11|FLASHBACK

50 7 0
                                    

Malam itu, seperti seorang tersangka Alzam duduk menunduk tanpa sepatah kata. Di ruang keluarga rumahnya yang besar, Alzam bahkan merasa dirinya seperti terpidana hukuman mati, dia diam tak bisa berkutik.

Beberapa orang mengelilingi nya. Ada Rahman sang ayah, ada ibu nya yang cantik, dan beberapa orang yang wajahnya familiar namun Alzam tidak begitu mengenalnya.

Suara decitan kursi roda terdengar, Alzam bergegas berdiri ketika matanya menangkap potret kakek nya tercinta, kakek Ali. Lelaki tua yang menjadi pengasuh utama pesantren di belakang rumahnya itu. Wajah kakek Ali malam itu tak se sumringah biasanya, beliau bahkan tidak menatap cucu satu satu nya sama sekali. Dan Alzam menghela nafas, sebanyak itu kah dosanya?

Kakek Ali datang dengan mengenakan kursi roda dan di bantu dua khadim nya. helaan nafas orang tua berumur hampir delapan puluh tahun itu terdengar berat. Beberapa kali pula, beliau terbatuk batuk sambil memegang dada.

Alzam kembali duduk. Perasaan bersalah membayangi nya tanpa ampun.

"Kakek sudah mendengar semua nya." Kakek Ali membuka suara. Dan semua orang di ruangan itu terdiam. Alzam menunduk sedalam dalam nya.

"Tidak seharusnya cucu tunggal ku kebut kebutan di jalanan dengan memberikan uang sebagai hadiah jaminan, sedangkan dia tahu hukumnya berjudi." Ucap kakek Ali lagi setelah terbatuk. Beliau meminum air putih hangat dalam gelas untuk membasahi kerongkongan.

Alzam terdiam penuh penyesalan. Dia benar benar merasa berada di tengah persidangan sebagai tersangka tunggal karna melakukan kejahatan tak termaafkan.

"Lalu tawuran dengan geng motor, hingga membuat satu orang kritis di Icu. Padahal dia tahu hukum nya menyakiti orang lain." Wajah kakek Ali terlihat semakin sendu.

Semua orang terdiam, bahkan kedua orang tua Alzam pun tidak ada yang berbicara untuk sekedar membela nya atau membantu nya meminta maaf.

"Yang paling menyakiti aku,." Ucap kakek Ali lagi. Dan Alzam spontan memejamkan mata. Dirinya sungguh tidak sanggup mendengar kalimat kakek Ali selanjutnya. Alzam memang bersalah.

"Kamu jalan jalan sama yang bukan mahram mu, berduaan, padahal kamu tahu di pondok ini ta'ziran nya berat untuk santri yang berpacaran. Aku mengingatkan ribuan orang, menceramahi ribuan orang tua. Bahwa orang tua harusnya waspada dan benar benar mengingatkan kepada anak nya bagaimana bahaya nya zina, bagaimana setan berusaha keras untuk menyesatkan anak manusia. Tapi di tengah keluarga ku sendiri, cucu ku sendiri melakukanya tanpa aku tahu.. " suara kakek Ali bergetar, dan air mata nya mulai merebak.

"Aku harus bilang apa kelak kalau sowan ke gusti Allah. Aku malu.." isak beliau semakin terdengar memilukan.

Alzam bergegas mendekat, memeluk lutut sang kakek dengan wajah ketakutan luar biasa.

"Ampuni Alzam, kek. Ampuni Alzam karna sudah buat malu kakek. Alzam mohon ampun." Dan untuk pertama kali nya, setelah sekian lama tidak menangis, mata Alzam mengeluarkan rintikan air mata.

Kakek Ali diam.

"Kakek boleh pukul Alzam, kakek boleh hukum Alzam, apapun. Tapi tolong ampuni Alzam kek. Alzam telah berdosa kepada Allah." Pinta Alzam sungguh sungguh. Bagi Alzam, di dunia ini tidak ada yang lebih memahami nya selain kakek Ali. Dan Alzam rela menukar seluruh dunia nya demi melihat kakek Ali tersenyum dan mengampuni nya yang memang telah kelewat batas.

"Alzam mohon, ampuni Alzam." Cicit Alzam lirih. Dia siap di usir, di buang , atau apa lah itu. Demi mendapat ampun.

"Menikahlah dengan anak perempuan pertama kyai Nidhom, dan berangkatlah ke pesantrenya" ucap kakek Ali tegas.

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang