Ponsel di atas meja bergetar. Panggilan dari Rashaka. Tumben. Biasanya kalau ada apa-apa cukup dengan mengirim chat lewat WA. Terpaksa kuhentikan pergerakan tangan dari memberesi lemari lama untuk menerima panggilan pria ini.
"Ya?"
"Sudah cek email?"
"Memang ada kerjaan?"
"Bisa enggak, sih, kalau ada orang tanya enggak pakai tanya balik?"
Aku mendengar kegusaran dari suaranya, membuat tawaku menyembur.
"Iya, iya. Nanti aku cek. Lagi sibuk beresin lemari lama."
"Kamu sudah di kampung?"
"Sejak beberapa hari lalu."
"Bagus. Jadilah manusia yang menikmati kesenangan hidup mulai hari ini."
Aku kembali terkekeh. "Memang kapan aku tidak menikmati hidup?"
Masih dengan ponsel di telinga kiri, aku memilah buku-buku dan jurnal-jurnal lama yang mungkin sudah tidak terpakai atau akan segera masuk ke lemari khusus buku 'kenangan'.
"Beberapa tahun belakangan atau mungkin sampai hari ini, saat aku meneleponmu pun, kamu masih belum menikmati hidup."
Seperti biasa. Sekalinya bicara, dia ingin mengajak ribut.
"Berapa kali aku bilang kalau aku ...."
"Aku fine, Rashaka. Kamu enggak perlu khawatir. Semua baik-baik saja. Begitu, 'kan?"
Kali ini aku terbahak. Ya ampun, dia sampai hafal cara dan nada berkelitku.
"Nuri bilang bukunya sudah kamu kasihkan ke cowok bego itu."
"Sudah memang."
"Terus?"
"Apanya yang terus?"
"Dia respons apa?"
"Aku memberinya catatan untuk tidak merespons apa pun." Memang, dalam buku yang kukirimkan kemarin untuk Raga, aku sudah mewanti-wanti dengan menuliskan catatan bahwa dia jangan mengonfirmasi apa pun.
"Dasar bodoh."
"Biarin." Aku mendengkus. Kami memang tidak ditakdirkan untuk satu suara. "Ada lagi? Aku sibuk, nih. Masih banyak yang harus kubereskan."
"Enggak ada. Ya, udah sana lanjut beres-beres. See you."
Panggilan berakhir. Aku segera membuka email lewat ponsel. Ada dua notifikasi baru berasal dari Rashaka. Satu berupa dokumen yang harus aku edit dan layout. Satu lagi ... undangan reuni?
Lebih dulu aku mengunduh dokumen kerja. Setelah kami sama-sama lulus dari jurusan Sastra Indonesia, dengan nekat, Rashaka mendirikan penerbitan. Dia memintaku untuk menjadi teman berjuangnya dalam mewujudkan impian membangun penerbitan dan toko buku sendiri. Lebih tepat, aku dan Anindya yang diminta membantunya. Awal berdiri, kami hanya bertiga mengelola penerbitan itu dengan menjadikannya sebagai sambilan. Lambat laun, semakin kami dikenal, semakin pemasukan bertambah, Rashaka mengembangkannya. Bahkan, rencananya tahun ini Rashaka akan membangun kantor untuk percetakan dan penerbitan. Itu kenapa akhirnya aku memilih untuk kembali ke kampung halaman. Selain karena memang untuk menemani Ibu, aku sudah diberi mandat untuk menghuni kantor baru yang akan dibangun di sini.
Setelah mengunduh file kerja, aku mengunduh lembar undangan reuni. Siapa pula penyelenggaranya?
Untuk sementara, undangannya online dulu. Setelah seluruh peserta membayar biaya acara, kami akan mengirim lembar undangan offline-nya. Terima kasih dan harap maklum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada yang Memang Sulit Dilupakan
Teen FictionIni kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bareng untuk Persami, tetapi entah Tuhan menakdirkan kami bisa saling memiliki atau tidak. Menurut kalian, rasa Talitha untuk cowok itu akan b...