16.MENJAMU HAMPA

56 7 0
                                    

Ini soal Alzam yang berada jauh di jakarta. Jakarta dengan segala kemacetan dan suhu nya yang panas. Berbeda dengan Al huda, kawasan pondok yang dia tempati beberapa bulan terakhir yang bersuhu sejuk. Terutama saat malam hari. Entah mengapa sekarang Alzam justru membandingkanya dengan tempat dimana dia di besarkan.

"Ck, jam segini udah macet begini." Lelaki 26 tahun itu mengeluh. Padahal jam di arlojinya baru menunjukan pukul 3 sore. Hari ini Alzam akan mengunjungi kafe miliknya dan akan bertemu Indra. Sahabat sekaligus orang yang dia percayai untuk membantunya mengelola kafe itu.

Merasa sepertinya akan telat tiba di kafe, Alzam membuka ponsel dan mencari nomor Indra. Memasang ipod di telinga menunggu panggilan tersambung.

"Hoik, hallo bro." panggilan telvon tersambung.

"Gue telat dateng. Macet parah." Keluh Alzam mengutarakan maksudnya.

Terdengar Indra tertawa. "Udah biasa tinggal di pedesaan adem ya, bro. Mana dapet bidadarinya pula. Untung banyak lo bro."

"Ck. Ntar aja deh gue ngomongnya. Makin puyeng denger lo." Alzam mematikan sambungan telvon lalu mendengus dan mengacak rambutnya kesal.

☀️☀️☀️

Tidak ada yang berubah. Kafe miliknya selalu ramai pengunjung. Aksenya masih utuh, seperti terakhir kalinya Alzam pergi.

Tiap langkah Alzam berjalan memasuki kafe yang di beri nama Historia kafe ini selalu berhasil membuatnya mengingat akan satu nama,Nadira. Alzam seperti memasuki lorong kenangan. Dimana dahulu Nadira lah yang membantu Alzam mencari segala macam furniture yang di butuhkan, atau mengusulkan ide ide keren. Hingga kafe ini terkesan klasik namun nyaman di tempati berjam jam.

Sungguh, Alzam tidak berhasil menghubungi Nadira sampai sekarang. Gadis itu menghilang bagai di telan waktu. Tidak ada yang tahu keberadaanya. Nadira pindah kerja, pindah kost, dan mungkin juga pindah kota. Tidak ada yang tahu.

"Bro! WOY." Indra berseru senang melangkah mendekat pada sahabat karib nya dari zaman kuliah itu.

Alzam tersenyum simpul, memeluk Indra singkat dan menyalaminya.

"Gak berubah ya lo, Zam. Utuh." Komentar Indra ketika menilai penampilan Alzam yang berpakaian serba hitam. Lelaki itu memang menyukai warna hitam.

"Lah gue bukan ultramen. Kenapa mesti berubah?" Jawab Alzam mencari tempat duduk yang kosong disudut kafe, dan bergegas duduk disana.

Indra tertawa keras. "Gak gitu, bro. Maksudnya kan, lo habis nyantren nih. Terus lo juga cucu kyai. Kenapa masih demen sih pake celana robek robek?"

"Gak usah bawa bawa latar belakang, ndra. Gak ada hubunganya." Alzam berdecak, dari nada bicaranya dia tidak suka membahas soal keluarganya berlebihan.

Indra mengangguk mengerti. "Ini yang gue suka dari lo, Zam. Padahal lo anak DPR, tapi kelakuan sama aja kayak gue, Minus. Haha."

Kali ini Alzam tertawa dan mengiakan.

Kemudian Indra memasang wajah serius. Dia mulai menjelaskan bagaimana keadaan kafe, perkembanganya dan lain lain. Sesekali mereka berdua tertawa.

"Jadi, lo tahu kabar tentang Nadira atau nggak?" Tiba tiba Alzam gatal sekali ingin menanyakan hal ini pada Indra.

Sahabat karib Alzam itu menyeruput kopi nya, lalu menghela nafas dan menggeleng pelan.

"Gue gak tahu, Zam. Demi Tuhan, gue juga udah cari tahu soal Nadira. Bahkan gue nanya dari ke temen kantor, temen kost. Nihil, bro. Nadira bener bener gak ninggalin jejak."

Bahu Alzam melorot, nafasnya terdengar berat.

"Saran aja nih, bro.."

Alzam mendongak, namun tidak mengatakan apapun.

"Mendingan lo lupain Nadira. Dia emang bukan yang terbaik buat lo. Buktinya Tuhan jauhin dia sekarang. Lo udah nikah, Zam. Tinggal sisa 10 hari lagi gue bakal ikut buat jadi groomsmen di pernikahan lo.."

Alzam tetap diam. Indra memang tahu semua rahasia Alzam. Termasuk pernikahanya di gedung aula pondok malam itu.

"Gue bukan orang baik ,Zam. Tapi gue gak se busuk itu. Seandainya gue jadi lo, Zam. Gue bakal fokus dengan apa yang ada di hidup gue sekarang. Karna ada bahagia orang lain yang harus gue tanggung.."

Lelaki 26 Tahun itu menegapkan tubuh. "Tapi lo gak ngerti apa apa, ndra. Lo gak ngalamin sama apa yang terjadi di hidup gue sekarang."

Sekarang giliran Indra yang mendengus. "Gue temen lo, Zam. Gue seneng kalau lo seneng. Gue selalu dukung lo dalam semua hal. Tapi buat yang satu ini, Zam. Gue gak ikut campur."

"Gue gak minta lo ikut campur kok. Gue bisa lakuin semua sendiri!" Seru Alzam mulai terpancing. Alzam mendorong bangku yang ia duduki, lalu meninggalkan Indra yang terdiam. Fikiran Alzam sedang penuh sekarang. Alzam hanya butuh orang orang yang mendukung dan menguatkanya.

Lelaki berpakaian serba hitam itu melangkah menjauhi kafe menuju mobilnya yang terparkir di halaman kafe yang luas, lalu bergegas memasuki mobil dengan membanting pintunya keras.

Alzam menggeram, lalu menjambak rambutnya kesal.

Entah bagaimana cara menjelaskan keadaanya sekarang, Alzam hanya merasa kosong.

☀️☀️☀️

JODOH PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang