"Sebego apa kamu, Raga?" Pertanyaan menusuk datang dari Rashaka malam itu.
Tidak ada hujan maupun angin, dia bertandang ke rumah. Hal yang sempat tidak dia lakukan selama perang dingin kami beberapa tahun belakangan. Mas Arga dan Bunda sampai heran saat menemukan Rashaka berdiri di pintu depan dan mengatakan ingin bertemu denganku.
"Maksudmu, Sha?"
"Kenapa kamu pacaran dengan Jihan?"
Ah, masalah itu. Cepat sekali kabar hubungan kami berembus. Rasanya, belum ada sebulan aku dan Jihan menjalin hubungan lebih dari teman.
"Bukan urusanmu, Sha." Aku mendecih. Agak kesal karena bocah itu mencampuri urusan pribadiku.
"Kamu mau buat satu anak manusia terluka lagi?" Rashaka mencengkeram kerah bajuku. "Dulu, kamu bikin Andari terluka karena penolakanmu. Sekarang, kamu mau bikin gadis sebaik Talitha juga terluka?"
"Talitha?"
"Bego!" Rashaka mendorongku.
Jika saja keseimbanganku buruk, mungkin aku terjungkal karena kelakuannya.
"Jujur, Ga. Kamu terima Jihan bukan karena kamu suka Jihan, 'kan? Ada faktor lain yang bikin kamu pacaran sama dia. Apa, Ga? Apa?"
"Bukan urusanmu, Sha."
Satu tinju melayang ke wajah, membuatku terhuyung, hampir terjungkal karena menabrak kursi teras.
"Jangan pernah lu cari Talitha kalau otak sama perasaan lu masih bego! Jangan pernah nunjukkin muka lu di depan Talitha mulai sekarang!" Rashaka beranjak setelah menyemburkan kemarahannya.
Aku menghela napas sembari meringis. Rashaka sangat niat saat menonjokku. Gumpalan amarahnya terlepas lewat tinju yang bersarang di pipi kanan. Saat bercermin di jendela, bekas kebiruan menghias di sana.
Mas Arga yang keluar alih-alih Bunda. Entah omelan apa lagi yang akan ditambahkan setelah pria itu tahu kalau adik bungsunya telah memberi luka kepada seorang gadis.
"Jadi, Jihan-lah yang bikin kamu enggak lagi nganter Talitha?"
Aku mengempas duduk di kursi teras karena Mas Arga menghalangi jalan masuk. Dia berdiri di ambang pintu sembari menyilangkan kedua lengan di perut. Siap menghakimi kebodohan adiknya.
"Mas enggak usah ikut campur. Ini urusan Raga."
"Dengan mengorbankan perasaan seorang gadis?"
"Mengorbankan apa?"
"Mas yakin kamu enggak bodoh, Raga. Enggak mungkin kamu enggak membaca perasaan Talitha dari tatapannya."
"Talitha ... enggak suka aku, kok."
"Betul kata Rashaka. Kamu emang bodoh. Ck ck ck."
Aku tak menyahut. Ocehan yang tak ditanggapi membuat Mas Arga hengkang. Langkahnya terdengar meninggalkan ambang pintu.
Kalian benar. Aku memang bodoh, tetapi ada alasan kenapa aku membodohkan diri. Sengaja menutup mata akan perasaan seorang gadis yang selama ini selalu kucari-cari tatapan indahnya.
Andai kalian tahu bahwa yang terluka bukan saja gadis itu, tetapi aku. Demi keselamatan seorang gadis, demi memperpanjang masa hidupnya, aku rela mengkhianati perasaan sendiri. Membiarkan diri menjadi cowok jahat setelah memberi banyak kode atas perasaan-perasaan yang selama ini menjejali ruang jantung.
Maaf, ya, Tha. Maaf kalau aku mengorbankan perasaanmu.
***
Suntuk dengan isi kepala dan hati membuatku melajukan sepeda. Ke mana saja asal tidak di rumah. Tatapan Mas Arga masih menghakimi. Tidak enak dipandang. Sementara Bunda hanya geleng-geleng setiap berpapasan denganku. Tak mau ikut campur. Merasa bahwa putra bungsunya telah cukup paham untuk mengondisikan keadaan.
Aku berhenti sebentar. Tidak jauh dari toko buku Mbak Ginuk. Gadis berambut pendek sebahu itu masih di sana. Sibuk menata tumpukan novel dan komik dengan sesekali meladeni pembeli yang entah berkepentingan apa.
Senyum tak lekang di sepasang bibir tipis yang terlihat pucat. Tak terpoles apa pun. Dari sekian gadis di kelas, mungkin hanya gadis bermata almon itu yang tak suka bersolek. Belum pernah kulihat wajahnya dengan polesan make up. Tidak seperti Tiana atau Melisa. Mereka sih memang suka dengan warna dan powder yang melapisi kulit wajah.
Belakangan, dia semakin jauh. Kami semakin jarang bercakap. Sekalipun basa-basi, mungkin hanya ketika kami satu kelompok belajar. Selebihnya, seolah-olah kami dua entitas asing yang jika berpapasan selayaknya sisi positif dan negatif dua magnet. Saling menghindar.
Rasa bersalah selalu mencengkeram. Aku tahu dengan pasti bagaimana perasaannya. Tergambar dari lagu duet terakhir yang kami nyanyikan dalam pekan olahraga dan seni beberapa waktu lalu.
"Maaf, Tha." Bahkan, maaf yang tersampaikan pun tanpa diketahui yang bersangkutan. Betapa pengecutnya seorang Raga Jiwa Asmarandana. Rashaka dan Mas Arga benar. Aku memang bodoh.
Sangat bodoh.
Kembali kukayuh pedal. Meninggalkan kawasan toko buku Mbak Ginuk. Melaju tak tentu sampai kemudian tanpa sengaja kulihat gadis itu di sebuah kafe. Jihan dengan seorang teman gadisnya. Mereka duduk agak ke dalam. Tampak tidak menyadari kedatanganku yang memang diam-diam.
Mungkin, gadis yang bersama Jihan bukan anak sekolah kami karena tak mengenaliku saat mengambil duduk tepat di depan meja mereka. Karena model dudukan kafe itu seperti sofa dengan bagian punggung yang tinggi, keberadaanku cukup tertutupi. Terlebih, Jihan berposisi memunggungi arah datangku.
"Parah kamu, Ji! Terus, sampai hari ini, pacarmu itu enggak tahu kalau kamu bohong?"
"Enggaklah! Dia enggak pernah curiga. Terlalu baik pacarku itu. Enggak pernah tanya-tanya."
Itu suara Jihan. Dia bohong apa kepadaku?
"Gila! Kamu itu bukan lagi jatuh cinta ke dia, tapi obsesi. Bisa-bisanya bohong kena kanker yang cuma tinggal beberapa tahun doang hidupnya cuma biar bisa pacaran sama dia."
Terdengar tawa Jihan yang rasanya justru membarakan dada.
"Mau bagaimana lagi? Kalau enggak bohong, dia enggak akan ngelihat aku. Di mata Kak Raga itu cuma ada cewek pendek itu. Ish, apaan! Cantikan aku ke mana-manalah!"
Aku menggebrak meja. Beberapa pengunjung terkaget, menjadikanku pusat tatapan, tetapi aku tak peduli.
"K-Kak Raga?" Suara Jihan kentara gemetar saat aku menghampiri meja mereka. "S-sejak kapan Kakak di sini?"
"Cukup lama sampai akhirnya aku bisa tahu kebohongan kamu."
"Kak, aku bisa jelasin. Tolong jangan salah paham."
"Jangan salah paham? Kamu sendiri yang mengatakan kebenarannya, Jihan. Telingaku enggak tuli untuk mendengar semua perbincangan kalian."
"Kak, tapi ...."
"Cukup, Ji. Kita selesai. Aku enggak mau menanggung kebohongan untuk perasaanku sendiri lebih lama lagi."
Aku hendak beranjak, tetapi Jihan mencekal lenganku.
"Kak, tolong kasih aku kesempatan. Aku bisa jelasin. Aku ...."
"Berhenti, Ji! Enggak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah cukup jelas buatku." Pelan-pelan kulepaskan cekalannya. "Satu lagi, tolong jangan muncul lagi di depanku. Dengan alasan apa pun. Permisi."
Kukayuh kembali sepeda menjauh dari kafe. Tak peduli jika Jihan berteriak memanggilku. Cukup! Aku sudah teramat bodoh sampai tidak bisa membaca kebohongan yang dia buat.
Tahu-tahu, aku menghentikan sepeda di seberang toko buku Mbak Ginuk. Tepat dengan keluarnya gadis bermata almon. Hendak kuhampiri, tetapi seseorang lebih dulu mendatanginya. Entah apa yang mereka obrolkan, tetapi wajah gadis itu memberengut. Diacak-acaknya rambut pendek gadis itu sehingga mengundang kekehan dari si cowok.
Mungkinkah Rashaka dan Talitha terlibat hubungan yang istimewa? Rasanya menyesakkan hanya dengan membayangkan jika mereka memang memiliki hubungan semacam itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada yang Memang Sulit Dilupakan
Teen FictionIni kisahku. Kisah Talitha Saraswati yang bertemu seorang cowok. Duduk satu meja, dapat kesempatan nyanyi bareng untuk Persami, tetapi entah Tuhan menakdirkan kami bisa saling memiliki atau tidak. Menurut kalian, rasa Talitha untuk cowok itu akan b...