04|ALYA MAHIRA SALMA

65 10 0
                                    

Tidak semua hal di dunia ini , terjadi sesuai dengan keinginan kita. Itulah hal yang sedang Alzam terapkan dalam hatinya sekarang. Keputusan Ayah sungguh menyebalkan, mengapa dia harus kembali masuk pesantren hanya karna beberapa kali pulang terlalu larut.

Memang apa yang salah? Alzam sudah tidak bergantung pada kekayaan sang Ayah. Dirinya punya usaha sendiri. Merintis bisnis memotret sejak nol bersama teman temanya. Alzam pun telah membuka sebuah kafe yang cocok untuk nongkrong anak muda. Harusnya Alzam berhak menentukan masa depanya sendiri. Bukan lagi di tentukan arahnya oleh Ayah. Alzam membiayai hidupnya dengan keringat nya sendiri, bukan?

Kecerobohan dan hobbynya yang mendadak suka kebut kebutan di jalan saat rungsing pikiran, sedikit ia sesali sekarang.

Tak ada gunanya meratap. Alzam tahu, dia hanya perlu melewati hukuman ini. Tiap kali ingin membantah keputusan Rahman, Alzam selalu teringat figur kakek Ali yang luar biasa dimatanya.

Lelaki tua, Ayah dari sang ibu, sekaligus penasehat terbaik yang Alzam punya. Bisa di bilang, semua orang tidak akan pernah bisa menghentikan laju nya, kecuali kakek Ali. Hingga terdampar di tempat ini pun atas keputusan beliau juga.

Dengan perasaan enggan Alzam mencium tangan Rahman, ayahnya yang terhormat, Lalu mencium tangan Ibunya. Bibir lelaki berumur 26 tahun itu seakan terkunci. Bahkan Alzam diam saja ketika Nadya, sang ibu menangis memeluknya.

"Ini demi kebaikan kamu, nak. Turuti keinginan kakek, jalani semua ini dengan baik. Kamu cucu tersayangnya." Nadya : ibu Alzam berucap. Tanganya mengelus bahu Alzam, sayang. Seperti mengatakan bahwa ini pun berat untuknya. Alzam putra satu satu nya yang ia miliki.

Terdengar Alzam yang menghela nafas. Kalau sudah menyangkut kakek Ali, Alzam jelas tidak bisa protes. Alhasil ia hanya memilih mengangguk.

Sampai akhirnya mobil Mercedes Benz yang di kendarai sang Ayah, keluar dari parkiran depan pesantren. Di iringi dua mobil lain di belakangnya.

Saat sedang bertarung dengan fikiranya sendiri, bahu berbalut kaus hitam itu di tepuk seseorang. Alzam mengangkat kepala, menoleh dan mendapati Kyai nidhom tersenyum menatapnya. Alzam hanya melihatnya sekilas, sebab tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Gak apa apa, nanti kamu juga akan terbiasa dengan tempat ini." Ujar kyai Nidhom tersenyum.

Alzam memilih diam.

"Ayok, masuk saja. Saya antar kamu untuk lebih mengenal pesantren ini." Kyai Nidhom memutar langkah. Mengajak serta Alzam untuk berjalan bersama.

Dari kejauhan Alzam melihat seorang gadis berlari menujunya. Gadis bergamis twill dengan kerudung voal yang ujungnya tersapu angin. Gadis itu nampak bergegas, Alzam tersenyum miring. Tidak lain, dan tidak bukan gadis itu adalah gadis yang tadi hendak menonjok wajah Alzam karna kesal.

Gadis yang Alzam tahu bernama Alya itu menghentikan langkah tepat di hadapan kyai Nidhom, dengan nafasnya yang terengah akibat berlari. Alya tersenyum hingga menampakan deretan gigi putih kecilnya. Jelas ia tersenyum kepada Abi nya, sebab Alya nampak tidak menyukai Alzam semenjak pertama kali membuka pintu mobil sore tadi.

"Abi,." Gadis itu berucap. Suaranya lantang, dan tidak anggun seperti saat tadi Ibu Alzam menanyai siapakah gerangan gadis cantik itu. (Menurut ibunya loh ya).

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang