19. Mungkin

3 1 0
                                    


"Kenapa menangis kalau memang kamu sudah bertekat pergi?" tanya suara itu. Air mataku terus mengalir menatap komputer itu. Pedih, sedih, bodoh, konyol. 

"Izinkan aku menyelesaikan tugasku satu ini saja sebelum pergi," ucapku dalam hati. Setidaknya biarkan aku selesaikan ini saja.

Ting! Tiba-tiba ada pesan masuk.

"Kamu di mana?" isi pesan itu. "Kamu tidak apa-apa?"

Aku hanya terdiam. "Izinkan aku menyelesaikan saja, Tuhan. Aku lelah," ucapku dalam hati kembali.

Ting! Bunyi pesan masuk lagi. Tapi kali ini aku memutuskan untuk mengabaikannya. Aku bertekat untuk menyelesaikan semuanya. Sudah cukup.

Ku isi penuh gelasku. Kugenggam pil-pil tersebut.

"Bolehkah kamu letakan saja sejenak? Kutemani kau tidur," ucap sebuah suara. Entah siapa, tapi aku meletakan gelas dan pil-pil di meja.

Ting! Bunyi pesan lagi. Kali ini dari aplikasi yang berbeda. "Kamu nggak apa-apa?" isi pesan tersebut.

Kuletakkan ponselku dan kuputuskan untuk menangis dan memejamkan mata.

Tuhan, bolehkah semua berhenti? Sejenak saja? Aku begitu lelah.

Dan sesaat kuucapkan kata-kata itu, entah kenapa aku seakan lupa akan waktu. Aku terlelap hingga di suatu masa aku terbangun dan melihat gelas dan pil yang kutinggalkan semalam.

Mereka masih ada di sana. Kehilangan masanya, seperti aku kehilangan keberanian untuk pergi.

Namun, mungkin...mungkin saja suatu saat akan kembali lagi memanggilku.

Dan hingga saat itu tiba, aku telah kehilangan diriku dalam redupnya matahari pagi itu. 

Buku Harian PenyintasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang