1.2 Mondok (bag 2)

65 27 104
                                    


20 tahun yang lalu..

Aku tidak pernah menyangka, kejadian ini akan selalu aku ingat. Waktu itu aku memang baru berumur 5 tahun, Jarir kecil yang baru kelas 0 kecil. Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berbaring, tapi berkali-kali membuka mata. Dadaku berdebar-debar. Aku duduk kemudian turun dari tempat tidur. Mengendap-endap jam 10 malam.
Aku ke kamar sebelah. Aku masih tidur dengan Ummi waktu itu. Ummi, itulah panggilanku untuk wanita yang melahirkanku. Kamar sebelah adalah kamar Bang Bilal, kakakku yang beda 7 tahun dariku. Hari itu adalah hari bersejarah. Besok Bang Bilal berangkat mondok ke pesantren. Baru kemarin dia perpisahan sekolah SD-nya.

"Bang..." panggilku lirih.

Dia yang sedari tadi sibuk mengemasi barangnya seketika menoleh kaget, keningnya berkerut.

"Jarir...? Kamu belum tidur?"

Aku melangkah kecil-kecil mendekatinya. Aku menggeleng, wajahku mungkin terlihat memelas.
"Belum, nggak bisa tidur Bang. Bang Bilal nggak tidur?" Aku balik bertanya.
"Belum selesai beres-beresnya, dikit lagi. Besok udah berangkat."

Aku menarik bajunya. Ia menoleh lagi.
"Bang Bilal beneran mau mondok?"

Abangku cuma tertawa.

"Ya iyalah beneran."

Ia berbalik, berjongkok, memegang pinggangku. Mengangkatku ke atas ranjang, padahal aku bisa naik sendiri, aku kan tinggi.

"Tidur disini aja kalo' nggak bisa tidur." kata Bang Bilal lembut.

Dalam menit selanjutnya ia berbalik, memilah-milah buku dan bajunya, memasukkannya ke dalam tas. Di atas kasur masih berserakan tas, baju-bajunya, dan tumpukan buku. Ia menggaruk-garuk kepala.

"Bang, nanti siapa yang nemenin Jarir main?" Suaraku bergetar. Aktivitas kakakku berhenti sejenak. Ia tertegun. Ia menoleh ke arahku, tersenyum. Ia mendekatiku, duduk di atas kasur.
"Jarir, Jarir kan udah masuk TK, banyak temennya Jarir main. Temennya Jarir kan banyak."

"Tapi...huu..."Aku tidak bisa menahan tangisku.

"Eh, lho... Jarir ngapain nangis?"

Bang Bilal merangkulku, menyeka air mataku.

"Jarir gak boleh nangis.Jarir kan cowok. Jarir harus kuat.Gantiin Bang Bilal, gantiin Abi."

Aku menunduk, tangisku tambah deras. Abi adalah panggilan kami untuk ayah, yang sudah meninggal semenjak aku masih bayi, sebelum aku sempat mengingat wajahnya.

"Kenapa tambah gede nangisnya?"

Bang Bilal menghadapkan aku berhadapan dengannya. Memegang kedua lenganku, mencengkramnya, agar kuperhatikan kata-katanya.

"Jarir, Jarir gak boleh nangis ya? Abang cuma mondok sebentaaar aja."Bang Bilal kembali menyeka air mataku.

"Sebentar Bang?" tanyaku dengan polosnya.

"Iya cuma sebentar. Lagian Jarir besok ikut kan? Lihat pondoknya abang?"

Aku manggut-manggut, mulai mereda tangisku.

"Emang mondok enak Bang?" Tanyaku kemudian. Bang Bilal tersenyum lagi. Entah karena ia memang murah senyum atau aku memang konyol sekali waktu itu.

"Nggak tau. Abang belum pernah mondok. Tapi kayaknya sih enak."

"Abang kenapa mondok?"

"Ke-kenapa?" Bang Bilal mengerutkan kening, tidak menyangka akan ditanya begitu. Kemudian dia tersenyum lagi.

"Nggak tau," dia menggeleng pelan.

"Iih...kok nggak tau sih Bang?"Protesku.

"Rahasialah. Entar kamu juga tau. Entar kalo' kamu udah gede, mondok juga ya kaya Abang, nyusul Abang," kata kakakku.

"Udah malem Jarir, bobo yuk?"

Kakakku berbaring, mencontohkan untukku, agar aku ikut berbaring juga.

"Katanya Bang Bilal belum selesai."

"Besok aja. Sini tidur."

Aku ikut berbaring. Malam itu aku menyayanginya. Malam itu aku menangis untuknya. Entahlah kenapa saat itu perpisahan aku dengannya begitu sulit. Seperti aku akan berpisah begitu lama, begitu jauh dan menyedihkan. Padahal cuma sebentar ia mondok. Cuma sebentar katanya. Dan tidak usah menunggu, aku, si Jarir kecil, tertidur.

☘️☘️☘️

" Jarir!"

Aku mencari asal suara, aku berdiri di depan pintu rumahku.

"Sini deh aku bilangin."

Aku melihat siapa yang memanggilku. Aku mendekatinya. Dia adalah seorang gadis umur 12 tahun, sebaya dengan Bang Bilal. Dia cantik dengan mata sayunya, Teh Shafa biasa aku memanggilnya.

"Bang Bilal beneran mondok, Rir?" Tanyanya. Sepertinya ia suka dengan abangku.

"Iya Teh, berangkat hari ini. Teteh ada pesen?" Tanyaku polos.

"Enggak. Aku kebetulan lewat. Salamin aja."

"Apa mau Jarir panggilin Bang Bilal aja Teh?"

"Eeh.. gak usah. Salamin aja, aku buru-buru." Lalu dia pergi.

"Jariir!!Kamu ngapain di sana? Sini bantu Ummi! Abangmu sebentar lagi berangkat!"

Aku berbalik, dengan cepat menghampiri Ummiku yang sudah meninggi suaranya.

"Iya Mi," kataku, masuk ke dalam rumah. Aku langsung lari ke kamarnya Bang Bilal.

"Kamu abis darimana Jarir?" Tanya Bang Bilal.

"Nggak abis dari mana-mana. Jarir tadi di depan rumah Bang, terus ada Teh Shafa manggil Jarir," laporku.

Mendengar nama Teh Shafa disebut, ekspresi abangku berubah, sepertinya dia suka juga.

"Terus Teh Shafa ngomong apa?" Pancingnya.

"Nanya Bang Bilal beneran mondok? Terus aku jawab iya berangkat hari ini. Terus Teh Shafa nitip salam buat Bang Bilal," laporku kemudian.

"Ooh," Bang Bilal mengangguk pelan. Tidak bertanya lagi.

Barang-barang Bang Bilal sudah rapi di atas kasur. Bang Bilal juga sudah mandi, badannya sudah harum. Ia memakai koko putih dan celana hitam yang Ummi belikan lebaran tahun kemarin.

"Keretanya jam setengah dua, sekarang udah jam sebelas, mau bantuin Bang Bilal bawain tas ini keluar nggak?"

Aku mengangguk, memegang tas paling kecil. Abangku membawa tas ransel besar keluar dari kamarnya. Ia menungguku keluar, kemudian ia mematikan lampu kamarnya dan menutup pintu. Setelah itu adalah hari pertama kalinya aku naik kereta. Pertama sebelum bertahun- tahun kemudian.

☘️☘️☘️

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang