03|ALZAM ARIF BILHAQ

81 9 1
                                    

"Alzam,."

Lima detik setelah salah satu dewan perwakilan rakyat itu berseru, keluarlah seseorang lelaki dengan tampang malas dan enggan.

Lelaki yang di panggil Alzam oleh Ayahnya itu berjalan malas. Rambutnya berantakan, dengan ujung jambul yang berwarna cokelat terang. Pakaianya serba hitam, dengan celana jins yang robek robek di bagian lutut.
Kalung yang sama persis seperti yang Alya kenakan sekarang, terpasang di lehernya. Berbandul logam kerok, kalau kata mbah ibuk.

Alzam menyugar rambutnya kebelakang. Mbak santri yang menyaksikan pemandangan itu menjerit tertahan.

GANTENG BANGET, YALLAH.

Perawakanya tinggi, kulitnya putih bersih. Demi apapun jua, Alya sebagai perempuan merasa tersinggung. Hidungnya mancung, seperti ada blasteran Arab dan ke barat baratan.
Rahangnya tegas, dan di tumbuhi bulu halus di sekitar rahang. Mbak santri saling berbisik,

"Mirip zain malik, gusti."

"Rizky nazar, gak sih?!"

Sedangkan Alya melirik Alzam malas. Meskipun Alya adalah gadis ceroboh dan se enaknya. Tapi dia bisa menempatkan diri. Alya jelas tahu seperti apa pakaian yang harus ia kenakan. Kalau ke tempat mulya ya bajunya harus lebih sopan. Kalau ke tempat wisata, lebih santai namun sopan. Meskipun akhirnya berantakan gak karuan.

Lah ini? Jins robek, rambutnya sedikit gondrong, bahkan telinganya bertindik.

"Salim dulu, Zam. Beliau ini sahabat Ayah dulu pas di pesantren. Kyai..."

"Udah tau. Ayah udah cerita itu seratus dua puluh lima kali ke Alzam." Sekarang Alya melihat Ummah melongo, dan Abinya menggelengkan kepala. Alzam berani memotong ucapan Ayahnya sendiri? Wah,gak beres.

"Cium tangan Kyai Nidhom, Zam."
Perintah pak Rahman lagi.

Alzam menggeleng malas. "Gak, ah."

Sekarang Alya yang mlongo. Senakal nakalnya Alya, dia tidak pernah berani menyela ucapan orang tuanya. Tidak berani bertindak tidak sopan kepada orang lain, apalagi lebih tua. Saking kesalnya Alya melihat tampang Acuh nya Alzam, gadis dua puluh satu tahun itu reflek memajukan langkah.

"Eh, yang sopan,ya!" Hardik Alya kesal. Ummah menarik lengan Alya, menepuk bahunya sampil mengedip ngedipkan mata. Meminta Alya untuk tidak bar bar kali ini.

"Udah udah, gak apa apa." Sela Abi menenangkan.

Sekarang Alya malas sekali berdiri di sini. Apalagi ketika melihat Alzam justru tersenyum miring menatapnya.

Wah,cari masalah.

"Ini yang nama nya Alya kan, ya?" Tanya Perempuan cantik yang tadi memeluk ibunya. Berusaha membuat cair suasana.

Meskipun kesal, Alya tersenyum dan mengangguk singkat.

"Nggih." Alya maju dua langkah, mencium tangan istri pak Rahman dengan takdzim. Lalu sedikit terkejut karna tubuh kecilnya di peluk erat.

"MasyaAllah, cantik ya, fah. Persis kamu loh." Puji Bu nadya tulus. Mengelus bahu Alya sayang. Sedangkan Ummah tertawa pelan dan mengucapkan terima kasih.

"Dulu lihat kamu masih kecil banget. Sekarang udah gede. Makin cantik." Puji bu nadya lagi. Sedangkan Alya menahan cengiranya untuk tidak semakin lebar. Sampai telinganya menangkap suara menyebalkan dari seseorang yang berdiri di sebelah Bu Nadya.

"Cari muka." Ejek Alzam pelan. Mendengar itu, Alya melotot tidak terima. Kalau bukan karna Ummah yang menarik lenganya, Alya yakin, Alzam akan kena bogem mentah dari tangan Alya.

Enak saja.

☀️☀️☀️

Sekarang Alya harus menghadapi situasi yang jauh lebih menyebalkan. Duduk di ruang tamu bersama keluarga tamunya, dan tentu saja bersama dengan cowok tengil yang sudah tidak sopan dengan Abinya.

Sedangkan Ziz justru tak berhenti tersenyum dan memuji Alzam di telinganya.

"Mbak Al, mas Alzam macho banget ya, Keren. Ziz mau gaya kayak gitu. Tapi gak di bolehin Abi." Bisik Ziz bukan sekedar bisikan, karna Alzam yang duduk tepat di seberangnya lagi lagi tersenyum miring. Seperti memang berniat meremehkan.

Alya berdecak, balas membisiki Ziz dengan bisikan yang tak kalah keras.

"Gak, ah. Biasa aja. Jelek, songong, gak punya sopan santun pula."

Mendengar itu, Alzam lantas menegakan tubuh. Seperti tidak terima. Sedangkan Alya membuang muka pura pura tidak melihat.

Ziz menoleh ke arah kakak nya, lalu menoleh ke arah Alzam yang memutar bola matanya malas. Ziz lalu nyengir sambil mengangkat dua jemarinya ke udara.

"Mas Alzam ganteng kok, Tenang aja. Mbak Alya emang suka lupa pakai kaca mata. Hehe"

Sekarang Alya yang langsung menoleh. Melotot kesal pada Ziz yang cengar cengir tanpa dosa. Mengabaikan obrolan asyik kedua orang tuanya dengan orang tua Alzam.

Alya membuka mulutnya, seperti berniat protes. Namun mengatupkanya lagi.

"Dahla, males."

"Zam,." Yang di panggil hanya menoleh sebentar, lalu bergumam pelan.

"Setelah ini kamu bakal mondok disini. Seperti kesepakatan kita malam itu. Ayah capek lihat kamu gak disiplin. Balapan liar, pulang pagi terus." Tiba tiba Pak Rahman nyeletuk. Kalimatnya tak terbantahkan. Namun sepertinya itu tak berlaku untuk Alzam yang justru menegakan punggungnya, menatap sang Ayah malas.

"Yah, Aku gak mau disini. Pulang aja deh, ya. Gak lucu banget umur 26 tahun masih di suruh mondok bareng bayi dua belas tahun." Protes Alzam tak main main. Mengabaikan orang orang yang kini menatapnya tak percaya.

Pak Rahman tegas menggeleng. "Keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat. Semalam kita sudah bicara, Zam. Dan kamu tidak bisa menolaknya."

Alzam mendengus kencang. Raut wajahnya tak terbaca. dia tetap menggeleng tegas, bahkan bergegas berdiri.

"Enggak."

Mendadak suasana menjadi panas. Walaupun ruangan itu terpasang Ac sekalipun.

"Demi kakek. Beliau mau kamu mondok dan merubah diri. Itu permintaan terakhir beliau." Ucap pak Rahman setengah memohon. Beliau bahkan ikut berdiri.

"Wah, seru nih." Ucap Ziz mengambil ponselnya dari saku, lalu diam diam merekam.

Terlihat Alzam yang menghembuskan nafas, mengacak rambutnya kesal. Membuat rambut tebal dan sedikit gondrong itu semakin berantakan.

Mengingat kembali potret kakek nya yang sekarang tengah terbaring di rumah. Seseorang yang begitu menyayangi Alzam. Lelaki tua yang begitu memahaminya dibandingkan siapapun di dunia ini. Alzam mengingat lagi senyuman tulus kakek. Tangan hangatnya yang acap kali menepuk bahunya sambil mendoakan.

Lelaki 26 tahun itu memejamkan mata.

Diam diam Alya membantin, "jangan mau, plis. Pulang aja pulang. Jangan mau mondok disini."

"Oke."

Seperti tersambar geledek di siang bolong, Alya merasa kakinya lemas.

"Astaghfirullohh, gusti. Cobaan menguji mental apa lagi ini?"

Sedangkan Ziz bersorai di sebelah Alya sebab idola baru nya bisa saja dia ajak ikut nonton club bola kesayanganya bersama kang santri nanti.

Mwehehe.

☀️☀️☀️

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang