Momen Ketujuh

37 13 2
                                    

Sebenarnya, kamu ingin menjadi siapa? Tukang antar? Tukang jaga? Atau ....
***

Aku tidak menemukan Raga begitu keluar dari toko. Tidak biasanya dia terlambat. Apa mungkin hari ini dia ekskul? Kok, tadi tidak ada omongan atau kirim SMS?

Kirim SMS? Ya, ampun, Tha! Hari ini kamu tidak bawa ponsel. Mana tahu dia kirim SMS atau tidak. Ya, terus bagaimana? Tunggu di sini sampai dia datang? Kalau dia tidak datang karena suatu hal?

Tapi, kalau memang dia ada ekskul dan rencana pulang sampai larut, harusnya tadi bilang langsung saat masih di kelas.

Apa aku nunggu saja? Siapa tahu sebentar lagi dia muncul.

"Kamu enggak pulang, Tha?" tanya Mbak Ginuk yang sudah bersiap di jok belakang motor Mas Gun.

"Dia belum datang, Mbak."

"Eh, iya. Tumben belum nongol. Biasanya, lima belas menit sebelum kamu keluar, dia udah duduk di sini."

Jangankan Mbak Ginuk, aku saja bingung kenapa dia belum menampakkan kepala cepaknya. Fyi, akhir-akhir ini dia selalu memotong habis rambutnya, meski tidak sampai gundul-gundul amat. Sudah jarang sekali aku melihat rambut cowok itu yang agak kriwil.

"Mungkin ada ekskul dia, Mbak. Makanya belum nongol."

"Kamu yakin mau nunggu dia? Bentar lagi ujan, loh, Tha."

Aku menengok langit yang benar-benar gelap oleh mendung, bukan hanya sekadar menjelang magrib. Bahkan, kilatan cahaya disertai gemuruh mulai membahanakan petang. Horor-horor sedap rasanya.

"Tha tunggu sebentar lagi, Mbak. Takutnya, pas Tha balik, dia malah nongol." Inginnya juga aku segera pulang. Namun, kalau nanti dia benar-benar telat, kan kasihan.

"Ya, sudah. Kamu nunggunya agak masuk biar kalau keburu hujan, enggak kehujanan," pesan Mbak Ginuk sebelum mereka pamit.

Sepi. Meski toko Mbak Ginuk berada di jalan perumahan warga, tetap saja jika menjelang petang begini sudah jarang orang keluyuran di luar. Apalagi hujan akan segera turun. Bergelung selimut hangat di dalam rumah bukankah hal paling mengasyikkan? Belum lagi ditemani kopi atau teh hangat. Wah, malam yang sempurna untuk tidak melakukan apa pun.

Sayangnya, aku masih di sini. Menunggu seseorang yang entah akan datang atau tidak. Salahku juga tadi tidak bertanya apakah dia akan datang menjemput. Salahku juga hari ini lupa membawa ponsel. Namun, ini juga salahnya karena dia tidak mengatakan apa pun tentang ekskul yang akan selesai pukul berapa.

Aku hanya tahu dia masuk ekskul bulutangkis, tapi tidak tahu kapan berakhir sesi latihan. Hanya tahu setiap hari Rabu dan Jumat-lah anak ekskul bulutangkis latihan.

Lima belas menit lagi, deh, Tha. Lima belas menit lagi kita tunggu Si Kepala Cepak itu.

Sayangnya, lima belas menit berlalu dan dia tidak juga muncul. Rintik mulai turun, bahkan dalam hitungan detik menjadi deras. Untung teras toko Mbak Ginuk disertai plafon. Jadi, aku cukup aman dari guyuran hujan yang selalu main keroyokan kalau datang.

Lima belas menit kembali berlalu dan Si Kepala Cepak itu tidak kunjung menampakkan batang hidung. Bisa jadi dia lupa untuk menjemputku. Bisa jadi dia belum selesai latihan. Bisa jadi ... apa dia marah kepadaku? Kalau diingat-ingat, hari ini dia tidak banyak bicara. Tadi di kelas pun, dia memilih langsung kabur ke kantin dengan para cowok X-5. Biasanya, kami bertemu sebentar di perpustakaan.

Jika dipikir-pikir, kenapa kami tidak pernah terlihat akrab di depan umum, ya? Cowok itu seperti menyembunyikan hubungan kami dari anak-anak X-5.

Eh? Hubungan macam apa yang kamu maksudkan, Talitha? Dih, keseringan nonton Boys Over Flowers jadi mengkhayal terlalu tinggi.

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang