Momen Kedelapan Belas

34 8 3
                                    

Mungkin kamu sedang mencari waktu yang tepat atau memang tidak sama sekali.
***

"Kalau bagian depan diperluas, terus taruh beberapa set meja-kursi, kayaknya okeh, ya, Tha?" tanya Mbak Ginuk di sela-sela kami memberesi buku-buku yang baru datang.

"Jadi kayak Cafe Book gitu, ya, Mbak?" Aku mencoba memahami ke arah mana yang Mbak Ginuk inginkan.

"Iya, Tha. Kalau enggak ada halangan, Juli nanti mau Mbak renovasi. Kita tambah lantai juga. Jadi, bagian bawah sini khusus untuk kafe dan bagian atas untuk buku-CD. Mbak pengen bikin tempat nongkrong anak muda gitu, loh."

Aku sudah bisa membayangkan bagaimana jadinya tempat ini setelah direnovasi. Sepertinya akan seru. Selain untuk dijual, buku-buku atau CD di sini bisa dibaca atau didengarkan langsung sebagai referensi pembeli.

Baca buku sambil minum mocachino misalnya. Seru, ih.

"Bagus, loh, Mbak. Aku ngebayanginnya jadi tempat yang asyik."

"Nuansanya klasik gitu, sih, pengennya untuk yang kafe."

Aku mengangguk-angguk. Salut dengan Mbak Ginuk yang tidak berhenti untuk berinovasi dan memajukan toko kesayangan. Pekerjaan impian yang sangat beliau idamkan. Tidak peduli walau kebutuhan hidupnya sudah tercukupi dengan gaji Mas Gun yang seorang PNS guru.

Meski sudah April, ternyata hujan masih turun. Hari ini saja mendung begitu tebal. Mana pada saat-saat aku pulang dari toko. Menyebalkan, tetapi hujan adalah berkah, 'kan? Tetap harus disyukuri masih diberi hujan sehingga cadangan air tanah masih terselamatkan. Beberapa wilayah di negara ini bahkan tidak mendapat hujan sama sekali. Kemarau panjang sehingga air mulai sulit ditemukan.

"Terus, gimana kamu sama Raga?" Mbak Ginuk malah mengoper obrolan.

"Gimana apanya, Mbak?" Aku menanggapi santai saja. Berusaha untuk tidak memikirkan jauh tentang apa nama hubungan kami.

"Pacaran?"

Kuhentikan gerakan tangan yang tengah merapikan buku-buku di rak. "Kami enggak seperti itu, Mbak. Kami cuma teman biasa. Dia hanya terlalu baik ke Tha sampai mau-maunya nganter pulang setiap hari."

Kutengok Mbak Ginuk. Perempuan itu malah menepuk dahi. Gemas mungkin memperhatikan kami yang begini-begini saja.

Aku terkekeh singkat. Ya, mau bagaimana lagi? Sekalipun, misalnya, dia mengutarakan perasaan, aku tidak bisa menerima.

Hujan deras mengguyur tepat saat Mbak Ginuk dan Mas Gun berlalu setelah toko tutup. Terpaksa lagi-lagi aku terjebak hujan. Melihat curahnya, hujan kali ini bertipe awet yang sebentar-sebentar berhenti lalu menderas kembali.

Raga sudah duduk di salah satu kursi teras toko. Sepedanya ia masukkan pula agar tidak tersiram hujan. Jaket yang dia kenakan agak sedikit basah. Sepertinya, dia datang agak terlambat tadi, tepat saat gerimis menjadi pembuka.

"Terjebak kita, Ga."

"Apa boleh buat. Hujannya gede banget. Jangan diterjang."

"Kenapa?"

"Enggak inget kejadian dulu?" Tatapan Raga mengingatkan.

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang