5.2 Pondok, Kyai dan Tata Tertibnya (bag. 2)

15 4 1
                                    

Plak!

Aku memukul kepala Togar, dia mengaduh.

"Aih Baang! Sakit!"

Aku duduk disebelahnya, ini kelas.

"Eh kamu kenapa nggak bilang kalo listriknya mati tiba-tiba?!" berondongku kesal.

"Hehehe. Sori ya Bang, lupa," Togar nyengir, mengelus-elus kepalanya sendiri.

"Alah! Lupa, lupa! Kamu sengaja kan? Ngerjain saya?! Kamu nggak bilang kalo semalam listriknya bakal mati!"

"Iya bener Bang."

"Bener-bener ngerjain saya maksudnya?!" aku memalingkan muka, berdecak.

Semalam aku benar-benar membersihkan kamar mandi di belakang asrama, isinya mungkin belasan pintu. Ketika jam sebelas, listriknya mati total. Gelap gulita. Aku keluar dari deretan kamar mandi mencari cahaya. Aku bertemu ustadz yang memang kebagian jatah berjaga malam, hirosah namanya, yang kerjaannya memutari pondok atau berjaga di setiap asrama. Mereka ada dua orang, membawa lilin dan senter. Aku mendapatkan jawabannya, ternyata memang tidak ada listrik setengah jam setelah jam tidur, yaitu jam sebelas. Kalau terpaksa ada suatu hal yang mengharuskan kita memakai listrik, ya berarti menyalakan diesel.

"Slow dong Bang, slow," Togar terkikik geli.

"Selaw, selow, selaw, selow...!!" hardikku, aku mendengus kesal.

Tidak selang begitu lama, pelajaran dimulai.

🍁🍁🍁

Malam ini ngaji Gus Faiz, maksudnya belajar dengan guru Gus Faiz. Setahuku memang di beberapa pondok pesantren memiliki jadwal khusus untuk diberi pelajaran oleh kyai atau pemimpin pondok itu. Biasanya yang diajarkan adalah ilmu-ilmu khusus atau cuma nasehat semacam tausiyah-lah bahasanya, dan harusnya memang perkara yang menjadi bekal kita dalam kehidupan. Seperti yang diberitahukan Reza sebelumnya, jadwalnya adalah tiga kali dalam seminggu.

"Akhi Jarir, malam ini ngaji Gus Faiz ya?" tanya Reza.

"Iya," aku mengiyakan karena memang jadwalnya. Tadi juga Togar sempat membicarakannya.

"Emang kitab yang dipake apa sih?" tanyaku kemudian.

"Malam pertama tafsir."

"Maksudnya malam pertama?" keningku mengerut.

"Kan ngajinya tiga kali seminggu, malam pertama tafsir, kedua hadits, ketiga kitab."

"Ooh, Haditsnya pake kitab apa?"

"Kitab Matjarrabih karya Syaikh Syaraf Uddin Ad-Dimyati. tentang Fadhilah, keutamaan amal sholih gitu."

"Kalo kitabnya?"

"Kitabnya jenis kitab Ruddud, semacam bantahan-bantahan buat aliran sesat atau kafirin gitu. Kalo di pondok-pondok biasanya dikenal pake nama Aswaja, Ahli Sunnah wal Jama'ah. Sekarang kitabnya 'Kasyfussuttur' karangan Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh. Akhi punya kitabnya?"

Aku mengendikkan bahu, aku benar-benar awam soal kitab-kitab ini.

"Coba Akhi sendiri yang liat kitabnya."

Aku mempersilahkan dia memperhatikan kitab-kitab yang aku bawa, yang aku susun secara berdiri di paling atas lemariku

"Kitabnya lumayan tebel lho, akhi. Aahh, ini niih." dia menarik satu dari dalam lemari.

"Inii..." ia melihat kitab di tangannya, seakan-akan sedang memindainya.

"Inii..." dia malah pasang tampang surprised.

"Dasuqi?? Ummulbarahin?? Kitab terakhirnya Imam Nawawi itu?"

Aku cuma mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang membuat dia sekaget itu.

"Akhi, kitab Dasuqi itu kitab terakhir karangannya Imam Nawawi sebelum beliau wafat," Reza berusaha menjelaskan.

Terus? Aku belum menemukan ke surprise-annya.

"Kitab ini juga kitab terakhir yang diajarkan Kyai Faris sebelum beliau wafat."

Oh? Hatiku mencelos, jadi itu. Pantas saja. Itu istimewa, sangat istimewa. Oke, aku mengerti. Reza menatapku.

"Akhi tahu? Kitab ini diajarkan Kyai Faris dua hari sebelum wafatnya, jadi baru muqaddimah, pembukaan. Setelah sebelumnya kitab ini diajarkan pada orang-orang khusus."

Aku kembali mengerutkan kening. Orang-orang khusus?
Prasangka-prasangka itu muncul lagi. Apakah kakakku termasuk diantaranya?

"Setelah itu, pelajarannya nggak pernah lagi dilanjutkan karena masih berduka ditinggal Kyai Faris. Selain itu kayaknya juga nggak ada yang berani ngajarinnya. Dasuqi itu pelajaran tauhid, yang dalem banget."

Oke, itu sudah cukup menjelaskan. Tapi di dalam hatiku ada sesuatu yang mengganjal setelah Reza menjelaskan tentang kitab itu dan tentang Kyai Faris. Entah apa. Reza mengelus kitab yang sampul plastiknya sudah berubah warna jadi abu-abu, kusam, lusuh, dan koyak di beberapa tempat.

"Kitab ini udah lama banget keliatannya," komentarnya.

" Punya bapaknya Akhi ya?"

Aku tersenyum sambil menggeleng. Kemudian dia membuka bagian depannya.

"Muhammad Bilal," dia membaca nama yang tertera di kitab itu. Yang pernah diukir oleh pemiliknya di sana.Aku menggeleng.

"Kakakku. Dia beda tujuh tahun dariku."

"Lho, kakaknya Akhi mondok di sini juga? Sampe jadi ustadz nggak? Lulusan tahun berapa?"

Aku mengambil kitab itu dari tangannya, menjawabnya dengan senyuman dan mengangkat bahu.

"Kok Akhi bisa nggak tahu? Padahal perasaan, nama tadi familiar, kayak pernah denger."

🍁🍁🍁

"Jariir," ada suara lembut memanggilku Aku menoleh.

Gadis itu mendekap mukenanya. Aku memicingkan mata. Aku sedang berjalan pulang tarawih bersama teman-temanku. Teh Shafa, sekarang sudah cantik sekali. Aku menghentikan langkahku.

"Apa teh?" tanyaku.

"Mana abangmu?" tanyanya. Pipinya bersemu merah, malu-malu. Aku mendengus, hah kenapa harus aku?

"Nggak tahu Teh, kayaknya belom pulang."

"Jarir, galak amat siih." komentar Biru, sambil menyenggol lenganku. Biru mendekap mukenanya, tapi ia tidak berjilbab. Jilbabnya ia lipat bersama mukenanya. Biru teman mainku, gadis yang manis lagi sederhana.

"Jariir," panggil seseorang. Bang Bilal.
"Ayo pu..." Bang Bilal melihat Teh Shafa. Dalam sekejap pandangan mereka bertemu.

"Shafa? Udah lama nggak ketemu, apa kabar?"

"Ba-baik," jawab Teh Shafa kikuk.

"Sekolah dimana sekarang?"

"Mts Al-Amanah."

"Wah pake jilbab terus dong?"

"Bukannya dari dulu udah pake jilbab?"
bantah Teh Shafa lembut.

"Oh,iya yah," Bang Bilal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah.

Dulu Bang Bilal dan Teh shafa satu SD. Rumahku dan rumahnya Teteh juga tidak terlalu jauh. Dulu mereka berteman seperti aku dan Biru, tapi malam itu aku melihat dalam pancaran mereka berdua, ada yang lain. Entahlah, apa itu. Hal itu membuatku waktu itu merasa tidak senang.

"Bang, Jarir pulang duluan yah?" kataku menarik baju kokonya.

"Sebentar dulu."

Aku berdecak, aku tidak mau terjebak disini.

"Biru, kita pulang yuk," ajakku berbisik. Biru mengangguk.

Dengan berjingkat aku pulang dengan Biru, meninggalkan abangku dengan Teh Shafa.

Aku, Kakakku, dan sebaik-baiknya ceritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang