembali masuk hutan. Aku bersandar di pohon paling besar memejamkan mata. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian aku berlari sekencang-kencangya, kembali ke bangunan kecil itu. Bangunannya Fahita.Aku menggedor pintu kuat-kuat. Memaksakan menekan knop pintu berkali-kali.

"Fahita, tolong! Saya dikejar serigala! Dia mau ke sini! Cepat buka pintunya!" teriakku panik.

Tidak perlu waktu 2 menit, dia sudah membukakan pintu. Aku menerobos masuk terengah-engah. Aku mendengar langkah kakinya menjaga jarak dariku.

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang