19|SARAPAN PAGI

67 4 1
                                    

Masih pagi buta, pondok pesantren al huda telah aktif kegiatan santri. Tepatnya setelah jamaah sholat subuh, para santri putri telah berada di aula untuk mengantri setoran hafalan mereka. Santri putra berbaris rapih layaknya jajaran malaikat yang berpakaian serba putih dan peci hitam.

Alya menyimak hafalan santri dengan raut seriusnya seperti biasa. Tidak ada senyuman berarti ketika telinganya mendengarkan dengan khusyuk tiga santri putri yang setoran hafalan.

Gadis itu menyimak hafalan santri dari juz 1-15, sedangkan ummah menyimak hafalan santri dari juz 15-30.

"Panjangnya dipake ta. Jangan di laraki tok ngoten." Mbak santri yang tengah melantunkan ayat dengan bil ghoib itu mengangguk, mengulangi ayatnya.

"Hemm, ulangi ayat sebelumnya mbak." Alya menunjuk pada mbak santri yang duduk di tengah.

"Dengungnya mbak, yallah."

Hingga matahari terbit dari ufuk timur, setoran hafalan seluruh santri telah selesai. Ning putri pertama kyai Nidhom itu mengecek buku absen santri dan menandatangani nya. Raut wajahnya nampak kesal dan sendu berkumpul jadi satu. Alya mengingat suara halus Alzam ketika panggilan telvon nya terhubung dengan seseorang. Dan perasaan itu membuatnya tidak nyaman.

Dengan langkah sedikit gontai Alya membawa kayu penjalinnya yang mengetuk pelan di lantai keramik aula. Para santri putri diam menunduk ketika Alya lewat di tengah mereka.

Gadis itu menuruni satu anak tangga, memakai sandalnya yang telah terpasang rapi diatas lap bersih. Mbak santri yang telah menatanya. Sebagai wujud penghormatan kepada guru, dan agar si guru tidak kesulitan mencari sandalnya diantara tumpukan sendal santri yang lain.

"Selamat pagi."

Alya menegapkan tubuhnya. Menatap sepasang mata hitam legam tersenyum menatapnya hangat. Sehangat mentari pagi diatas sana.
Alzam tersenyum, jenis senyum yang menenangkan. Alya bahkan perlu mencubit lengannya sendiri demi meyakinkan bahwa ini sungguhan, ini nyata. Alya tidak sedang bermimpi dengan bersandar pada dinding aula.

"Aw, sakit" cubitan dilengannya terasa perih. Dan Alzam berdecak.

"Kebiasaan deh aneh. Gak kok, kamu gak lagi mimpi. Saya emang didepan kamu sekarang." Kata Alzam sambil menepuk pipi Alya pelan.

"Ngapain kesini, gus? Ini kawasan santri putri loh." Alya bertanya, tampang masamnya masih berusaha ia pertahankan.

Alzam mengangkat sebelah alisnya yang tebal. "Emang salah kalau saya jemput istri saya sendiri? Kita ditunggu sarapan bersama sekarang ning."

Alya menghela nafas, menggigit pipi bagian dalamnya, mencegah bibirnya untuk tersenyum mendengar Alzam menyebutnya "istri".

"Ya udah ayok pulang. Kebetulan aku udah laper, pengen banget makan orang." Cletuk Alya sambil berjalan mendahului Alzam. Bisa gosong pipi nya kalau ditatap begitu terus.

Baru satu langkah berjalan, Alzam menahan lengan Alya. Membuat gadis itu menghentikan langkah. Alzam berdiri didepan sang istri yang tingginya hanya sebatas bahu nya saja. Dengan sedikit menundukan tubuhnya, tangan Alzam terulur memasukan rambut poni Alya yang terlihat, membetulkan kerudungnya hingga rapi menutup dada. Lalu tangan Alzam bertengger di bahu Alya, menepuknya bangga.

"Rapi. Ayok pulang."

Alya bahkan terdiam saat Alzam menautkan jemarinya ke jemari Alya. Jantungnya berdegup kencang, hawa disekitar nya terasa dingin menusuk. Tapi dingin kali ini menyenangkan.

Mereka berdua lupa kalau di aula para santri putri sedang berkumpul menggerombol memandangi mereka. Melihat kejadian romantis pengantin baru ini, membuat mereka menjerit tertahan. Ning mereka yang tidak bisa diam, disatukan dengan kulkas dua pintu.

Kutub es telah mencair.

"Njenengan kenapa pake baju itu gus?" Alya hati-hati bertanya.

Sedangkan Alzam terkekeh pelan.
"Kenapa? Kegantengan saya nambah 100 kali lipat, kan?"

Alya berdecak. "Narsis banget, yallah."

"Biar samaan sama kamu. Ini baju, kado dari mas Mazid, kan?" Jawaban Alzam semakin membuat Alya ingin menghilang saja dari muka bumi.

Di belakang Alzam, Alya mengangguk. Senyum nya merekah menatap punggung tegap di depan nya. Jemari mereka masih bertaut, dan Alya melupakan kesal nya semalam.

☀️☀️☀️

Alya tersenyum canggung. Menatap orang-orang yang kini tersenyum lebar hingga deretan gigi mereka hampir lepas dari tempatnya saking lebarnya.

"Nah, pengantin baru nya dateng juga." Cletuk ning Ziz yang sejak tadi merengek ingin segera sarapan tapi di plototi ummah karna menunggu mbak yu pertamanya.

"Gimana malem nya mbak?" Ahla cengengesan. Namun tidak berlangsung lama, karna umah menabok lengan Ahla.

Alzam hanya tersenyum kaku, lalu mempersilahkan Alya untuk duduk lebih dahulu.

"Selamat pagi pengantin baru. Dapet salam dari pengantin baru tahun kemarin. Hehe senggol dong." Itu suara Ka. Rupanya dia masih betah liburan disini bersama sang suami.

Alya dan Alzam duduk bersampingan. Dan sarapan pagi itu pun berlangsung dengan tatapan keluarga besar yang memandangi pengantin baru itu dengan penuh cengiran aneh.

"Abi, Alzam izin ngajak Alya pergi jalan-jalan selepas sarapan ini boleh, bi?" Alzam bertanya selepas sarapan selesai.

Alya yang sedang memindahkan piring kosong Alzam keatas piringnya seketika mendongak dan menatap Alzam heran. Lelaki itu sama sekali tak membicarakan apapun tadi.

"Oh ya boleh. Alya itu sekarang sudah menjadi hak mu. Abi sudah menitipkan nya sepenuh hati. Jadi kamu bebas membawa nya kemana saja, asalkan dia bahagia." Jawab Abi dalam.

Alya kehilangan kata-kata. Namun fikirannya sibuk menerka, akan di culik kemana ia kira-kira.

Suami nya mengangguk. Seusai sarapan, Alzam pamit undur diri. Mencium tangan Abi dan ummah takdzim, menyalami mas Mazid yang tersenyum menepuk bahu nya.

"Kita gak ganti baju dulu, gus?" Tanya Alya ketika langkahnya digiring menuju mobil HRV Alzam yang terparkir dihalaman pesantren.

"Gak usah, ini aja biar lucu."

"Alay." Alya tertawa pelan. "Kita cuma berdua?" Tanya Alya polos.

Sambil mengenakan sabuk pengaman, Alzam mendengus. "Kamu mau ngajak satu rt, ning?"

Mobil hrv hitam itu melaju keluar halaman pesantren, melewati pesawahan, jalan yang penuh lubang, bebek yang menyebrang jalan, sekawanan kambing yang di gembala anak kecil, Wajahnya berbuah masam, sedangkan Alya tertawa.

"Jangan ketawa kamu."

Tawa Alya semakin nyaring.

Sampai akhirnya hape Alzam berdering, masuklah satu panggilan dari teman Alzam. Lelaki itu mengangkat sambungan telvon dengan sebelah tangan memegang kemudi.

"Iya hallo bro. Kenapa?"

"Nadira melakukan percobaan bunuh diri dengan mencoba memotong vena nya pake pisau, zam. Sekarang dia kritis di rumah sakit."

Seperti tersambar petir disiang hari, mobil Alzam dipaksa berhenti mendadak. Membuat dahi Alya terantuk dashboard, gadis itu mengaduh.

Setelah sambungan terputus, Alzam menatap Alya. Dengan mata penuh syarat memohon pengertian Alzam memohon,

"Ikut aku ke rumah sakit premier kota sebelah ya, ning. Nadira menyakiti dirinya lagi. Dia butuh aku sekarang. Nadira mencoba bunuh diri. Kalau ada apa-apa sama dia, bunuh aku juga."

Dan Alya merasa dijatuhkan dari ujung langit ke tujuh hingga dasar lapisan bumi.

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang