4.1 Hutan Terlarang (bag. 1)

61 36 323
                                    


"Akhi, ini insyaAllah kelas barunya Akhi," kata Lutfi, mengantarkan aku sampai ke sebuah ruang kelas. Ruang kelas itu berada di salah satu ruangan di gedung sekolah, gedung tingkat tiga yang berdiri tegak di depan gerbang pondok ini.

Aku mengintip ruang kelas itu. Paling-paling isinya dua puluhan orang.

"Akhi Jarir punya kitab?"

Aku tahu kitab yang dimaksud adalah yang biasa dikenal dengan kitab kuning, yang mungkin sekarang warna kertasnya sudah tidak kuning lagi. Bisa dibilang adalah buku pelajaran yang bahasa tulisannya adalah Arab, yang biasa dipelajari di pondok-pondok pesantren.

"Kalo kitab saya udah punya beberapa." jawabku. Aku sebenarnya mengambil beberapa kitab kuning Bang Bilal yang ada di rumah. Kitab tua, bersampul usang, kubawa saja siapa tahu perlu. Aku tidak tahu apakah kurikulumnya berbeda sepuluh tahun terakhir.

"Ya udah, nanti dicek lagi aja jadwalnya, terus dilengkapi yang kurang."

"Makasih ya Lut, kamu udah bantuin saya dari tadi."

"Emang tugas seorang muslim membantu saudaranya," kata Lutfi melempar senyum.Lutfi mengetuk pintu yang terbuka.

"Assalamu'alaikum, Tadz, ini ada santri baru," beritahunya.

"Ooh...iya masuk aja."

Aku masuk. Sama seperti sebelumnya, semua orang menatapku heran. Tubuhku yang tinggi besar dan wajahku yang sudah tidak imut lagi. Mungkin malah, kesannya garang dan menyeramkan.

"Siapa namamu?" tanya Ustadz itu. Ustadz itu seperti berumur tiga puluh tahunan, mungkin seumuran Bang Bilal.

"Muhammad Jarir," jawabku pelan atau mungkin terkesan menggumam saking pelannya.

"Siapa?"

Aku menelan ludah.

"Muhammad Jarir,"

Ustadz itu mengerutkan kening.

"Kamu..."

Aku menunggu kata-kata selanjutnya, tapi Ustadz itu seakan-akan mengurungkan kata-katanya.

"Duduk, duduk."

Aku beralih.

"Sebelah Togar kosong."

Aku duduk di sebelah orang yang terkesan ada garis keras di wajahnya. Cuma di bangku itu yang kosong, nomor dua dari belakang. Paling kanan.

"Ehm, siapa tadi namamu?" tanya Ustadz itu, kembali bertanya.

"Muha.."

"Nama panggilan aja," kata-kataku dipotong.

"Jarir," jawabku.

"Oh ya Jarir, kamu sudah punya kitab?" tanyanya.

"Udah Tadz, beberapa,"jawabku, sama seperti jawaban yang tadi ditanya oleh Lutfi sebelum masuk kelas.

"Lengkapi yah, nanti tanya sama temanmu kitab apa yang kurang."

"Iya Ustadz," aku mengangguk.

"Baik, kita lanjutkan lagi. Tahap pertama kalian bisa memahami nahwu, kalian harus bisa membedakan dalam satu teks kalimat mana isim, mana fiil, dan mana huruf. Untuk itu kalian harus tahu definisinya, masing-masing, satu persatu."

"Om, Om," bisik seseorang disebelahku. Itu yang namanya Togar. Aku menoleh.

"Om, Jarir?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Tapi nggak usah panggil saya Om."

"Emang umur Om berapa?"

"Dua enam," jawabku jujur.

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang