Tatapan penuh luka

986 180 3
                                    


.
.
.
.
.
Ares membuka matanya, dia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Ares tidak menyangka bahwa selama ini dia melupakan saudaranya. Ingatannya sudah kembali walau pun dengan menyakitkan.

Ares bangkit dari ranjangnya saat dia merasa tubuhnya sudah kuat untuk berjalan. Dia bahkan mengabaikan kehadiran Azka yang sudah melarangnya untuk bangun.

"Res, kamu mau kemana?" Azka menahan tangan Ares saat laki-laki mungil itu sudah keluar dari kamarnya.

"Lepasin mas, aku mau pulang." Ares menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Azka.

"Ini rumah kamu Res, kamu mau pulang kemana?" Ares langsung menatap kearah tangga, ada papanya berdiri disana.

"Aku mau pulang ke pare, ke rumah mama, aku gak mau disini." Ares langsung berjalan melewati Johan, sedangkan Azka hanya bisa menghela nafas. Dia tau akhirnya akan seperti ini, dia tau Ares akan sangat marah pada papanya.

"Res, tunggu besok aja pulang kesana ya?" Ares terus berjalan tanpa menghiraukan ucapan Azka.

"Ares." Ares berhenti saat mendengar namanya disebut dengan lirih.

"M-maafin tante." Ares secara spontan melangkah menjauh dengan tubuh gemetar saat melihat ana menghampirinya.

"G-gak usah d-deket-deket." Ares tau sekarang penyebab dia phobia gelap adalah wanita dihadapannya itu.

"Ares maaf, maaf tante nyesel." Ares menggeleng, tatapan Ares saat ini sungguh membuat Azka, Joham dan Ana hancur. Tatapan pemuda mungil itu sarat akan luka dan kekecewaan.

"Maaf tante telat, kalian udah bohongin aku selama ini." Ares langsung berlari keluar saat melihat ketiga orang dewasa itu terdiam.

"Ares!"
.
.
.
.
.
Ares memacu motornya dengan kecepatan tinggi, bahkan Azka yang mengejar dibelakangnya menggunakan mobil pun tampak kualahan, Azka menatap hp yang dia letakan didasboard mobil. Dia sedang mengejar Ares dengan gps yang dia aktifkan dari hp Ares tadi.

Azka benar-benar khawatir pada Ares saat ini, laki-laki itu baru sadar dan langsung memacu motornya dengan kecepatan tinggi dijalan raya. Azka tau rute yang dilalui Ares adalah jalan untuk kepare, tapi tetap saja Azka khawatir.

"Aku gak nyangkah Ares bakal semarah itu." Azka mulai memelankan laju mobilnya saat dia sudah masuk pare, ditambah lagi gps Ares sudah berhenti dititik yang Azka yakini adalah rumah mamanya.

"Mbak, bantu aku ya, bantu aku buat kasih pengertian ke Ares."
.
.
.
.
.
Ares membanting pintu kamarnya saat dia sampai dirumah, dia sudah seperti orang kesetanan saat mengendari motornya pulang kepare tadi. Ares bahkan tidak peduli jika dia harus terjatuh dari motornya.

"Arghhhh." Ares melempar apa saja yang bisa diraihnya.

Ares menangis, laki-laki mungil itu jatuh terduduk disebelah ranjangnya. Ares menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya disana.

Ares merasa ditipu, dikhianati dan dibunuh oleh orang yang selama ini dia percaya. Ayahnya sendiri menghancurkan kepercayaannya.

"Maaf ma...maafin Ares." laki-laki mungil itu kembali menangis sambil terus bergumam maaf, ntah pada sang mama atau pada sang kakak.

"Kenapa mama gak ceritain itu dari awal?" laki-laki mungik itu mulai memukul kepalanya sendiri menggunakan tangan. Dia kesal, marah dan kecewa pada dirinya sendiri.

Bagaimana mungkin dia bisa melupakan sosok kakak yang selalu melindunginya dari tindakan jahat ana saat ayah dan ibunya tidak ada.

"Maaf mas....maaf...Ares bego karena lupain mas, maaf."
.
.
.
.
.
Tok

Tok

Tok

Ares bergeming saat mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Dia tau itu pasti Azka, laki-laki tinggi itu pasti mengikutinya dari surabaya ke pare. Ares membiarkan Azka terus mengetuk dengan tidak sabaran.

Brak

Ares melempar rubik miliknya kearah pintu, bermaksud mengusir Azka, karena dia sedang tidak ingin bertemu siapa pun.

"Pergi!"

Tapi bukan Azka namanya kalau akan pergi hanya karena teriakan dan lemparan Ares. Laki-laki tinggi itu justru mendobrak paksa pintu kamar Ares. Membuat laki-laki mungil itu langsung mengangkat kepalanya dan menatap marah pada Azka.

"Aku bilang pergi mas!" Ares bangkit dia lantas berusaha mendorong Azka keluar dari kamarnya yang sudah mirip kapal pecah.

"ARES!" Ares bergeming bahkan bentakan dari Azka pun tidak mampu menurunkan emosi laki-laki mungil itu.

"PERGI!! AKU GAK MAU KETEMU SIAPAPUN!?!" Ares balas berteriak pada Azka, membuat laki-laki tinggi itu terkejut.

"Ares?!" Azka langsung menopang tubuh Ares yang limbung kedepan.

"Sialan!" Azka mengumpat pelan saat menyadari tubuh Ares melemas dengan mata terpejam, Azka langsung mengangkat tubuh Ares dan meletakannya diranjang.

Tatapan Azka berubah sendu, dia segera meraih kotak tisu yang ada di bawah meja dan segera membangunkan paksa tubuh Ares, saat melihat darah mulai keluar dari hidung Ares.

"Kamu belum minum obatmu kan?" Azka hanya bisa bermonolog sambil membersihkan mimisan Ares.

"Mas harus tetep kasih tau papa mu kalau gini Res, itu satu-satunya cara supaya kamu sehat, semoga aja cocok." Azka memejamkan matanya setelah kembali membaringkan tubuh Ares. Wajah keponakannya itu sangat pucat, bibir yang selama beberapa bulan ini selalu Azka lihat mengulas senyum kini terlihat hampir sama putih dengan wajahnya. Belum lagi pipi tirus Ares yang basah karena jejak-jejak air mata.

Azka melihat kearah pintu ruangan itu yang terbuka, Azka memasukinya. Pikiran Azka melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat Amel harus terusir dari kamar miliknya karena kehadiran Ana. Kamar kecil inilah yang menjadi tempat tidur Amel, pintu ini adalah pintu penghubung agar Amel mudah mengecek keadaan Arlo dan Ares saat itu.

Azka membuka salah satu laci, mengambil tumpukan buku-buku catatan yangs epertinya belum sempat dibaca oleh Ares. Azka mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru dari saku celananya, menyelipkan diantara buku-buku itu berharap Ares akan membacanya nanti.

"Mas ngerti semua pasti terlalu mendadak buat kamu Res."
.
.
.
.
.
Lagi-lagi Azka melihat tatapan itu dari Ares. Tatapan kosong penuh luka, tatapan yang dulu pernah dimilik oleh Ares kecil saat pemuda mungil itu berusia enam tahun. Azka tidak suka melihat tatapan itu ada pada keponakannya.

"Ares." Ares bergeming, pemuda itu bahkan hanya terdiam menatap langit-langit kamarnya tanpa bergerak sedikitpun.

"Ares tolong jangan gini!" Azka kembali berucap dengan sedikit memohon pada Ares.

"Pergi." Azka berkedip saat mendengar suara lirih Ares.

"Apa?"

"Pergi, aku mau sendiri, mending mas pulang." Azka menghela nafas, dia berjalan mendekati Ares dan duduk dipinggir ranjang.

"Res, kamu boleh marah, kamu boleh kecewa, itu hak mu, tapi mas mohon sama kamu jangan sampe kamu nyakitin dirimu sendiri." Ares tetap diam tidak bergeming.

"Mas tau kenyataan yang baru kamu inget itu pasti sakit banget, tapi kamu haris tetap berjuang, masih ada mereka yang butuh kehadiranmu disini, disisi mereka." Azka kembali menghela nafas saat melihat Ares mssih setia tidak bergeming.

"Ya udah, mas pulang dulu, kalau ada apa-apa langsung telpon mas." Azka mengelus kepala Ares sebelum akhirnya keluar dari kamar Ares. Pulang ke surabaya dan akan siap mengungkapkan penyakit Ares pada Johan.

"Maafin mas Res."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Rumah BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang