Satu tahun setelahnya, waktu yang sangat-sangat ditunggu akhirnya tiba juga. Tahun ini Bang Bilal pulang. Aku baru dua atau tiga bulan masuk satu SD. Hari itu aku dipakaikan baju yang rapi dan wangi. Aku duduk di salah satu tempat duduk di stasiun, di depan rel. Hari itu, entah kenapa aku sangat bahagia.
"Jarir, tunggu di sini dulu ya, entar Bang Bilal datang." pesan Ummiku. Aku hanya mengangguk senang.
Jantungku berdebar-debar tidak menentu. Hatiku merasakan senang yang meluap-meluap. Jam besar di stasiun menunjukkan pukul delapan pagi.
Ummi duduk di sebelahku, tercium bau harum dari tubuhnya. Aku tahu, mungkin hari ini hari yang ditunggu-tunggunya juga. Beliau terlihat cantik memakai kerudung warna krem yang senada dengan bajunya yang coklat. Ummi hanya membawa tas kecil yang berfungsi sebagai dompet.
"Ummi cantik," gumamku tertegun. Aku tidak pernah melihat Ummi berusaha berdandan seperti hari ini, semenjak Abi wafat mungkin, yang aku tidak pernah ingat kejadiannya.
"Hmm... apa Jarir?" tanya Ummi, berusaha mendengarkan gumamanku.
"Eh, enggak Mi..." kataku buru-buru.
"Bang Bilal dateng jam berapa?" tanyaku kemudian.
"Di suratnya sih jam sembilanan sampe jam sepuluhan," jawab Ummi lembut.
Semenjak saat itu Bang Bilal memang sering menulis surat. Terhitung dari dua tahun ia mondok, ada sepuluh surat yang sudah sampai ke rumah, enam surat masih dibacakan Ummi, empat sisanya sudah bisa kubaca sendiri.
Aku ingat surat terakhir yang Bang Bilal kirimkan adalah pemberitahuan yang menyenangkan. Tahun ini, Bang Bilal diizinkan untuk pulang oleh kyainya. Setelah itu cerita-cerita ringan.Hampir semuanya diceritakan dalam surat Bang Bilal, ya nggak tahu juga sih, tapi dalam surat-suratnya Bang Bilal menceritakan kejadian-kejadian di dalam pondok. Seakan-akan waktu itu aku bisa membayangkan bagaimana hidup Bang Bilal di sana dari mulai sekolahnya, hapalannya, teman-temannya, gurunya, kyainya, keadaan dalam pondok. Atau saran Bang Bilal tentang hukum-hukum Fiqih atau berkaitan dengan amalan-amalan dan ibadah.
Kuakui Bang Bilal memang seorang yang cerdas. Dibandingkan aku, wajah kami memang kesannya berbeda. Bang Bilal berkulit gelap, apalagi dengan postur tubuhnya yang kurus dan tinggi. Walaupun dia mancung. Berbeda denganku yang berkulit putih dan berbibir tipis. Kata Ummi, Bang Bilal mirip sekali dengan mendiang Abiku, sedangkan aku lebih dominan mirip dengan Ummi. Kukira karena namanya Bilal dan namaku Jarir. Nama shahabat Nabi yang satu terkenal dengan kulit hitamnya dan yang satu terkenal dengan ketampanannya.
Ada bunyi nyaring yang menggema di seluruh stasiun, tanda ada kereta yang akan masuk ke stasiun. Ummi membantuku turun, sepertinya Ummipun berfirasat mungkin ini keretanya.
Kita berdiri, beberapa saat kemudian kereta telah sempurna berhenti. Orang-orang berhamburan keluar dari kereta. Mata kecilku mencari, dari sekian banyak orang yang keluar dan otakku berputar. Aku masih ingat dengan otaknya Bang Bilal atau tidak?
Sudah dua tahun tidak bertemu, dalam dadaku terasa rindu yang meluap-luap. Aku menoleh, menatap wajah Ummi yang sibuk mencari-cari Bang Bilal diantara kerumunan orang yang keluar. Sepertinya perasaan Ummi dua kali lipat perasaanku saat ini. Tapi Ummi tidak melepaskan genggaman tangannya di tanganku.
"Ummi...!!" pekik seseorang. Suaranya agak berbeda dari yang aku kenal, tapi mirip. Aku terkesiap.
"Ummi! Jarir!" sekarang namaku dipanggil juga. Ummi juga sudah menyadarinya. Kami menoleh ke asal suara.
"Bang Bilaaal...!!!" aku berlari memeluk kakakku. Aku masih seperutnya, dia sudah lebih tinggi sekarang.
Aku mencium tangan kakakku itu, dia tersenyum lebar.
"Jarir? Kamu udah lebih tinggi ya?"
"Iyaalaah," kataku dengan nada merajuk ala anak kecil.
Kakakku beralih setelah mengacak-acak rambutku, mencium tangan Ummi dengan takdzim.
"Gimana kabarnya?" tanya Ummi.
"Baik Mi, Alhamdulillah.Ummi gimana kabarnya?"
"Baik, Alhamdulillah," jawab Ummiku.
"Bilal, pegangin adekmu ya, biar Ummi panggilin ojek."
"Iya, Mi..."
Aku memegang erat tangannya.
"Abang mondok enak?" tanyaku, menengadah, melihat wajahnya."Enak, enak banget," jawabnya, nadanya meyakinkan.
"Abang kamarnya dimana?"
"Madinah."
"Madinah?"
"Iya kamar di sana namanya Mekkah, Madinah, Arafah," ujar kakakku memberi tahu.
Kakakku menuntunku sampai pintu stasiun, terus berceloteh soal pondoknya, seolah-olah semua hal di pondoknya adalah hal yang menyenangkan.
☘️☘️☘️
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya cerita
Spiritual📌Cerita Jarir up disini! Jarir, pria yang usianya sudah kepala dua menginjakkan kaki di pondok pesantren Darussalam untuk daftar mondok. Bukankah mondok pada umumnya dilakukan oleh anak yang masih usia sekolah? Tamat SD misalnya? Mondoknya Jarir te...