11. Menghilang

7 0 0
                                    

Hari ini, kutahan sedalam mungkin depresiku. Bukan dengan obat, bukan dengan tidur. Namun, dengan perjumpaan dan melelahkan diri. Berjumpa dengan sahabat lama di tengah rumitnya pekerjaan.

Hiruk pikuk, berkejaran di tengah-tengah tempat itu. Tapi, sahabatku itu tetap santai menemaniku. Sesekali bercerita di saat aku berhenti untuk bernafas atau untuk mengambil air.

"Yakin nggak apa-apa nih?"
"Elo kayak baru tahu gue dan kerjaan gue aja. Ada elo atau nggak pun, ya beginilah keadaannya. Tapi, lebih seru sambil ditemenin elo mondar-mandir."
Dia sendiri pun bukan pengangguran. Nona palu gada sebutanku untuknya. Semua pekerjaan, selama halal, akan dia kerjakan.
"Yeah, nemuin elo kayak mau nemuin menteri. Susah banget," ledeknya.
"Bukan jir. Waktu kita yang nggak pernah klop. Gue di Jakarta, elo di Kalimantan. Elo di Jakarta, gue di Bali. Pas sama-sama di Jakarta, malah social distancing."

Perjumpaan setelah 4 tahun berpisah akibat pandemi ternyata menyadarkan kami, betapa jauh sudah kami terpisah. Jalur karir, kehidupan, circle pertemanan kami sudah banyak berbeda. Yang dulu mempertemukan kami telah memudar.
Namun, bukan itu saja yang telah hilang. Dia juga telah membuat hantuku menghilang. Walaupun hanya untuk sehari saja.

24 April 2022
sebuah senyuman sahabat yang berharga

Buku Harian PenyintasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang