Senyum yang berbeda

927 178 4
                                    


.
.
.
.
.
Sudah lima hari sejak semua masa lalu Ares terbongkar. Laki-laki itu hanya menjalani aktifitasnya tanpa senyum, sama seperti dulu saat sang mama baru saja pergi meninggalkan semua rasa sakitnya. Ares hanya tersenyum saat menerima telfon atau video call dari Alta dan adik-adiknya.

Ares sudah menyewa penginapan itu, pembuatan rooftop di cafe juga sudah selesai, tinggal menambahkan dekorasi untuk taman yang Ares inginkan saja. Tapi Ares ingin semua adik-adiknya turun andil dalam taman itu.

Hari ini mereka akan kembali, bisakah Ares berharap bahwa mereka bisa menenangkan hatinya yang sedang dalam suasana gundah. Setiap hari Ares menghabiskan waktunya untuk berdiam dikamar dan membaca buku catatan milik ibunya. Tidak jarang dia menangis saat membaca tentang bagaimana papanya dan tante ana memperlakukan mama nya dulu.

"Aku gak akan mau lagi ketemu papa."
.
.
.
.
.
Ares menatap dua orang yang baru saja keluar dari stasiun kediri. Ares tersenyum tipis saat melihat kedua orang tua Igel dan Rion menghampirinya.

Ya pagi tadi, Damar menghubungi Ares dan meminta tolong untuk dijemput distasiun kediri. Ares menyanggupi tentu saja, dia butuh kegiatan yang bisa membuatnya tidak memikirkan apa yang terjadi seminggu ini.

"Mau langsung ke pare om?" Angga, ayah Rion langsung menatap tidak suka pada Ares.

"Siapa yang nyuruh kamu manggil om lagi Res?" Ares hanya tertawa canggung, sambil bergumam maaf pada Angga.

"Mau papa aja yang nyetir?" Ares menggeleng.

"Biar aku aja." Ares langsung mempersilahkan mereka masuk kedalam mobil.

"Igel sama Rion belum pulang?" Ares menggeleng kecil sebagai respon, karena dia sedang menyetir saat ini.

"Belum yah, mungkin mereka sampe nanti siang atau sore." Angga yang duduk dikursi samping kemudi tampak tersenyum menatap Ares.

"Kamu makin ganteng deh Res, kalau rambutnya item gitu." Ares kembali tersenyum kecil.

"Makasih yah." setelah itu Ares sama sekali tidak membuka suara, dia hanya fokus menyetir dan menjawab jika Angga atau Damar bertanya.

"Ayah sama papa mau tidur dirumah aja kan? gak ikut tidur di penginapan yang disewa?" Damar tersenyum setelah menatap lekat pada Ares.

"Iya, Rion minta supaya kami tidur di rumah aja, di kamar Igel katanya." Ares tertawa, sepertinya tawa Ares membuat kedua laki-laki dewasa itu lega.

"Kamar Igel emang keseringan kosong pa, dia lebih seneng tidur berdua di kamar Rion."
.
.
.
.
.
Ares kembali mengurung dirinya dikamar setelah memastikan Damar dan Angga istirahat dikamar Igel. Ares sengaja mengunci pintu kamarnya agar tidak ada yang bisa masuk sembarang kedalam kamarnya.

Ares kembali menyumpal hidungnya dengan tisu saat merasa mimisannya belum juga berhenti, kepalanya sudah sangat pusing, tapi Ares masih saja bertahan dengan diamnya. Ares yang biasanya akan langsung berlari mencari obat saat kembali merasakan sakit atau mimisan, kali ini hanya berdiam dengan tatapan kosong.

Ares menatap tabung obat nya yang tergeletak diatas nakas dengan tatapan kosong, tidak ada satu kalipun Ares berniat meminum obat itu, dan itu terhitung sejak dia kembali dari surabaya.

"Percuma, gak guna juga, hasil kemo kemarin udah jelek."

Ares membaringkan tubuhnya diranjang, kamarnya sudah rapi seperti semula, tidak ada tisu-tisu dengan bercak darah yang berserakan, Ares sudah membersihkannya. Dia juga segera memasukan tabung obatnya kelaci nakas. Dia melihat ada delapan tabung obat yang masih terisi penuh disana, karena Ares sama sekali tidak meminumnya.

"Aku capek, pingin ketemu mama."
.
.
.
.
.
Igel masuk kedalam kamar Ares yang tampak gelap, hari memang sudah malam, dan sepertinya Ares lupa menyalahkan lampu kamarnya. Igel dan yang lain sampai di pare pukul lima sore tadi dan mereka disambut oleh kedua orang tua Igel dan Rion, tanpa Ares.

Itu membuat Igel dan yang lain mengernyit bingung. Bahkan pertanyaan pertama yang ditanyakan Igel pada ayah dan papanya adalah 'bli Ares mana?'. Angga hanya menjawab Ares ada dikamarnya sejak tadi siang, setelah menjemput mereka di stasiun. Igel ingin langsung menemui dan menanyakan keadaan blinya itu, tapi Damar melarang, dan memintanya membersihkan diri lebih dulu.

Itu lah kenapa Igel baru masuk kedalam kamar Ares pukul 6.30 malam. Igel mengernyit dan buru-buru menekan saklar lampu di kamar Ares. Igel tersenyum lega saat melihat Ares bergelung dibawah selimutnya, tertidur.

"Pantes aja lampunya belum dinyalain, ternyata tidur." Igel tersenyum dan berjalan mendekati Ares. Menepuk pelan bahu yang lebih tua agar terbangun.

"Bli, bangun, makan dulu yuk." Ares tidak bangung, dia hanya semakin merapatkan selimutnya, membuat Igel menggelengkan kepalanya heran.

"Bli Ares, ayo bangun, habis makan aku ajak beli thai tea nih." sepertinya Igel sudah mengucapkan kata ajaib, buktinya Ares membuka matanya saat ini.

"Beneran ya?" Igel menghela nafas pasrah, kemudian mengangguk.

"Giliran thai tea aja langsung bangun bli." Ares tertawa sebelum akhirnya beranjak dan masuk kedalam kamar mandi.

"Kamu kenapa bli? apa yang terjadi sewaktu kami gak ada disini? apa yang kamu sembunyiin?" Igel bergumam lirih. Dia tau ada yang aneh dengan bli kesayang rumah bintang itu.

Igel sudah merasa aneh sejak empat hari lalu, saat Ares mengabari mereka bahwa dia sudah menyewakan penginapan itu untuk keluarga mereka. Igel tau ada yang berbeda dengan Ares, senyum laki-laki mungil yang biasanya terlihat sangat menenangkan itu justru terlihat hampa. Ares memang tersenyum tapi hanya di bibir, mata dan hatinya tidak ikut tersenyum seperti biasanya.

"Semoga aku gak ngelewatin apapun bli, kenapa rasanya bli jauh banget ya."
.
.
.
.
.
Ares turun kebawah bersama Igel, Igel juga tidak menanyakan apapun pada blinya itu, takut juatru Ares semakin menarik diri dari mereka.

"Bang Ares!"

"A' Ares!"

"Bli Ares!"

Ares sedikit kualahan saat tiga makhluk menggemaskan itu memeluk tubuhnya bersamaaan. Hei mereka tidak sadar ya jika tubuh Ares itu kecil dan mungil.

"A-aduh, a-aku gak bisa nafas ini." Ares mencoba mlepaskan diri dari pelukan tiga beruang yang menghimpit tubuhnya.

"Maaf." ketiganya sontak bergumam maaf, setelah melepaskan pelukan mereka.

"Ayo makan bli, ayah masak sup ayam." Ares tersenyum, kali ini senyum yang biasa dia perlihat pada mereka, senyum menenangkan milik Ares.

"Nah gitu dong senyumnya, jangan cuma bibirnya aja yang senyum." Ares sontak menatap Alta yang berdiri disebelahnya, ditangannya terdapat semangguk sup ayam, yang kemudian dia berikan pada Ares.

"Makasih." Ares bergumam terima kasih sesaat setelah menerima supnya.

"Ares gak mau pakai nasi?" Ares menggeleng, perut nya seminggu ini justru semakin parah, sama sekali tidak bisa menerima nasi.

"Masih kenyang yah, ini aja." Angga menghela nafas, tapi minimal Ares memakan dan menghabiskan sup nya.

"Kalian mau kemana?" Akta bertanya saat melihat pakaian Ares dan Igel yang cukup rapi, jangan lupakan jaket yang mereka pakai.

"Mau nganter bli Ares beli thai tea, biasa." yang lain hanya bisa mengangguk. Memang hanya Igel yang bisa menahan keinginan Ares untuk beli lebih dari dua gelas.

"Dek, keluarga kalian baru dateng besok?" semua mengangguk serempak. Membuat Ares kembali tersenyum.

"Ya udah, ayo berangkat bli." Ares langsung mengikuti Igel keluar rumah, laki-laki mungil itu menunggu didalam mobil.

Ya mereka memang akan membawa mobil karena mereka bukan hanya akan beli thai tea, tapi juga membeli beberapa barang lain sesuai kemauan Ares.

"Gel?" Igel berdehem, tapi matanya melirik kearah Ares yang sedang menyandarkan kepalanya kekaca jendela.

"Kenapa bli?" Ares menggeleng, dia menggelengkan kepalanya.

"Hadar masih marah sama aku ya?"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Rumah BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang