Momen Kedua

51 17 10
                                    

Dia mulai menjadi bagian dari hari-hariku.
***

Jadilah kami tontonan para ABG yang agaknya beberapa mulai terpesona oleh cowok cungkring di sampingku. Kalau boleh jujur, wajah si Raga ini tidak jelek-jelek amat. Cuma kalau dibandingkan dengan Kak Roki, meski punya bibit buaya darat, masih gantengan Kak Roki.

"Mau nyanyi sambil duduk atau berdiri?" tanya Kak Retha.

"Saya berdiri saja, Kak. Engap kalau nyanyi sambil duduk," akuku. Fakta yang kualami memang seperti itu. Aku lebih cepat kehabisan napas kalau bernyanyi sambil duduk.

"Raga mau duduk?" tawar Kak Rosiana.

"Boleh, Kak."

Kak Roki mengambil satu bangku, menyerahkan gitar ke Raga, dan membiarkan cowok itu duduk. Posisi kami yang seperti ini tampak sejajar. Ya ampun, betapa kuntetnya aku jika berdiri di samping si Raga ini.

"Talitha bisa lagu apa?" Pertanyaan Kak Roki mengembalikan alam bawah sadarku yang beberapa saat lalu melanglang buana.

"Lagu duet aja, Tha. Raga bisa nyanyi juga enggak?" Nuri yang duduk di bangku saf tengah, barisan kedua, kembali berceloteh.

"Bisa, kok."

Aku menengok sedikit ke Raga yang tampak santai saja berdiri di depan kelas. Agaknya, cowok ini cukup punya jiwa narsis. Tidak tampak sama sekali demam panggung.

Padahal, aku yang terbilang sering bernyanyi untuk upacara hari Senin saja masih merasa demam panggung kalau disuruh bernyanyi solo begini--enggak solo-solo amat, kan tadi si Nuri bloon minta kami duet.

"My Heart aja. Yang Acha duet sama Irwansyah." Rana mengusulkan.

"Enggak. Ribet bahasa Inggris-nya. Lidahku lidah Jawa banget." Aku langsung menolak. Aksen Inggris-nya nanti agak medok kalau aku nyanyi itu.

Kak Roki menahan tawa.

Lucu memangnya ucapanku?

"Kalau gitu ... Pelengkap Hidupku. Eren sama Romi, tuh." Suara Dimas yang kali ini menginterupsi.

Pelengkap Hidupku? Yang bagaimana liriknya? Hm ... ah, ya.

"Boleh. Raga hafal?" Aku menoleh ke Raga yang sejak tadi diam saja. Sama sekali tidak komen ini dan itu. Nih, anak kayaknya mauan orangnya.

"Boleh. Lumayan hafal dan tau kuncinya."

Lumayan dia bilang? Hm, tidak menjanjikan sekali jawabannya.

***

"Tha, Tha." Nuri terbahak setelah jam naas itu. Senang sekali dia melihat kawannya menderita demam panggung sampai salah lirik.

"Gara-gara kamu, 'kan?" Aku mendengkus. Sebal sekali sama ini anak.

"Buat Persami nanti jangan sampai salah lirik, ya, Tha. Banyakin latihan sama Raga biar lebih enjoy nanti." Begitu saran Kak Roki, sambil menahan tawa, sebelum keluar kelas tadi.

Huf! Niat hati tidak ingin menjadi siswi yang menonjol, tetapi Nuri justru menjerumuskanku. Sudah bisa dipastikan, kandidat paling kuat kalau ada lomba nyanyi antarkelas pasti aku yang ditunjuk.

"Pas Persami nanti, aku enggak masuk saja, deh. Biar tahu rasa Gugus Peach ini."

"Eh, jangan begitu, dong! Kok, balas dendam, sih? Kan, bagus juga buat kariermu ke depannya, Tha." Nuri masih terkekeh di antara saran tidak masuk akalnya.

"Aku enggak pengen jadi penyanyi." Kusenderkan tubuh di tiang koridor, sedangkan Nuri duduk di emperan taman mini yang memang disediakan setiap kelas.

"Iya, tau, tau. Mau jadi penulis, editor, syukur-syukur reporter."

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang