Momen Kelima Belas

33 10 3
                                    

Aku sadar aku suka kamu, tetapi keadaan tak bisa membuatku terbuka mengungkapkan. Jadi, biarkan kita tetap begini: pura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu. Sampai nanti Tuhan yang memutuskan kita pisah atau bersatu
***

"Party! Party! Party!"

Itu yang didengungkan tim bulutangkis dan tim hore sekolah kami sepanjang perjalanan pulang. Pion-pion yang dikeluarkan Coach Rajadi berhasil menembus benteng lawan. Tiga dari perwakilan berhasil menyabet medali emas turnamen bulutangkis sekabupaten. Juara umum!

Sebagai 'balas jasa' atas kesuksesan Coach Rajadi membawa gelar untuk sekolah, tim bulutangkis boleh mengadakan party. Asal semua digelar dalam lingkungan sekolah dan pengawasan langsung Coach Rajadi selaku pelatih dan Pak Abimana selaku wakil kepala sekolah. Party yang disetujui pun bukan semacam minum bir sampai pagi, ya. No!

Kesepakatan bersama antara tim bulutangkis dan hore adalah mengadakan barbeque dan main kembang api. Duilah! Kayak bocah pada, ya. Walau rencana yang dibuat agak kekanakan, aku tetap mengapresiasi kebersamaan mereka. Pokoknya, semua yang hadir dalam turnamen tadi tidak boleh langsung pulang. Mereka harus menghadiri party sederhana ini.

Bahkan, Kak Reksa dan Kak Rosiana sampai mewanti-wanti aku karena seringnya menjadi anggota yang lebih sering pulang ketimbang kumpul-kumpul sekadar menggosipkan cowok dan cewek populer.

Ya, aku, kan, punya tanggungan menjaga toko Mbak Ginuk. Masa iya harus izin terus demi menghadiri kumpul-kumpul tak jelas?

"Enggak perlu sampai malam. Minimal sampai peluncuran kembang api. Habis magrib, deh." Begitu Kak Reksa melobi.

"Iya, Tha. Kita hargai perjuangan mereka. Kita kasih selamat plus wawancara khusus buat yang udah masuk sampai final." Kak Rosiana menambahkan.

Wawancara lagi. Begini amat jadi reporter.

"Baiklah, baiklah. Asal kalau aku pulang jam delapan nanti jangan ada yang larang, ya? Talitha enggak boleh pulang malam-malam."

"Nah, begitu, dong." Mbak Nura merangkulku. "Yuk, bantuin anak bultang siapin bahan dan alat."

Seluruh pertandingan tadi selesai sebelum pukul tiga sore. Karena harus mengurus ini dan itu, seluruh tim baru bisa pulang menjelang pukul setengah lima. Mereka segera meminta izin untuk mengadakan acara bakar-bakar, menyiapkan alat, dan membeli bahan-bahan.

Aku sampai takjub. Dalam waktu sesingkat itu, mereka bisa menyediakan semuanya. Apa mungkin ini semacam acara wajib ketika mereka berhasil merebut medali emas? Sepertinya, sih, begitu.

Aku tidak bisa menghitung berapa karton kembang api yang mereka sediakan. Yang jelas banyak. Aku juga malas menghitung jagung, ayam, ikan, daging, dan sosis. Terlalu banyak untuk diperhatikan satu per satu. Beberapa kardus minuman bersoda pun tak ketinggalan.

Uang dari mana itu semua?

Beruntung banyak rekan yang membantu, persiapan acara dapat selesai dengan cepat. Bahan-bahan barbeque sudah termarinasi semua. Bumbu untuk jagung bakar pun sudah siap. Kak Putra dan Kak Gatra yang akan mengambil alih posisi di depan pembakaran. Yang lain terima beres.

Setelah tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku sedikit melipir dari kerumunan. Masih ada kesempatan untuk melihat sunset sore ini. Maka, aku melangkah keluar gerbang dan duduk di pembatas melingkar di bawah pohon flamboyan. Langit barat telah sempurna menggurat oranye.

Jika mengingat apa yang sudah terjadi hari ini, sungguh luar biasa. Momen-momen menegangkan di setiap partai. Pemain-pemain yang bertahan dari cedera agar bisa bermain maksimal dan membawa kemenangan. Perhatian para coach untuk anak didik mereka. Keringat-keringat yang membasahi lapangan sehingga mereka mudah tergelincir.

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang