20|RETAKAN TAK NAMPAK

44 3 0
                                    

Alya masih mengingat betul seperti apa Alzam mengemudikan mobil nya. Alzam bahkan berkali-kali men klakson orang-orang yang menghalangi mobil hrv itu melaju. Rahang lelaki itu mengencang, tatapannya tajam mengarah pada jalanan yang ramai. Alzam mengabaikan Alya yang merapalkan doa dalam diam, berpegangan pada pegangan mobil yang berada tepat diatas kepala. Takut juga jika dia harus menegur Alzam yang sedang kesetanan seperti itu.

TINNNN

hampir saja Alzam menabrak ibu-ibu yang mendadak menyebrang. Ditambah lampu hijau yang berubah warna menjadi merah menandakan mobilnya harus berhenti melaju.

"Agrhh." Lelaki itu menggeram, mengacak rambut nya kesal. Meletakan peci hitam yang ia kenakan di atas dashboard, melepas kemeja berwarna senada seperti gamis yang Alya kenakan. Menyisakan kaos hitam polos yang nampak pas di tubuh nya.

"Gak usah ngebut-ngebut gus. Kamu bukan kucing yang punya nyawa tujuh." Timpal Alya ikut kesal.

Alzam menoleh. Menatap Alya yang sedang menstabilkan detak jantungnya karna ketakutan. Pun Alzam yang nafasnya nampak naik turun, masih dengan raut paniknya.

"Kamu gak tahu rasanya jadi saya, ning."

Mendengar itu mata Alya memicing kesal. "Memang njenengan tahu rasanya jadi aku?"

Alzam tersenyum miring, lalu kepalanya mengangguk. "Bagus, jadi kita sama-sama terpaksa kan dengan pernikahan ini, kan?"

Alya diam. Menatap Alzam sembari menggelengkan kepala tak percaya. Untuk apa dia ada di mobil ini? Untuk sebuah sandiwara? Sedangkan Alzam telah membuatnya tidak berhenti tersenyum sejak pagi. Dengan sedikit bergegas, Alya mencoba membuka pintu mobil.

Klekk

Terlambat. Alzam lebih cepat menekan tombol pengunci seluruh pintu mobil itu. Tatapanya masih lurus memandang ke jalanan. Menginjak gas mobil dan melaju bergabung bersama kendaraan lain saat rambu lalu lintas memberi warna hijau.

"Gus, saya mau turun. Aku mau pulang aja."

Dengan tegas Alzam menggeleng. "Kamu gak tahu daerah ini, ning. Kamu ikut sama saya. Pulang sama saya."

Gadis itu mendengus kesal. "Aku bisa pesan taksi online dan pulang ke pondok."

Lagi-lagi Alzam menggeleng. "Gak, kamu ikut saya dulu."

"Melihat kamu ketemuan sama mantan kamu gitu maksudnya gus? Buat apa?" Akhirnya Alya berseru kesal sedangkan Alzam kehilangan kalimat nya.

"Tolong berhenti gus. Aku mau pulang, dan kamu bisa jenguk Nadira yang ternyata sekarang berada di kota sebelah." Hampir saja Alya meneteskan air mata saat mengatakan itu. Namun kata abi, Alya itu titisan Ironman. Jadi dia tidak boleh menangis.

"Lalu saya harus bilang apa ke abi nanti?"

Ternyata Alzam hanya takut dianggap tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan putri mahkota di tengah jalan. Bukan karna mengkhawatirkannya.

"Itu urusan ku nanti, sekarang tolong tepikan mobil nya, gus."

Alzam sungguhan menghentikan mobil di pinggir jalan, membuat mata Alya kembali berembun.

"Kamu nangis, Al? Saya minta maaf." Alzam mencoba menahan lengan Alya, gadis itu menggeleng, memaksakan senyum nya. Menarik lengan nya dari genggaman Alzam, dan membuka pintu mobil.

Alya fikir Alzam akan turun dari mobil dan membujuknya. Namun salah, Alzam justru terlihat menelepon seseorang, kemudian menginjak gas, tanpa membuka kaca mobil untuk sekedar melambaikan tangan.

Betapa nelangsanya dia. Bayangan memiliki suami impian yang dahulu sering dia khayalkan bersama Ka, tak seindah kenyataan yang harus Alya telan.

☀️☀️☀️

Hidup memang akan selalu mengajarkan kita untuk tidak menggenggam siapapun selain Allah. jika tidak ingin patah, jika tidak ingin terluka parah. Mungkin itulah yang sedang coba Alya teguhkan di hatinya sekarang.

Anak sulung dari empat bersaudara itu sekarang bingung hendak melangkah kemana. Ditatapnya nanar layar ponsel yang menghitam, Alya tidak sempat men-charge ponselnya tadi pagi. Bagaimana caranya pulang? Tadi karena Alzam langsung menarik tangannya, Alya bahkan tidak membawa uang di saku gamis. Alya menghela nafas dalam, lalu duduk ditepian trotoar. Telapak tangannya basah, bahkan bergetar. Alya sungguh sedang menahan isaknya agar tidak pecah. Bukan kah ia sudah tahu kejadiannya akan seperti ini? Bukankah Alzam memang mencintai gadis lain bahkan jauh sebelum mengenal Alya? Pernikahan ini pun bukan sesuatu yang indah seperti yang pernah Alzam bayangkan bukan?

Tapi mengapa telapak tangan Alya bergetar?

Sekuat apapun Alya, anak pertama Kh. Nidhom Salam menahan tangis, air mata nya tetap menetes tanpa diminta, lalu menetes semakin banyak. Entah mengapa hatinya seperti tersayat mengenang fakta bahwa Alzam tak mencintainya. Bukankah sama bukan?

Sampai akhirnya Alya menegapkan tubuh, disekanya air mata di pipi dengan kasar. Lelaki itu, orang yang baru saja membanting pintu mobil dengan keras, bahkan hampir tertabrak motor dari arah belakang karena membuka pintu mobil sembarangan, bahkan umpatan pedas pun terdengar nyaring dari si pengendara motor, lelaki itu tidak peduli. Langkah panjangnya mendekat kepada Alya yang mematung.

"Ning, kamu ikut saya saja ya?" Lelaki tinggi dengan kulitnya yang terlihat kemerahan karena terkena kilau matahari.

Dengan ego nya yang tinggi Alya menggeleng lalu bangkit dari duduk nya, menyembunyikan sebelah tangannya yang bergetar kedalam saku gamis, dan tangan yang lain ke belakang.

"Mboten. Jangan maksa saya gus. Njenengan sudah saya izinkan pergi. Monggo, buat apa balik lagi?" Alya bertanya dengan nada yang dibuat sesantai mungkin. Padahal jejak air mata masih tercetak dipipinya.

Alzam terlihat mengacak rambutnya kesal. "Bisa stop menguji kesabaran saya? Kenapa selalu merepotkan?!"

Alya sedikit terhenyak mendengar nada super dingin itu kembali keluar dari mulut Alzam, suami nya sejak tiga bulan lalu. Cucu kesayangan mbah ibu itu menggeleng, lalu memundurkan langkah sebelum akhirnya memilih berlari secepat yang ia bisa. Sebelum hatinya terluka semakin dalam. Di sorot mata Alzam sama sekali tak tercetak secuil pun perasaan untuk Alya.

"Ning.." Alya lupa jika langkah Alzam lebih lebar dan cepat. Tangan Alya bahkan ditarik kebelakang hingga tubuhnya terhuyung. Namun ia tidak terjatuh, sebab Alzam memeluknya erat. Tubuh kecil Alya berada dalam dekap  lengan kekar, tubuh beraroma maskulin yang harumnya tanpa sadar menenangkan Alya.

"Mohon maaf ning-ku, maaf sudah membentak kamu. Gak seharusnya saya bilang kamu merepotkan. Kamu bikin saya kesal dan cemas jadi satu."

Pelukan terurai. Alya tidak bisa mendengar apapun selain detak jantungnya yang berderak cepat.

"Tangan njenengan kenapa? Kok gemetar sama basah begini?" Alzam meraih kedua tangan Alya, menggosoknya ke kemeja yang Alzam kenakan, lalu meniupnya berkali-kali.

"Hangat gak?" Alzam menempelkan telapak tangan Alya dipipi Alzam yang ditumbuhi rambut halus disekitar wajah.

Dan muka Alya memerah.

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang