02. Dingin

24 0 0
                                    

(part a)

"Silly girl!" ucap Mas Cipuy tadi pagi begitu melihat aku bangun tidur. Seperti biasa, dia selalu meledekku. Entah kenapa kakak sepupu paling jahil itu sudah ada di rumah sepagi ini.

"Eat that!" lanjutnya mengomel sambil menunjuk ke semangkuk bubur putih.

"Mas, pagi-pagi jangan ngomel boleh?" protesku sebal.

"You're lucky, ieie didn't know about you!"

Iya sih, sudah beberapa hari tante jarang di rumah. Sesekali pulang memeriksa rumah. Selebihnya pulang pergi seperti Mas Cipuy dan Mbak. Kalau sampai tante tahu aku masuk RS dan histeris seperti kemarin, bisa-bisa disuruh masuk biara kali aku. Nooo!

"Jangan bilang," pintaku ke Mas Cipuy. "Eat that!" teriak dia sambil menunjuk kembali ke mangkuk tadi.

"Iya, iya. Bawel!" lirikku ke istrinya yang sedari tadi senyum-senyum tipis mendengar omelan kakakku itu.

Bubur itu rasanya tidak enak, tawar, dan dingin. Namun, tahu-tahu aku kembali menangis. Bukan karena rasanya tidak enak. Tapi karena aku menyadari kebodohanku kemarin. Bodoh karena aku melupakan masih ada orang-orang yang menyayangiku dengan tulus.

Di antara keributan drama korea-nya Mbak-nya Mas.

22 Oktober 2021

(part b)

Kehilangan itu tidak pernah mudah. Kehilangan karena kematian. Kehilangan karena perpisahan. Tidak mudah. Seperti yang kubaca hari ini di Kisah Orang Capricorn-nya Ayu Utami atau yang kulihat di The Kitchen siang ini. Di saat kehilangan seseorang yang disayangi, manusia harus berusaha bertahan melewati hari demi hari tanpa kehadiran orang tersebut. Tanpa suara tawanya. Tanpa omelannya. Tanpa perbincangannya. Tanpa semuanya. Dingin dan sepi.

Dulu, aku pernah kehilangan beberapa orang yang kusayangi karena kematian. Walau butuh waktu tidak sebentar, aku bisa melewati semuanya. Lalu kenapa sekarang aku begitu lemah? Padahal hanya kehilangan kehadirannya saja. Manusianya masih hidup, masih bisa ditanya, masih bisa diajak bicara, walau mungkin akan menjadi asing suatu hari nanti.

Jika dalam pertemuan, aku membiasakan diri dengan kehadirannya. Sepertinya dalam perpisahan, aku harus membiasakan diri tanpanya. Kenapa harus lemah? Kenapa ya? 

(q & a tidak jelas)

Q: Kapan kamu menulis ini?

A: Suka-sukaku saja. Kutulis saat mengalami baru diposting sore. Atau saat mengalami, ditulis, dan diposting. Terserah. Suka-suka.

Q: Ditulis di mana?

A: Di notes. Di buku. Apa saja jadi. Yang penting tidak lupa.

Q: Kamu depresi? Pernah didiagnosa dokter?

A: Ya. Saya depresi sejak kecil. Tapi belum pernah didiagnosa dokter. Masih mencoba untuk berkonsultasi.

Q: Kenapa menulis ini?

A: Karena usul seorang teman untuk menuliskannya sebagai bentuk terapi.

Q: Seperti diary?

A: Iya, kan judulnya juga buku harian penyintas. Penyintas dari depresi, kematian, dan sebagainya.

Q: Bakalan melankolis dan sedih terus dong?

A: Tidak lah. Namanya menyintas. Ada sedih, ada jatuh, ada juga bangun, dan harapan. 

Buku Harian PenyintasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang