Mobil CR-V hitam itu pun akhirnya keluar dari halaman rumah sakit. Jalanan sore menjelang maghrib itu nampak ramai, karena sedikit kesulitan membuka ponselnya, Alzam akhirnya menyerahkan handphone nya kepada Alya.
"Cariin nomor ummah, ning." Pinta Alzam.
Alya melirik Alzam yang nampak fokus. Ini pertama kalinya Alya menyentuh ponsel Alzam tiba-tiba merasa sedikit terharu.
"Password nya, 2711." Jelas Alzam menjawab kebingungan Alya.
"Itu tanggal apa?" Tanya Alya setelah kuncian ponsel pintar itu terbuka.
"Ulang tahun saya." Jawab Alzam santai. Menunggu nomor yang dimaksud mengangkat panggilannya.
Sedangkan Alya membuka ponselnya, melihat kalender, lalu berfikir akan memberi kado apa dia nanti. Tapi mengingat Alzam memeluk Nadira tadi saat di rumah sakit, Alya jadi urung melakukannya.Panggilan terhubung...
"Hallo assalamualaikum, ummah.."
"Waalaikumsalam, nak. Alzam sama Alya dimana? Abi sama ummah otw Pasuruan, nak. Mbah ibuk sakit."
Terdengarlah suara cempreng ummah disana. Meskipun nadanya terdengar sedikit lelah. Wajar, ummah mengurusi banyak santri yang sifatnya berbeda-beda meskipun banyak dibantu oleh pengurus dan juga Alya yang akan meneruskan kejayaan pesantren AlHuda nanti. Tapi tetap saja, bertemu dengan banyak tamu yang datang berkunjung setiap hari pasti melelahkan, meski ummah tetap tersenyum dan menyambut para tamu dengan senyumnya yang menawan."Iya ummah, Alzam sama Alya ini arah pulang. Tapi sepertinya gak jadi pulang ma, kami langsung saja ke Pasuruan ya ma?"
Alya yang memperhatikan itu jadi berfikir, kenapa Alzam bisa sebegitu halus dan baiknya dia kepada ummah? Lelaki yang menikahi nya itu ternyata benar-benar punya banyak kepribadian.
"Hati-hati ya, nak. Musim hujan. Gak usah ngebut ya.."
Setelah menitipkan pesan untuk berhati-hati mengendarai mobil, sambungan pun terputus.
"Nih, pegang aja hape saya ning." Alya yang tadinya sedang melamun menatap jendela mobil pun akhirnya menoleh, menatap Alzam yang menyerahkan ponselnya.
"Maap, tangan kiri." Ucap lelaki itu sambil memindahkan ponselnya ke tangan kanan.
Dengan ragu-ragu, Alya menerima ponsel dengan tiga kamera sebesar boba di belakang nya tanpa mengeluarkan suara.
"Biasa aja ngeliatinnya ning, udah cinta ya?" Cletuk Alzam ngasal. Lalu Alya mendengus dan buang muka.
"Dih, narsis."
"HAHAHA, saya seneng ngeledekin kamu. Kita, belok cari mushola dulu ya. Waktu maghrib udah mau habis ini."
☀️☀️☀️
Inikah yang dinamakan takdir? Mengapa terasa rumit dan terkadang pahit. Dipertemukan dengan Alzam Arif Bilhaq mungkin sudah menjadi jalan cerita yang telah di tuliskan ditakdir Alya bahkan sebelum dia lahir ke dunia ini.
Lelaki itu dengan santai menyambar sarung di kursi belakang, dan mengambil peci hitam dari dashboard yang berada tepat di depan Alya. Wajahnya nampak tenang, tidak ada raut menjengkelkan seperti tadi di rumah sakit. Tanpa sadar Alya memperhatikan setiap gerak gerik Alzam, caranya melepas Hoodie hitam yang ia kenakan, menyisakan kaos hitam polos dan membuat kalung tasbih yang ia kenakan terlihat, cara lelaki itu menggaruk hidung mancungnya, dan menyugar jambul pirang yang mulai berubah warna kembali ke hitam. Semua tingkah Alzam ternyata mengundang degup lain yang Alya rasa.
"Ayok turun, ning. Atau mau saya kunci dari luar?" Lelaki hampir 27 tahun itu berujar. Wajahnya kembali ke setelan menyebalkan dengan senyum miringnya.
Mushola itu nampak sedikit tua, terletak diantara sawah padi. Ada lampu kecil di tiang yang terbuat dari bambu. Alzam bilang tadi, jalan didepan mushola ini adalah jalan pintas tercepat untuk memasuki tol arah pasuruan. Alya sedikit bergidik sebab kamar mandi yang sepi, karena waktu maghrib hampir usai sebentar lagi.
Karena sedikit berlari setelah berwudhu, Alya justru menabrak sesuatu yang keras. Hampir saja anak pertama kyai Nidhom itu berteriak.
"Ning, Astaghfirullah. Kenapa sih?" Terdengar suara decakan yang Alya kenal. Lelaki itu bahkan mundur satu langkah karna dadanya di tabrak Alya yang berlari.
"Ya kamu ngapain disitu gus?!" Alya merengut kesal. Mengusap dahi nya yang menabrak tubuh Alzam. Untungnya tidak langsung mengenai kulit karna terhalang kaos, jadi wudhu Alya tidak batal.
"Jaga lilin." Sungut Alzam kesal lalu bergegas masuk.
Meskipun sedikit jengkel karena terkejut, bibir tipis Alya justru tersenyum. Alzam menunggu nya bewudhu?
Ehm. Alzam berhedam. Suasana di mushola kecil itu terasa sunyi. Menyisakan rasa canggung untuk dua orang yang padahal sudah resmi menjadi suami isteri. Alzam memakai sarungnya, sedangkan Alya bergegas mengenakan mukena yang selalu ia bawa dan ia tinggal di dalam mobil.
Alzam menoleh, memastikan Alya sudah rapi dengan mukenanya. "Kita sholat jamaah ya ning, gak pernah kan di imami sama cowok ganteng?"
Kalau di pikir-pikir, selama menikah dengan Alzam, Alya hampir tidak pernah sholat berjamaah berdua dengan lelaki itu. Alzam biasa sholat di masjid pondok bersama seluruh santri putra, sesekali menjadi imam karena menggantikan Abi yang tindak . Begitu pun Alya , sholat nya selalu di aula pondok putri.
Alya mengangguk. Rasanya kenapa jadi canggung begini? Di tambah mushola yang tidak memiliki sekat.
"Maju ning, jangan jauh-jauh."
Alya memajukan langkah hingga tepat berada dibelakang Alzam. Alya menatap punggung Alzam, lalu takbir terdengar. Lelaki berwajah ke timur tengah-an itu nampak khusyuk dengan sholatnya. Alya menarik nafas, lalu menundukan pandangan.
Alzam melantunkan surat Al Fatihah dengan suara pelan, namun terdengar di telinga Alya dan meresap hingga hati. Alya jadi yakin, meski tidak pernah mondok jauh tidak seperti Alya selama yang sudah menghabiskan masa kecil di banyak pesantren, Alzam belajar langsung dengan ahlinya yaitu Kyai Ali. Lelaki tua yang selalu nampak berwibawa meski terduduk diatas kursi roda. Alzam hanya tidak suka dikenal sebagai cucu kyai, bukan sebagai Alzam. Lelaki itu ingin berdiri diatas kakinya sendiri.
Sama seperti Alya. Apa jodoh memang benar-benar cerminan diri?
Seusai salam, dan membaca doa, Alzam kemudian menoleh ke belakang. Alya yang ngelag pun hanya membalas tatapan Alzam dengan tatapan bingung.
"Salim riyen garwo." Ujar Alzam santai. Bibirnya tersenyum meledek dan nada yang lucu ketika berbahasa jawa. Tangan lelaki itu terulur menunggu disambut.
Alya meraih tangan Alzam dan menciumnya. Lalu Alzam mengarahkan Alya untuk mencium telapak tangan alzam.
"Mukanya biasa aja, bisa gak gus?" Desis Alya kesal.
"Gak bisa, soalnya emang udah ganteng dari lahir."
Alya memutar bola matanya malas. Dan Alzam tertawa pelan. Lelaki itu lantas memperhatikan Alya yang mulai melipat mukenanya, Kerudung yang tidak dilepas, bagaimana Alya membetulkan anak rambutnya yang terlihat di kening. Merasa ditatap seperti itu, Alya akhirnya melotot kesal.
"Biasa aja ngeliatinnya, Udah cinta ya,gus?" Seloroh perempuan itu menirukan gaya bicara Alzam.
Alzam bersedekap. "Kalau di film-film, habis sholat itu, si suami cium kening istri. Gamau saya cium ning?"
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PILIHAN ABI
Teen FictionNamanya Alya mahira salma, cucu seorang ulama besar dijawa tengah. putri seorang kyai yang sama masyhurnya. tidak seperti kebanyakan putri kyai lainya yang kalem dan lemah lembut, Alya justru menunjukan perilaku dan sikap berbeda, yang membuat semua...