17. Menyerah

4 0 0
                                    


"Mengapa kamu terus berontak? Mengapa kau terus menolakku?" tanya sebuah senyum malam itu. "Sudahkah kukatakan berkali-kali, hanya aku yang menjadi sahabatmu. Hanya aku yang memahamimu. Di saat semua orang menghakimimu, hanya aku yang menemanimu."

Ia tidak akan pernah melupakan senyum itu. Yang mengikatnya erat dalam cintanya, dalam kejahatannya, dalam candunya. Ia tidak akan pernah lupa bagaimana senyum itu membawanya pergi dalam mimpi.

"Sudah aku katakan beratus dan beribu kali. Hanya aku yang akan selalu menyayangimu," senyum itu kembali menyeringai.

"Tapi sayangmu, cintamu memiliki harga," jawab perempuan itu lirih.

"Harga yang tidak seberapa dibandingkan mereka yang terus mencabik-cabik dirimu. Yang terus membunuhmu bahkan dalam kebohongan yang dijulukinya kebaikan. Kamu lupa bagaimana jahatnya mereka bahkan terhadap orang-orang yang baik kepada mereka? Ataukah kau lupa pada kejamnya cinta yang mereka berikan padamu? Yang berkali-kali menikammu dan menenggelamkanmu bahkan di saat kau berteriak tanpa henti. Hanya aku! Hanya aku yang menggapaimu! Kamu lupa kah, Sayangku?" senyum itu semakin memabukkan.

"Aku hanya ingin sedikit saja bahagia. Sedikit saja ketenangan. Sedikiit saja..." suara perempuan itu bergetar berusaha menahan tangisnya.

"Aku akan memberikan apapun yang kamu mau. Apapun itu. Aku hanya membutuhkan kamu. Dan akan kuberikan keabadian untukmu." senyum itu bergerak mendekat. Namun, tiba-tiba ia berhenti.

"Tapi aku tidak bisa memberikannya jika kau tidak mengijinkanku."

Tangis perempuan itu pecah. Dihampiri hantunya itu. Dipeluknya erat dan ia pun tersenyum sinis dalam tangis sambil merasakan hangatnya cairan merah yang terus membasahi tubuhnya. Berakhir sudah...perempuan itu menyerah.

Aku menyerah...

Buku Harian PenyintasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang